Langkah Bijak atau Kontroversial? Anak Muda dan Perjanjian Pranikah
TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam era modern yang penuh dengan dinamika hubungan, isu perjanjian pranikah semakin sering menjadi bahan perdebatan, terutama di kalangan generasi muda. Di satu sisi, perjanjian pranikah dipandang sebagai langkah rasional untuk memberikan perlindungan hukum terhadap hak dan kewajiban pasangan, terutama dalam aspek keuangan dan kepemilikan aset.
Di sisi lain, masih banyak yang menganggapnya sebagai simbol ketidakpercayaan, seolah-olah pasangan tidak sepenuhnya yakin terhadap keberlanjutan hubungan mereka. Di tengah dua sudut pandang ini, bagaimana seharusnya anak muda menyikapi isu tersebut?
Advertisement
Generasi muda saat ini dihadapkan pada berbagai tantangan unik yang memengaruhi cara mereka memandang pernikahan. Mulai dari meningkatnya kasus perceraian, kompleksitas finansial, hingga perubahan nilai-nilai budaya yang lebih terbuka terhadap individualisme. Perjanjian pranikah sering kali dianggap sebagai alat untuk mengantisipasi risiko-risiko ini.
Namun, pertanyaan yang perlu direnungkan adalah: Apakah langkah ini benar-benar mencerminkan kematangan dan tanggung jawab, atau justru mengurangi nilai-nilai idealisme cinta yang sering menjadi dasar pernikahan?
Pertimbangan untuk membuat perjanjian pranikah seharusnya tidak hanya berfokus pada aspek legalitas, tetapi juga mencakup komunikasi yang terbuka antara pasangan. Dalam hal ini, anak muda perlu memahami bahwa perjanjian pranikah bukan sekadar dokumen hukum, melainkan hasil dari diskusi mendalam mengenai visi, tujuan, dan harapan dalam hubungan.
Pertimbangan lain yang tidak kalah penting adalah bagaimana keluarga besar dan masyarakat akan memandang keputusan tersebut, mengingat stigma sosial masih kerap melekat pada isu ini. Oleh karena itu, anak muda harus memiliki keberanian untuk meluruskan miskonsepsi dan menjelaskan alasan rasional di balik keputusan mereka.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Penting juga untuk meninjau kebutuhan spesifik setiap pasangan. Tidak semua pasangan memerlukan perjanjian pranikah, terutama jika tidak ada aset besar atau tanggung jawab finansial yang perlu diatur. Sebaliknya, bagi pasangan yang memiliki latar belakang keuangan kompleks, seperti kepemilikan bisnis atau tanggungan utang, perjanjian ini bisa menjadi alat yang sangat penting untuk melindungi kedua belah pihak di masa depan.
Di tengah meningkatnya perhatian terhadap isu perjanjian pranikah, anak muda yang hendak mengambil langkah ini perlu mempersiapkan diri secara matang, baik secara hukum, emosional, maupun sosial. Perjanjian pranikah tidak hanya soal dokumen legal, tetapi juga mencakup banyak aspek yang memerlukan pemahaman dan persiapan.
Pertama, calon pasangan harus memiliki pemahaman yang jelas mengenai tujuan perjanjian pranikah. Edukasi menjadi hal utama, terutama tentang fungsi perjanjian ini sebagai alat untuk melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak.
Konsultasi dengan ahli hukum yang memahami Pasal 29 Undang-Undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 diperlukan untuk memastikan bahwa isi perjanjian tidak bertentangan dengan hukum dan norma yang berlaku. Anak muda juga perlu memahami apa saja yang bisa diatur dalam perjanjian, seperti pembagian aset, tanggung jawab keuangan, atau klausul terkait kemungkinan hak asuh anak.
Kedua, komunikasi yang terbuka antara pasangan adalah kunci. Diskusi mendalam mengenai alasan dan ekspektasi dari perjanjian ini perlu dilakukan secara jujur dan transparan. Dengan begitu, pasangan dapat saling memahami kebutuhan dan kekhawatiran masing-masing, menghindari asumsi yang dapat memicu konflik di kemudian hari. Dalam proses ini, keterlibatan keluarga juga bisa menjadi penting, mengingat masih adanya stigma sosial terhadap perjanjian pranikah.
Ketiga, anak muda harus menyiapkan dokumen-dokumen pendukung, seperti bukti kepemilikan aset atau pernyataan utang, yang akan menjadi dasar dalam menyusun perjanjian. Selain itu, mencari notaris yang berkompeten untuk membantu merumuskan dan mengesahkan perjanjian sangatlah krusial. Keabsahan hukum perjanjian akan memberikan perlindungan nyata bagi pasangan di masa mendatang.
Keempat, kesiapan emosional perlu diperhatikan. Anak muda harus menyadari bahwa perjanjian pranikah bukanlah bentuk ketidakpercayaan, melainkan langkah untuk mengantisipasi berbagai kemungkinan. Oleh karena itu, pasangan harus memiliki kematangan emosional untuk menghadapi konsekuensi sosial dari keputusan ini.
Terakhir, pasangan perlu memperhatikan dinamika sosial di sekitar mereka. Mengingat stigma yang masih berkembang, edukasi kepada orang-orang terdekat dapat membantu mengurangi salah persepsi. Dengan persiapan yang matang, perjanjian pranikah dapat menjadi alat yang efektif untuk membangun pernikahan yang lebih kokoh, berdasarkan transparansi dan kejelasan tanggung jawab.
Melalui edukasi dan pemahaman yang lebih baik, generasi muda dapat menyikapi isu perjanjian pranikah dengan bijak. Dengan demikian, keputusan yang diambil tidak hanya mencerminkan kesiapan menghadapi pernikahan secara emosional, tetapi juga kemampuan untuk merencanakan masa depan dengan realistis dan matang. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |