TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Perjalanan kemanusiaan dalam menghadapi HIV/AIDS melampaui sekadar dimensi medis, melainkan sebuah refleksi mendalam tentang martabat dan hak asasi. Hari AIDS Sedunia 2024 menghadirkan momentum penting untuk menelaah kompleksitas tantangan yang dihadapi penyandang HIV, ketika stigma sosial kerap kali lebih melukai dibandingkan konsekuensi klinis penyakit itu sendiri.
Mengacu pada tema global World Health Organization (WHO) "Take the rights path: My health, my right", resolusi internasional mengajak para pemimpin dan masyarakat untuk memperjuangkan hak kesehatan fundamental. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menguatkan komitmen melalui tema nasional "Hak Setara untuk Semua, Bersama Kita Bisa", yang mencerminkan pendekatan inklusif dan komprehensif dalam penanganan HIV/AIDS.
Advertisement
Laporan Penilaian Risiko Cepat Kementerian Kesehatan tahun 2024 mengungkap data kritis: dari 503.261 estimasi orang dengan HIV, hanya 351.378 yang mengetahui status kesehatannya. Lebih lanjut, dari jumlah tersebut, hanya 217.482 orang yang mengakses terapi antiretroviral, dengan hanya 91.662 (42%) berhasil menekan perkembangan viral load.
Distribusi demografis penyandang HIV memperlihatkan kompleksitas epidemiologis yang memerlukan perhatian serius. Kelompok usia produktif 25-49 tahun mendominasi penyebaran, dengan implikasi sosial-ekonomi yang signifikan. Fenomena ini tidak sekadar tantangan medis, melainkan persoalan pembangunan sumber daya manusia yang membutuhkan pendekatan multidimensional.
Sistem Informasi HIV/AIDS (SIHA) per September 2024 merinci lebih lanjut: 71 persen penyandang HIV telah mengetahui statusnya, namun hanya 64 persen menjalani terapi antiretroviral. Bahkan, kurang dari separuh, sekitar 48 persen berhasil mencapai kondisi virologis stabil. Data ini mengindikasikan perlunya intervensi sistemik yang melampaui sekadar pendekatan medis.
Dekonstruksi stigma mensyaratkan transformasi paradigma sosial melalui strategi komprehensif dan multidimensional. Pendidikan intensif bukan sekadar transfer informasi, melainkan rekonstruksi persepsi sosial yang mengakar. Strategi ini membutuhkan intervensi pada level individu, komunitas, institusional, dan struktural.
Kampanye kesadaran publik harus dirancang strategis, memanfaatkan platform komunikasi untuk menjangkau kelompok demografis. Media sosial, digital, ruang publik, dan saluran tradisional dapat dioptimalkan untuk menyebarluaskan narasi membangun empati tentang HIV/AIDS.
Penguatan infrastruktur kesehatan meliputi pengembangan fasilitas tes, pengobatan, dan dukungan psikososial terintegrasi. Hal ini mencakup peningkatan kapasitas tenaga kesehatan melalui pelatihan komprehensif penanganan HIV/AIDS dengan pendekatan non-diskriminatif dan protokol layanan sensitif kebutuhan individual.
Pemberdayaan komunitas menjadi elemen kritis dekonstruksi stigma. Pendekatan partisipatif melibatkan penyandang HIV dalam perancangan program intervensi dapat menghasilkan strategi autentik. Pembentukan jejaring dukungan komunitas menciptakan ruang aman berbagi pengalaman dan dukungan psikologis.
Konseling psikologis berkelanjutan memerlukan pendekatan holistik memperhatikan dimensi psikologis, sosial, spiritual. Terapi naratif, dukungan kelompok sebaya, intervensi berbasis kekuatan dapat membantu individu membangun resiliensi di tengah tantangan.
Advokasi hak kesehatan mencakup upaya sistemik mengubah kebijakan, hapus diskriminasi, jamin akses komprehensif layanan kesehatan. Kolaborasi lintas sector: pemerintah, organisasi sipil, akademisi, komunitas, menciptakan ekosistem inklusif responsif kebutuhan penyandang HIV.
Transformasi paradigma sosial membutuhkan komitmen panjang dan keterlibatan pemangku kepentingan. Setiap intervensi berdasar prinsip penghormatan martabat kemanusiaan, kesetaraan, dan keadilan sosial.
Dinamika penularan HIV menunjukkan kebutuhan akan pendekatan yang adaptif dan responsif. Populasi berisiko tinggi, termasuk lelaki yang berhubungan seks dengan lelaki (LSL), memerlukan perhatian khusus. Peningkatan positivity rate pada kelompok ini, berkisar antara 5,7% hingga 7,7%, mengindikasikan perlunya intervensi yang lebih targetif dan non-diskriminatif.
Refleksi terakhir membawa kita pada kesadaran fundamental: setiap individu, terlepas dari status kesehatannya, berhak mendapatkan pengakuan, penghormatan, dan akses komprehensif terhadap layanan kesehatan. Upaya pencegahan dan penanganan HIV/AIDS tidak sekadar tugas medis, melainkan panggilan moral untuk meneguhkan martabat kemanusiaan.
Komitmen bersama, lintas sektor, profesi, dan komunitas menjadi prasyarat untuk mentransformasi paradigma penanganan HIV/AIDS. Dengan membangun ekosistem empati, kita tidak hanya mengatasi tantangan kesehatan, melainkan mereaffirmasi nilai-nilai kemanusiaan dalam bentuknya yang paling esensial dan bermartabat.
***
*) Oleh : Fx. Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Psikologi UP45.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |