Kopi TIMES

Demokrasi dan Plutokrasi Pilkada 2024

Sabtu, 23 November 2024 - 08:20 | 64.47k
Aris Setiawan, M.Pd, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al Urwatul Wutsqo Jombang.
Aris Setiawan, M.Pd, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al Urwatul Wutsqo Jombang.

TIMESINDONESIA, JOMBANG – Demokrasi Indonesia menghadapi tantangan besar dalam menghadapi realitas politik yang kerap kali didorong oleh faktor ekonomi. Meskipun begitu, kita juga harus optimis bahwa dengan kesadaran politik yang semakin meningkat dan partisipasi masyarakat yang lebih aktif, demokrasi Indonesia dapat berkembang menjadi lebih inklusif dan adil.

Rizal Ramli, ekonom senior Indonesia juga mantan menteri keuangan RI, pernah menyampaikan pandangan yang cukup kontroversial mengenai keadaan demokrasi di Indonesia. Dalam pernyataannya ketika berbicara di acara ILC milik Karni Ilyas, beliau menyatakan bahwa demokrasi saat ini telah menjadi “sure-pay” (pasti bayar), yang berarti bahwa siapa yang memiliki uang banyak, dialah yang memiliki kuasa. 

Advertisement

Ini adalah kritik yang tajam terhadap kondisi politik Indonesia, terutama menjelang Pilkada Serentak pada 27 November 2024 mendatang. Di satu sisi, kritik ini mengungkapkan ketidakpuasan terhadap dominasi uang dalam politik, namun di sisi lain, kita juga harus melihat lebih jauh untuk mengevaluasi validitas pernyataan tersebut dan apa artinya bagi masa depan demokrasi Indonesia.

Salah satu poin utama dalam kritik Rizal Ramli adalah bahwa politik di Indonesia semakin didominasi oleh kekuatan oligarki. Dalam konteks Pilkada Serentak, dimana pemilihan kepala daerah (pilkada) akan berlangsung di banyak daerah, uang memang seringkali memegang peranan penting dalam memperoleh dukungan suara. 

Kampanye politik membutuhkan dana yang sangat besar untuk berbagai keperluan, mulai dari iklan, spanduk, sosialisasi, hingga biaya transportasi dan logistik lainnya. Kandidat kepala daerah yang memiliki akses lebih besar terhadap dana atau didukung oleh jaringan bisnis dan pengusaha besar cenderung lebih mudah untuk memenangkan kontestasi politik.

Fenomena ini tidak hanya terbatas pada Pilkada Serentak, namun juga terjadi dalam pemilu di tingkat nasional. Pemilihan umum yang demokratis sering kali terhalang oleh ketimpangan sumber daya, di mana calon yang tidak memiliki cukup dana kesulitan untuk bersaing dengan calon yang memiliki kemampuan finansial lebih besar. 

Dalam konteks ini, demokrasi menjadi kurang inklusif dan semakin rentan dieksploitasi oleh kelompok-kelompok tertentu yang memiliki kekuatan finansial. Oleh karena itu, Rizal Ramli mengingatkan bahwa meskipun Indonesia mengklaim sebagai negara demokrasi, substansi dari demokrasi itu sendiri bisa tergerus jika uang menjadi faktor utama dalam menentukan siapa yang berkuasa.

Meski uang memiliki peran signifikan dalam dunia politik, adalah penting untuk menjadi concern kita bersama bahwa demokrasi Indonesia tidak bisa disamakan dengan sistem oligarki atau plutokrasi. Pilkada serentak masih memberikan ruang bagi partisipasi masyarakat luas. 

Demokrasi tetap memberi kesempatan bagi calon-calon yang tidak memiliki kekayaan besar untuk berkompetisi, meskipun mereka menghadapi tantangan yang berat. Beberapa faktor lain seperti popularitas, visi-misi yang jelas, serta kemampuan untuk mengorganisir dukungan rakyat juga menjadi elemen penting dalam memenangkan pilkada.

Kendati demikian, tantangan terbesar dalam konteks ini adalah bagaimana memastikan bahwa pemilihan tidak hanya menjadi ajang kompetisi yang dikuasai oleh segelintir elit yang memiliki uang banyak, tetapi tetap menjadi sarana untuk mewujudkan representasi politik yang sejati. 

Untuk itu, diperlukan regulasi yang lebih ketat dalam pengaturan pembiayaan kampanye, termasuk transparansi sumber dana yang digunakan oleh calon, serta kontrol yang lebih kuat terhadap praktik politik uang dan penyalahgunaan kekuasaan. 

Di sinilah peran masyarakat dan media sangat penting untuk memastikan bahwa demokrasi tetap berjalan dengan adil dan tidak disalahgunakan oleh kepentingan pihak-pihak tertentu.

Kritik Rizal Ramli seharusnya menjadi bahan refleksi bagi kita semua, baik sebagai pemilih maupun sebagai calon pemimpin, agar demokrasi di Indonesia tidak hanya menjadi formalitas, tetapi benar-benar menjadi mekanisme yang mewakili kepentingan seluruh rakyat.

***

*) Oleh : Aris Setiawan, M.Pd, Dosen Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah Al Urwatul Wutsqo Jombang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Ahmad Rizki Mubarok

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES