TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Indonesia menghadapi kompleksitas krisis kemanusiaan yang mengakar pada ruang lingkup perlindungan anak. Di balik angka-angka faktual, terdapat realitas sensitif yang mengintai setiap individu berusia di bawah umur, mengungkap ketidakadilan sistemik yang membelenggu potensi transformatif mereka.
Stunting tidak sekadar persoalan gizi, melainkan representasi kegagalan struktural dalam menjamin hak fundamental pertumbuhan. Penurunan prevalensi dari 30,8% pada 2018 menjadi 21,5% pada 2023 bukanlah capaian definitif, melainkan pengakuan akan dinamika sistemik yang mempengaruhi masa depan anak-anak di wilayah marginal (Kementerian Sekretariat Negara RI, 2024).
Advertisement
Kompleksitas persoalan anak Indonesia memiliki dimensi yang jauh lebih mendalam. Konteks sosio-kultural yang dinamis, anak-anak Indonesia menghadapi tantangan multidimensional yang mengancam keberlangsungan dan martabat mereka.
Wilayah-wilayah terpencil menjadi episentrum krisis sosial. Anak-anak menghadapi kombinasi tantangan yang melampaui batas ketahanan psikologis. Kemiskinan ekstrem, keterbatasan akses pendidikan, dan marginalisasi sosial membentuk siklus reproduksi ketidakberdayaan yang kompleks dan sulit diintervensi.
Kesenjangan antar wilayah semakin mempertegas ketidakadilan. Anak-anak di kawasan urban memiliki akses pendidikan dan kesehatan yang jauh berbeda dengan mereka yang tinggal di daerah pedesaan. Sistem pendidikan yang sentralistik gagal memberikan ruang kesetaraan, menciptakan ketimpangan kesempatan sejak dini.
Perkawinan anak menjadi praktik destruktif yang secara sistematis mencabik hak-hak reproduktif dan pendidikan. Perempuan di bawah umur dipaksa menanggung beban sosial yang melampaui kapasitas psikologis dan fisiknya.
Kekerasan terhadap anak menjadi episentrum permasalahan sosial yang kompleks. Lingkungan yang seharusnya menjadi ruang perlindungan: keluarga, sekolah, dan komunitas justru kerap menjadi arena tekanan psikologis.
Menurut laporan UNICEF (2024), perubahan iklim memperburuk situasi, menghadirkan ancaman eksistensial bagi anak-anak dari keluarga berpenghasilan rendah. Ketahanan pangan yang rapuh, risiko bencana, dan ketidakstabilan ekologis menciptakan skenario yang mengancam keberlangsungan hidup mereka.
Anak-anak di Indonesia rentan mengalami berbagai bentuk kekerasan dalam lingkungan terdekat. Hal ini mengindikasikan urgensi intervensi komprehensif yang tidak sekadar bersifat reaktif, melainkan preventif dan transformatif.
Ekosistem pendidikan memerlukan rekonstruksi menyeluruh. Kurikulum yang adaptif, guru berkualitas, dan infrastruktur yang memadai menjadi prasyarat fundamental dalam membentuk generasi yang tangguh dan inovatif. Pendekatan partisipatif yang melibatkan perspektif anak menjadi kunci transformasi sistemik.
Perlindungan sosial ekonomi membutuhkan strategi integratif. Program bantuan yang berkelanjutan, akses pembiayaan pendidikan, dan pendampingan komprehensif dapat memutus rantai kemiskinan intergenerasi. Investasi pada modal manusia menjadi instrumen strategis pembangunan berkelanjutan.
Tantangan multidimensional yang dihadapi anak Indonesia memerlukan pendekatan holistik dan berkelanjutan. Sistem perlindungan anak tidak cukup dibangun melalui regulasi, melainkan membutuhkan transformasi kesadaran sosial yang mendalam. Setiap elemen masyarakat mulai dari keluarga, lembaga pendidikan, hingga struktur pemerintahan harus menjadi katalis perubahan yang proaktif dan responsif terhadap dinamika perkembangan anak.
Investasi pada perlindungan dan pengembangan anak merupakan investasi peradaban. Setiap upaya pencegahan, intervensi, dan pemberdayaan harus dilakukan secara integratif, terukur, dan berkelanjutan. Kemampuan adaptasi, kreativitas, dan ketangguhan anak-anak Indonesia menjadi modal fundamental dalam menghadapi kompleksitas tantangan global, yang menuntut perspektif lintas generasi dan pendekatan multidisipliner.
Tema "Listen to the Future" dari Hari Anak Sedunia 2024 tidak sekadar retorika, melainkan seruan mendesak untuk melakukan dekonstruksi sistemik. Diperlukan pendekatan komprehensif yang melampaui intervensi parsial, menyentuh akar permasalahan struktural.
Pemberdayaan membutuhkan konstelasi strategi: penguatan sistem perlindungan hukum, akselerasi program gizi berkelanjutan, desentralisasi akses pendidikan berkualitas, dan partisipasi aktif anak dalam setiap proses pengambilan keputusan.
Kolaborasi multistakeholder menjadi prasyarat transformasi. Pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, akademisi, dan sektor swasta harus menyatukan perspektif dalam mewujudkan ekosistem perlindungan anak yang holistik.
Refleksi kritis terhadap kondisi anak Indonesia adalah mandat etis. Kita tidak sekadar membangun generasi, melainkan merancang arsitektur peradaban yang berkemanusiaan.
***
*) Oleh : Fx. Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Psikologi UP45.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |