Kopi TIMES

Mengurai Pesan Rakyat dalam Komunikasi Publik

Jumat, 06 Desember 2024 - 09:33 | 56.19k
Siti Zullaicha, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta
Siti Zullaicha, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Pada Tanggal 5 Desember 2024, Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, Adita Irawati, memberi klarifikasi terkait penggunaan istilah "rakyat jelata" dalam sebuah pernyataan resmi memicu kontroversi luas. 

Frasa tersebut, secara historis digunakan untuk membedakan antara kelas penguasa (bangsawan atau elite) dan masyarakat biasa. Meski secara linguistik netral, dalam konteks modern, frasa ini bisa dianggap tidak sensitif karena menyiratkan hierarki sosial yang tidak relevan atau tidak sesuai dengan prinsip kesetaraan. 

Advertisement

Meskipun Adita telah meminta maaf dan menjelaskan bahwa istilah tersebut merujuk pada definisi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sebagai "rakyat biasa," reaksi publik menunjukkan sebuah jurang persepsi antara maksud penyampai pesan dan penerima pesan.

Jika digunakan dalam diskusi publik, apalagi oleh pejabat teras atau juru bicara presiden, istilah tersebut bisa dianggap tidak pantas karena berpotensi menyinggung perasaan masyarakat. Istilah ini menciptakan jarak antara pemerintah dan rakyat, yang seharusnya justru dirangkul dengan bahasa yang inklusif dan menghormati. penggunaan bahasa dalam komunikasi publik seharusnya lebih berhati-hati agar tidak menimbulkan persepsi negatif atau melukai perasaan masyarakat.

Lalu, bagaimana bisa menimbulkan reaksi negatif yang sedemikian rupa dalam sebuah komunikasi? Jika dicermati dengan Teori resepsi Stuart Hall (1973), yang menjelaskan bagaimana pemaknaan khalayak saat melihat sebuah tayangan dalam simbol, pesan, dan tanda dimaknai sebagai preferred reading atau pemaknaan utama dari sebuah adegan atau tayangan. 

Benang merah dari gagasan resepsi adalah khalayak berperan aktif dalam memaknai sebuah tayangan atau pesan yang sedang diterimanya. Hall memandang resepsi atau pemaknaan audiensi sebagai adaptasi yang diproyeksi dari elemen encoding-decoding yang ada. 

Garis besar gagasan teori resepsi ini ialah bagaimana makna yang dikodekan (encoded) oleh sender (pengirim) menjadi hal yang unik bagi penerima. Sender akan mengirim pesan sesuai persepsi mereka, dan berinteraksi dengan makna pesan yang disampaikan melalui proses decoding.

Dekode Pesan yang Berakhir Konflik dalam Bingkai Stuatrt Hall

1.⁠ ⁠Encoding (Pembuatan Pesan)

Encoding adalah proses di mana pembuat pesan (dalam hal ini juru bicara presiden) menyampaikan maksud, ide, atau pandangan tertentu melalui kata-kata, simbol, atau bahasa tertentu. Dan dalam kasus "rakyat jelata", istilah ini mungkin digunakan untuk menggambarkan masyarakat biasa secara sederhana. 

Bisa jadi, maksudnya bukan merendahkan, tetapi sekadar upaya mengklasifikasikan masyarakat dalam konteks tertentu. Namun, bahasa yang digunakan mencerminkan ideologi atau posisi pembuat pesan. 

Dalam hal ini, penggunaan istilah "jelata" merefleksikan cara pandang yang mungkin secara tidak sadar mengandung hierarki sosial, di mana pemerintah (atau elite) berada di posisi yang berbeda dari "rakyat."

2.⁠ ⁠Decoding (Penerimaan Pesan)

Decoding adalah proses di mana audiens menginterpretasikan pesan berdasarkan pengalaman, nilai, dan konteks mereka sendiri. Stuart Hall mengidentifikasi tiga posisi decoding:

Pertama, Dominant-Hegemonic Position (Menerima Pesan Sepenuhnya). Dalam posisi ini, audiens menerima pesan sebagaimana maksud pembuatnya.
Contoh: Sebagian orang mungkin tidak terlalu mempersoalkan istilah "rakyat jelata" dan menganggapnya sebagai istilah netral yang hanya merujuk pada masyarakat umum tanpa konotasi negatif.

Kedua, Negotiated Position (Menerima Sebagian, Menolak Sebagian). Dalam posisi ini, audiens memahami maksud pembuat pesan tetapi menyesuaikannya dengan konteks mereka.

Contoh: Beberapa orang mungkin memahami bahwa istilah ini digunakan tanpa niat merendahkan, tetapi tetap merasa kurang nyaman karena dianggap tidak relevan dalam konteks zaman sekarang.

Ketiga, Oppositional Position (Menolak Pesan). Dalam posisi ini, audiens menolak pesan dan interpretasinya justru berlawanan dengan maksud pembuat pesan.

Contoh: Banyak pihak bereaksi keras terhadap istilah "rakyat jelata" karena dianggap kasar, merendahkan, dan menciptakan jarak antara pemerintah dan masyarakat. Mereka mungkin melihatnya sebagai representasi ketidakpekaan pejabat terhadap nilai-nilai egaliter.

3.⁠ ⁠Faktor yang Memengaruhi Decoding

Jika merujuk pada konteks sosial dan budaya Istilah "rakyat jelata" sudah jarang digunakan dalam bahasa sehari-hari dan memiliki asosiasi historis yang kuat dengan feodalisme yang merujuk pada kelompok masyarakat di lapisan sosial paling bawah. Sering dikaitkan dengan petani, buruh, atau kelompok tanpa hak istimewa, yang tidak memiliki kuasa atau akses terhadap keputusan politik maupun ekonomi. 

Istilah ini menempatkan mereka dalam posisi subordinasi dibandingkan elite. Sehingga dalam masyarakat modern saat ini, yang menjunjung demokrasi dan kesetaraan, istilah ini menjadi terasa memperkuat Hierarki sosial yang mencerminkan perbedaan yang tajam antara "bangsawan" (elite) dan "jelata" (masyarakat biasa). 

Pada akhirnya kehidupan di era digital yang tidak lepas dari media sosial, pesan yang disampaikan  tidak hanya diterima secara langsung tetapi juga diperkuat, diputarbalikkan, atau di dekonstruksi oleh opini publik di media sosial, sehingga mempercepat reaksi negatif.

Apalagi ⁠dalam implikasi komunikasi politik, terutama yang dilakukan oleh pejabat negara, pesan harus dikodekan dengan sangat hati-hati agar dapat diterima dengan baik oleh beragam audiens. Dalam kasus ini, Penggunaan istilah "rakyat jelata" menunjukkan kurangnya sensitivity encoding.

Istilah tersebut memuat makna implisit yang tidak sejalan dengan nilai kesetaraan modern. Reaksi negatif dari masyarakat mencerminkan decoding yang dominan pada posisi oppositional, akhirnya menciptakan jurang persepsi antara pembuat pesan dan penerimanya.

Pentingnya Sensitivitas dalam Komunikasi Publik.

Kontroversi "rakyat jelata" mencerminkan kegagalan dalam proses encoding, di mana pesan yang dimaksudkan untuk bersifat netral diterima secara oposisi oleh publik. Perbedaan antara encoding dan decoding dalam kasus ini menunjukkan adanya proses kegagalan dalam berkomunikasi. 

Penggunaan istilah "rakyat jelata" mungkin tidak dimaksudkan sebagai penghinaan, tetapi audiens menafsirkannya sebagai ungkapan yang tidak sensitif dan merendahkan. Sebaiknya sebagai pejabat teras lebih berhati-hati dalam memilih diksi dan memastikan pesan mereka mencerminkan nilai-nilai kesetaraan yang diharapkan masyarakat.

Sensitivitas dalam komunikasi publik adalah elemen krusial yang menentukan bagaimana pesan diterima oleh audiens, terutama ketika pesan tersebut berasal dari pejabat negara atau tokoh publik. Dalam kasus penggunaan istilah "rakyat jelata," sensitivitas ini menjadi sorotan utama karena kata-kata yang dipilih mencerminkan cara pandang terhadap masyarakat. 

Istilah seperti "rakyat jelata," meskipun secara literal berarti "rakyat biasa," membawa konotasi historis yang merujuk pada hierarki sosial yang merendahkan. Dalam konteks modern, masyarakat semakin peka terhadap bahasa yang dianggap tidak relevan atau merendahkan, terutama dari pemerintah yang seharusnya mencerminkan prinsip kesetaraan dan inklusivitas.

Ketika pejabat publik menggunakan istilah yang kurang sensitif, seperti "rakyat jelata," risiko kesalahpahaman menjadi sangat tinggi. Istilah ini tidak hanya terdengar usang, tetapi juga menciptakan jarak antara pemerintah dan masyarakat, seolah-olah ada kelas sosial yang berbeda di antara keduanya. 

Komunikasi publik yang efektif tidak hanya soal menyampaikan pesan, tetapi juga memastikan bahwa pesan tersebut diterima sesuai dengan maksudnya. Ketidaksensitifan dalam memilih kata dapat memperburuk hubungan pemerintah dengan masyarakat, memicu ketidakpercayaan, bahkan memperkuat kritik tentang elitisme yang sudah sering menjadi perhatian publik.

Dalam pemahaman akan konteks sosial, budaya, dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Sensitivitas dalam komunikasi publik mencerminkan lingkungan yang semakin demokratis, penggunaan bahasa yang inklusif dan netral menjadi keharusan. 

Dengan memilih kata-kata yang tepat, pemerintah dapat membangun hubungan yang lebih harmonis dengan masyarakat, memperkuat rasa kepercayaan, dan memastikan bahwa pesan-pesan yang disampaikan tidak hanya dipahami tetapi juga diterima dengan baik. Kasus "rakyat jelata" adalah pengingat penting bahwa setiap kata memiliki kekuatan untuk membangun atau meruntuhkan kepercayaan publik.

Komunikasi publik bukan hanya soal pemilihan kata yang tepat, tetapi juga tentang memahami konteks emosional dan budaya di mana pesan tersebut disampaikan. Dalam kasus istilah "rakyat jelata," penting untuk memahami bahwa kata ini memiliki beban sejarah yang mencerminkan hierarki sosial masa lalu. 

Di era modern, masyarakat cenderung lebih sensitif terhadap istilah yang dianggap menciptakan jarak atau merendahkan. Penggunaan istilah seperti ini oleh pejabat publik dapat dianggap tidak hanya sebagai ketidaksengajaan, tetapi juga sebagai cerminan ketidakpekaan terhadap realitas masyarakat yang semakin egaliter dan menolak hierarki sosial lama.

Bahasa memiliki kekuatan untuk menciptakan hubungan atau memperlebar jarak. Dalam konteks komunikasi publik, terutama oleh pemerintah, setiap pilihan kata yang digunakan mencerminkan hubungan antara pengirim pesan (pemerintah) dan penerima pesan (masyarakat). 

Ketika istilah seperti "rakyat jelata" digunakan, audiens dapat merasa bahwa pemerintah memposisikan diri di atas mereka, alih-alih berdiri sejajar sebagai bagian dari masyarakat yang sama. Ini dapat memperkuat persepsi negatif tentang elitisme pemerintah, sekaligus merusak kepercayaan masyarakat yang seharusnya menjadi landasan komunikasi publik.

Oleh karena itu, Dengan memahami jurang antara encoding dan decoding, pejabat publik dapat membangun komunikasi yang lebih efektif dan harmonis dengan masyarakat. Karena sensitivitas bukan hanya soal menghindari istilah yang dapat menyinggung, tetapi juga tentang memahami dinamika sosial yang terus berkembang. 

Pejabat publik perlu memiliki kemampuan untuk "membaca suasana" masyarakat, mengenali perubahan norma budaya, dan memilih bahasa yang tidak hanya sesuai, tetapi juga menghormati nilai-nilai demokrasi dan kesetaraan. Dalam era media sosial, di mana setiap pernyataan dapat langsung menjadi perhatian publik, sensitivitas dalam berkomunikasi menjadi lebih penting dari sebelumnya. 

Kasus "rakyat jelata" menggarisbawahi bahwa bahasa yang tidak sensitif dapat menciptakan kerugian besar, bukan hanya dalam hubungan pemerintah dengan masyarakat, tetapi juga dalam citra dan kredibilitas pemerintah itu sendiri.

Pada akhirnya, sensitivitas dalam komunikasi publik adalah tentang empati. Memahami audiens, menghargai perasaan mereka, dan memastikan bahwa pesan yang disampaikan tidak hanya jelas, tetapi juga mencerminkan rasa hormat dan kepercayaan kepada masyarakat. 

Dalam dunia yang semakin demokratis, pemimpin yang mampu berkomunikasi dengan hati dan memilih kata-kata dengan bijak akan lebih mampu membangun hubungan yang kuat dan berkelanjutan dengan rakyatnya. Tanpa sensitivitas ini, komunikasi publik berisiko menjadi alat pemecah, bukan pemersatu.

***

*) Oleh : Siti Zullaicha, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Sahid Jakarta.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES