TIMESINDONESIA, MALANG – Populisme merupakan salah satu bentuk dinamika politik yang ada pada suatu negara. Cas Mudde, sebagai salah satu tokoh yang turut berperan dalam menyumbangkan ide tentang populisme melalui bukunya yang berjudul Populism: A Very Short Introduction, melihat populisme sebagai suatu kondisi di mana masyarakat terbagi menjadi dua kelompok yang saling bertentangan, yaitu kelompok rakyat dan kelompok elit korup.
Tujuan dari populisme ini adalah untuk memberdayakan rakyat dan menggulingkan kekuasaan elit yang dianggap tidak adil. Sehingga, pemimpin populis sering kali mengklaim dirinya sebagai wakil sejati dari kehendak rakyat dan mereka mempropagandakan bahwa mereka sejatinya berada di pihak rakyat dalam setiap kompetisi pemilihan yang ada.
Advertisement
Krisis Legitimasi terhadap Oligarki dan Pemimpin Elit
Oligarki, kelompok elit yang menguasai kekuasaan dan ekonomi, menjadi salah satu musuh utama masyarakat Indonesia. Ketimpangan sosial dan ekonomi yang terus berkembang menjadi bukti nyata praktik-praktik oligarki yang merugikan rakyat. Kesenjangan sosial dan ketimpangan perekonomian yang semakin besar menjadi bukti nyata perbuatan para pemimpin oligarki yang ada di negara ini.
Dalam bentuk yang paling merugikan, oligarki tidak hanya meraup kekayaan negara untuk dirinya sendiri, tetapi juga turut serta merubah dan mengatur hukum serta kebijakan yang membuat rakyat tidak dapat berkutik terhadap tindakan dan ulah nakal yang dilakukan oleh para elit. Keadaan ini membuat masyarakat mulai kehilangan rasa percaya kepada pemerintah serta para pemimpin yang ada.
Di Indonesia, ketidakpercayaan terhadap kelompok elit semakin besar, terutama dalam setiap proses pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah. Pemilih, terutama dari kalangan yang lebih miskin dan marginal, sering kali merasa bahwa pemimpin yang berasal dari kelompok oligarki tidak akan mampu mewakili mereka.
Mereka lebih menaruh simpati dan rasa percaya kepada setiap calon pemimpin yang juga berasal dari kelompok mereka, yang dimana tidak memiliki basis ekonomi yang besar, merasakan apa yang mereka rasakan, dan membawa rancangan kebijakan yang dapat menghancurkan para elit serta mensejahterakan masyarakat.
Populisme sebagai Jawaban terhadap Oligarki
Sebagai reaksi terhadap oligarki, populisme muncul sebagai penentangan terhadap sistem yang tidak adil. Gerakan populis menonjolkan narasi perlawanan terhadap elit, dengan menjanjikan keadilan sosial dan kesejahteraan rakyat kecil. Populisme yang muncul dalam bentuk kandidat-kandidat yang menentang elit politik ini sering kali fokus pada menumbangkan atau memperkecil pengaruh kekuasaan oligarki.
Oleh karena itu, dalam pemilihan kepala daerah maupun pemilu, banyak calon yang mencoba menggambarkan diri mereka sebagai orang-orang yang lebih dekat dengan rakyat, yang tidak terikat dengan jaringan korup dan nepotistik yang menguasai pemerintahan. Hal ini dilakukan oleh banyak kandidat kepala daerah maupun calon dewan perwakilan rakyat hingga presiden dalam meraup suara, seperti halnya yang dilakukan oleh Jokowi pada masa kampanye di tahun 2014 dan juga di tahun 2019.
Jokowi menjadi salah satu contoh dari banyaknya kasus populisme yang berakhir menjadi bagian oligarki di Indonesia. Pada awal kampanye presiden 2014, Jokowi mengusung citra sebagai pemimpin pro-rakyat, dengan janji melawan oligarki dan praktik korupsi. Ia dikenal karena gaya blusukan dan narasi kesederhanaan, menggambarkan dirinya sebagai orang biasa yang dekat dengan rakyat.
Namun, setelah terpilih kembali pada 2019, Jokowi semakin terhubung dengan elit politik dan pengusaha besar, serta kebijakan yang lebih berpihak pada kepentingan ekonomi elit. Hal ini menyebabkan banyak pihak melihat Jokowi semakin sulit membedakan diri dari politik oligarki, meskipun masih mempertahankan program-program sosial untuk rakyat.
Perjalanan Jokowi dari seorang kandidat yang "pro rakyat" menjadi seorang pemimpin yang dipandang semakin dekat dengan kekuatan oligarki menggambarkan bagaimana politik populisme dapat berubah seiring berjalannya waktu, terutama ketika pemimpin populis berhadapan dengan kenyataan pemerintahan dan politik praktis yang mengharuskan adanya koalisi politik dan kepentingan ekonomi yang lebih luas.
Tentu saja, perubahan ini memunculkan pertanyaan mengenai sejauh mana seorang pemimpin yang lahir dari populisme dapat tetap berpegang pada idealisme mereka dalam menjalankan kebijakan pemerintahan, atau apakah mereka akan terperangkap dalam sistem oligarki yang mereka kritisi sebelumnya.
Dengan demikian, meskipun populisme sering kali muncul sebagai reaksi terhadap oligarki dan ketidakadilan yang dirasakan oleh rakyat, pada kenyataannya, gerakan populis sering kali berisiko terperangkap dalam sistem yang mereka kritik. Pemimpin populis yang awalnya berfokus pada pemberdayaan rakyat dan perlawanan terhadap elit.
Pada akhirnya bisa saja tergoda untuk bergabung dengan kekuasaan oligarki demi mempertahankan stabilitas politik atau memenuhi kebutuhan praktis pemerintahan, sehingga mengaburkan batas antara perjuangan pro-rakyat dan kepentingan elit.
***
*) Oleh : Nurul Amaliah, Mahasiswa Magister Departemen Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
*) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |