
TIMESINDONESIA, SURABAYA – Dalam lanskap epistemologis kontemporer, tantangan utama bukanlah sekadar akumulasi informasi, melainkan kemampuan mentransformasi data menjadi pengetahuan bermakna. Revolusi teknologi komunikasi telah menghadirkan ekosistem informasi yang kompleks, menuntut generasi muda untuk mengembangkan kecakapan intelektual yang melampaui paradigma konvensional.
Perspektif psikologis Jean Piaget tentang perkembangan kognitif memberikan kerangka konseptual yang relevan dalam memahami kompleksitas berpikir kritis. Ironisnya, mahasiswa kontemporer cenderung terjebak dalam budaya instan, mengukur kesuksesan melalui metrik artifisial seperti jumlah followers dan viral content, mengabaikan proses autentik pengembangan intelektual.
Advertisement
Fenomena dinamika intelektual kontemporer menunjukkan kecenderungan mahasiswa untuk mengutamakan pencapaian instan yang bersifat eksternal, yang berpotensi mengalihkan perhatian dari proses pertumbuhan intelektual berkelanjutan. Orientasi pada capaian segera menciptakan tantangan tersendiri dalam pengembangan kapasitas berpikir kritis yang mendalam.
Fenomena ini termanifestasi dalam berbagai aspek akademik dan sosial. Media sosial dan platform digital telah menciptakan ekosistem yang mendorong mahasiswa untuk mengejar pengakuan instan melalui metrik kuantitatif seperti likes, shares, dan followers.
Hal ini membentuk pola pikir yang lebih mementingkan visibilitas dibandingkan substansi intelektual. Akibatnya, proses pemahaman mendalam seringkali diabaikan demi pencapaian yang bersifat permukaan.
Kompleksitas persoalan ini tidak hanya terletak pada perilaku individual, melainkan juga pada struktur sistemik pendidikan yang belum sepenuhnya beradaptasi dengan tuntutan transformasi pengetahuan kontemporer. Sistem penilaian yang masih berbasis pada ujian konvensional dan output kuantitatif turut berkontribusi pada fragmentasi pengalaman belajar mahasiswa.
Dalam konteks perkembangan pendidikan tinggi, tantangan utama terletak pada pembentukan kesadaran akan pentingnya proses transformasi pengetahuan. Generasi saat ini menghadapi kompleksitas informasi yang membutuhkan kemampuan selektif dan kritis dalam mengintegrasikan berbagai sumber pengetahuan, melampaui paradigma konsumsi instan informasi.
Ledakan informasi digital telah menciptakan paradoks intelektual yang signifikan. Di satu sisi, akses terhadap pengetahuan menjadi tak terbatas, namun di sisi lain, kemampuan untuk mengolah dan mengkritisi informasi secara mendalam semakin terdegradasi. Mahasiswa dihadapkan pada tantangan untuk menyeleksi, menganalisis, dan mensintesis informasi dari berbagai sumber yang seringkali kontradiktif dan bias.
Kompleksitas ini membutuhkan pengembangan literasi informasional yang melampaui sekadar kemampuan teknologis. Dibutuhkan kerangka berpikir metakognitif yang memungkinkan individu untuk tidak sekadar menerima informasi, tetapi mampu mengonstruksi pengetahuan melalui proses berpikir kritis, reflektif, dan transformatif.
Dalam konteks disruption informasional, kemampuan adaptasi intelektual menjadi modal utama. Daniel Goleman's konsep kecerdasan emosional menawarkan perspektif bahwa kemampuan metakognitif tidak sekadar bergantung pada kecerdasan intelektual, tetapi juga kapasitas regulasi diri dan empati.
Upaya membangun kemampuan berpikir kritis memerlukan pendekatan holistik yang komprehensif. Stimulasi epistemologis menjadi fondasi utama dalam mendorong mahasiswa untuk secara kritis mengeksplorasi sumber, validitas, dan implikasi setiap informasi yang diterima. Proses ini tidak sekadar mengajarkan kemampuan analitis, tetapi juga membangkitkan kesadaran akan kompleksitas pengetahuan.
Dekonstruksi narasi dominan menjadi strategi penting dalam mengembangkan pola pikir kritis. Hal ini dilakukan melalui penciptaan ruang dialogis yang memfasilitasi pembacaan kritis terhadap wacana yang telah mapan, mendorong mahasiswa untuk melampaui batas-batas pemikiran konvensional. Pendekatan ini memungkinkan individu untuk mengembangkan perspektif multi-dimensi dan pemahaman yang lebih mendalam.
Rekonstruksi identitas intelektual merupakan tahap lanjut dalam pengembangan pemikiran kritis. Fokusnya adalah membangun kesadaran bahwa nilai sejati pengetahuan terletak pada kedalaman pemahaman, kemampuan analisis, dan kapasitas transformatif, bukan sekadar akumulasi informasi atau pencapaian eksternal.
Kesimpulannya, membentuk pemikir kritis adalah upaya sistemik yang membutuhkan pendekatan holistik. Bukan sekadar transfer pengetahuan, melainkan pembangunan infrastruktur intelektual yang memampukan generasi muda untuk tidak sekadar survive, tetapi berkontribusi secara substantif dalam kompleksitas peradaban global.
***
*) Oleh : Fx. Wahyu Widiantoro, Staf Pengajar Psikologi UP45.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |