Kopi TIMES

Pesantren, Santri, dan AI: Menghadapi Tantangan Era Digital dengan Nilai-Nilai Kultural

Minggu, 24 November 2024 - 09:00 | 41.23k
Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H. Dosen Filsafat Ilmu dan Studi Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi
Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H. Dosen Filsafat Ilmu dan Studi Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BANYUWANGI – Pesantren, sebagai lembaga pendidikan Islam tradisional, telah memainkan peran penting dalam mencetak generasi penerus yang berakhlak mulia dan memiliki kedalaman ilmu agama. Di tengah pesatnya perkembangan teknologi, termasuk kecerdasan buatan (AI), tantangan baru muncul bagi pesantren untuk mempertahankan relevansi dan integritasnya sambil membuka diri terhadap kemajuan zaman.

Salah satu tantangan utama adalah bagaimana pesantren dapat memanfaatkan AI tanpa mengorbankan nilai-nilai agama yang telah lama diajarkan. AI, yang berkembang pesat dalam bidang seperti pembelajaran mesin, otomatisasi, dan analitik data, dapat menjadi alat yang sangat berguna dalam dunia pendidikan.

Advertisement

Misalnya, dalam hal pemetaan kemampuan santri, memberikan materi ajar yang lebih interaktif, atau bahkan menyediakan akses ke sumber daya pendidikan yang lebih luas. Namun, penggunaan teknologi ini harus disertai dengan kebijaksanaan dalam mengajarkan nilai-nilai agama yang membentuk karakter santri.

Beberapa teori pendidikan dapat memberikan dasar dalam memahami bagaimana teknologi seperti AI dapat diintegrasikan dalam pesantren. Salah satunya adalah teori konstruktivisme yang dikemukakan oleh Jean Piaget dan Lev Vygotsky. Menurut teori ini, pembelajaran merupakan proses aktif di mana siswa membangun pengetahuan mereka melalui pengalaman. AI, yang dapat menyediakan materi ajar yang disesuaikan dengan kebutuhan individu santri, berpotensi meningkatkan pengalaman belajar mereka dengan cara yang lebih personal dan adaptif.

Namun, tantangan terbesar adalah menggabungkan teori pendidikan nilai (values-based education) dengan penggunaan teknologi. Teori ini menekankan pentingnya membentuk karakter dan akhlak yang baik, yang sesuai dengan ajaran agama. 

Ali Shariati, seorang pemikir Iran, menggarisbawahi bahwa pendidikan harus seimbang antara pengetahuan intelektual dan pembentukan karakter, yang mana ini adalah nilai-nilai yang dapat diajarkan di pesantren. Menurut Shariati, pendidikan bukan hanya soal transfer ilmu, tetapi juga pembentukan jiwa dan karakter (Shariati, 1979). Oleh karena itu, pesantren perlu menyesuaikan penggunaan teknologi untuk mendukung tujuan ini, bukan menggantikannya.

Beberapa pemikir telah mengemukakan pandangan mereka terkait dengan integrasi teknologi dalam pendidikan. Noam Chomsky, seorang ahli bahasa dan pemikir sosial, menyoroti potensi teknologi untuk mempercepat proses pendidikan, namun ia juga memperingatkan bahwa pendidikan harus tetap berfokus pada pembentukan keterampilan berpikir kritis dan moral. 

Dalam konteks pesantren, hal ini berarti bahwa AI seharusnya bukan hanya membantu dalam transfer pengetahuan, tetapi juga mengajarkan santri untuk berpikir kritis dan etis, terutama terkait dengan penggunaan teknologi dalam kehidupan sehari-hari.

Sementara itu, Yuval Noah Harari, dalam bukunya Homo Deus: A Brief History of Tomorrow (2015), berbicara tentang revolusi AI yang akan memengaruhi banyak aspek kehidupan manusia, termasuk pendidikan. Harari berpendapat bahwa salah satu tantangan terbesar bagi pendidikan di masa depan adalah bagaimana manusia bisa tetap relevan di dunia yang semakin didominasi oleh mesin pintar. Dalam hal ini, pesantren memiliki peran penting dalam mengajarkan nilai-nilai kemanusiaan dan spiritual yang tidak bisa digantikan oleh teknologi.

Di sisi lain, M. Amin Abdullah, seorang cendekiawan Muslim Indonesia, mengemukakan pentingnya integrasi antara sains dan agama dalam pendidikan. Ia menekankan bahwa pendidikan harus membentuk manusia yang tidak hanya memiliki pengetahuan ilmiah, tetapi juga mampu menerapkan prinsip-prinsip moral dan etika dalam kehidupan sehari-hari (Abdullah, 2008). Dalam konteks ini, pesantren dapat memanfaatkan AI untuk memperluas cakupan pendidikan mereka, namun tetap mengedepankan ajaran agama sebagai dasar pembentukan karakter.

Dalam menghadapi perubahan sosial dan perkembangan teknologi, pesantren perlu mengikuti kaidah adaptasi terhadap perubahan sosial yang diatur dalam prinsip-prinsip Islam. Salah satunya adalah maṣlaḥah (kemaslahatan umum) yang menyarankan bahwa segala perubahan yang bermanfaat bagi masyarakat harus dipertimbangkan, asalkan tidak bertentangan dengan prinsip dasar agama.

Menurut Imam Al-Ghazali, salah satu tokoh penting dalam pemikiran Islam, perubahan dalam konteks sosial dan teknologi harus dilihat dari perspektif maslahat, yakni apakah perubahan tersebut memberikan manfaat bagi umat tanpa merusak nilai-nilai agama dan moral (Al-Ghazali, 2014).

Qawa’id al-Fiqhiyyah (kaidah-kaidah fiqh) juga dapat dijadikan acuan dalam menghadapi perubahan sosial ini, seperti kaidah “la darar wa la dirar” (tidak boleh membahayakan diri sendiri dan orang lain). Dalam konteks ini, penggunaan AI dalam pesantren harus dilakukan dengan hati-hati, memastikan bahwa penerapan teknologi ini tidak merugikan para santri atau merusak tujuan pendidikan agama.

Selain itu, prinsip ijtihad (penalaran hukum) yang diajarkan dalam Islam membuka ruang untuk penyesuaian dengan konteks sosial dan perkembangan zaman. Dalam hal ini, pesantren dapat melakukan ijtihad dalam menerapkan teknologi baru, seperti AI, untuk mendukung proses pendidikan sambil tetap menjaga kesesuaian dengan prinsip-prinsip Islam.

Peran AI dalam Pengajaran di Pesantren
Santri, yang pada umumnya dikenal dengan ketekunan belajar dan pengabdian mereka, dihadapkan pada dua dunia yang berbeda: dunia tradisional yang kaya akan kearifan lokal dan agama, serta dunia digital yang serba cepat dan terhubung.

Peran AI dalam hal ini bukan hanya sebagai alat bantu, tetapi juga sebagai tantangan moral dan etika. Apakah AI bisa menggantikan guru dalam mengajarkan ilmu agama, atau justru AI perlu menjadi pendamping yang memperkaya metode pengajaran di pesantren?

Menurut David Harvey, dalam konteks pendidikan modern, teknologi seharusnya tidak menjadi pengganti guru, tetapi sebagai alat yang dapat meningkatkan kualitas pengajaran dan pembelajaran (Harvey, 2012). Hal ini relevan dengan pesantren yang dapat menggunakan AI untuk mendukung proses pembelajaran, tetapi dengan tetap mempertahankan peran guru sebagai pembimbing spiritual dan moral.

AI, jika digunakan dengan bijak, dapat memperkaya pengalaman belajar santri dengan menyediakan akses ke berbagai sumber daya pendidikan, namun tetap berada dalam kerangka nilai-nilai agama yang menjadi pedoman hidup mereka.

Tantangan dan Hambatan dalam Mengintegrasikan AI di Pesantren

Meskipun potensi AI dalam pendidikan pesantren sangat besar, ada berbagai tantangan dan hambatan yang perlu dihadapi. Pertama, keterbatasan infrastruktur. Pesantren, terutama yang berada di daerah terpencil, seringkali menghadapi keterbatasan dalam hal infrastruktur teknologi. Akses internet yang lambat, perangkat keras yang tidak memadai, dan kurangnya pelatihan bagi pengajar menjadi hambatan utama dalam implementasi AI. Tanpa infrastruktur yang memadai, pesantren akan kesulitan untuk memanfaatkan teknologi secara optimal.

Kedua, resistensi terhadap perubahan. Pesantren merupakan institusi yang berakar kuat pada tradisi. Beberapa kalangan mungkin melihat penggunaan teknologi, terutama AI, sebagai ancaman terhadap nilai-nilai tradisional yang dijunjung tinggi. Ada kekhawatiran bahwa teknologi akan mengurangi kedalaman pembelajaran agama dan mengubah cara santri belajar, yang selama ini lebih berbasis pada metode klasik, seperti halaqah (diskusi) atau pengajian tatap muka.

Ketiga, keterbatasan SDM. Untuk dapat mengintegrasikan AI dalam sistem pendidikan pesantren, dibutuhkan sumber daya manusia (SDM) yang memiliki pemahaman mendalam tentang teknologi serta kemampuan untuk mengajarkan dan mengawasi penggunaannya. Saat ini, banyak pesantren yang kekurangan tenaga pengajar yang memiliki keterampilan teknologi yang memadai, sehingga pelatihan khusus untuk guru menjadi hal yang sangat dibutuhkan.

Keempat, etika dan moralitas. Penggunaan AI dalam pendidikan harus disertai dengan pengawasan yang ketat, terutama terkait dengan isu-isu etika dan moralitas. AI dapat memberikan akses ke berbagai informasi, tetapi tidak semua informasi tersebut sesuai dengan nilai-nilai Islam. Oleh karena itu, pesantren harus mampu mendidik santri untuk menggunakan teknologi dengan bijaksana, menghindari penyalahgunaan, dan memastikan bahwa teknologi yang digunakan tetap dalam koridor ajaran agama.

Santri sebagai Agen Perubahan

Untuk itu, pesantren perlu mengembangkan kurikulum yang tidak hanya berfokus pada kajian agama tetapi juga membuka ruang bagi santri untuk memahami teknologi secara mendalam. Ini akan memungkinkan mereka tidak hanya menjadi pengguna teknologi, tetapi juga kreator dan inovator yang memahami bagaimana teknologi, termasuk AI, dapat diterapkan dengan cara yang bermanfaat untuk masyarakat, tanpa mengabaikan nilai-nilai agama.

Pesantren dan AI, meski keduanya berasal dari dunia yang sangat berbeda, memiliki potensi untuk saling melengkapi. Dengan menjaga keseimbangan antara kemajuan teknologi dan nilai-nilai agama yang ada, pesantren dapat menjadi contoh bagi pendidikan yang mampu mengintegrasikan dua dunia ini dengan harmonis. Santri yang terampil dalam menggunakan AI sekaligus mendalam dalam ilmu agama akan menjadi pemimpin masa depan yang mampu menghadapi tantangan zaman dengan bijaksana dan penuh tanggung jawab.

***

*) Oleh : Moh Nur Fauzi, S.H.I., M.H. Dosen Filsafat Ilmu dan Studi Islam Fakultas Tarbiyah dan Keguruan Universitas KH. Mukhtar Syafaat Blokagung Banyuwangi.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES