Kopi TIMES

Unifikasi Hukum Perkawinan: Menyatukan Harmonisasi Hukum Agama, Adat, dan Nasional di Indonesia

Kamis, 12 Desember 2024 - 13:45 | 21.60k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Pernikahan sebagai institusi sosial memiliki peran penting di tengah masyarakat Indonesia yang pluralistik. Diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, pelaksanaannya kerap menjadi arena tarik menarik antara hukum agama, adat, dan hukum nasional. Kompleksitas ini mencerminkan keberagaman budaya dan keyakinan yang mengakar di Indonesia.

Namun, tantangan terbesar terletak pada harmonisasi antara nilai-nilai keagamaan, adat istiadat, dan pendekatan sekuler dalam hukum nasional. Dalam upaya menciptakan unifikasi hukum perkawinan, berbagai perbedaan perspektif dan nilai ini menjadi batu ujian yang memengaruhi jalannya reformasi hukum di Indonesia.

Advertisement

Hukum agama mendominasi praktik pernikahan di Indonesia, menawarkan aturan yang spesifik sesuai dengan masing-masing keyakinan. Sebagai contoh, hukum Islam memiliki konsep wali nikah, mahar, dan batasan usia yang berbeda dari hukum nasional. Sementara itu, hukum nasional, melalui pendekatan sekulernya, berupaya menciptakan keseragaman dan kepastian hukum yang lebih inklusif.

Ketegangan muncul ketika perbedaan interpretasi menghambat implementasi hukum yang seragam, khususnya pada isu-isu kontroversial seperti pernikahan di bawah umur, poligami, dan perceraian. Sebagai ilustrasi, meskipun Undang-Undang Perkawinan menetapkan usia minimum 19 tahun untuk menikah, hukum Islam sering kali memungkinkan pernikahan di bawah umur dengan persetujuan wali atau pengadilan agama.

Perbedaan ini tidak hanya memicu perdebatan antara hukum agama dan hukum nasional, tetapi juga mempertanyakan sejauh mana pemerintah dapat mengakomodasi keberagaman tanpa mengorbankan prinsip-prinsip universal.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Di sisi lain, keberagaman adat dan budaya di Indonesia menambah kompleksitas unifikasi hukum perkawinan. Dalam banyak komunitas, hukum adat masih menjadi penentu sah atau tidaknya pernikahan. Sebagai contoh, beberapa adat lokal mengizinkan bentuk pernikahan yang tidak diakui oleh hukum nasional, seperti pernikahan adat yang hanya dianggap sah secara sosial.

Ketidaksesuaian ini mempersulit pemerintah untuk menciptakan regulasi seragam yang mampu mencerminkan keragaman lokal tanpa kehilangan otoritas hukumnya. Dalam beberapa kasus, hukum nasional dianggap terlalu rigid dan tidak cukup responsif terhadap nilai-nilai lokal, sehingga menimbulkan resistensi dari masyarakat yang merasa identitas kultural mereka terabaikan.

Polemik semakin memanas pada isu-isu seperti poligami dan pernikahan beda agama. Dalam Islam, poligami diperbolehkan dengan syarat-syarat tertentu, tetapi Undang-Undang Perkawinan mensyaratkan persetujuan istri pertama dan pengadilan, yang sering dianggap terlalu membatasi oleh kalangan konservatif.

Di sisi lain, pernikahan beda agama menjadi lebih kompleks karena hukum nasional tidak secara eksplisit melarangnya, tetapi sering kali menciptakan hambatan administrasi yang besar bagi pasangan lintas agama. Akibatnya, banyak pasangan memilih jalur alternatif, seperti konversi agama formal atau menikah di luar negeri, yang menimbulkan dilema hukum tambahan terkait pencatatan pernikahan mereka.

Harmonisasi hukum perkawinan bukan hanya tantangan teknis, tetapi juga refleksi dari dinamika sosial-politik Indonesia. Keberhasilan upaya ini bergantung pada kemampuan pemerintah untuk menyelaraskan kepentingan berbagai pihak tanpa mengorbankan prinsip keadilan dan inklusivitas. Dengan pendekatan dialogis yang melibatkan semua elemen masyarakat, diharapkan unifikasi hukum perkawinan dapat terwujud tanpa mengabaikan esensi pluralisme yang menjadi kekuatan bangsa.

Untuk memastikan keberhasilan dalam unifikasi hukum perkawinan, peran pasangan suami istri (pasutri) menjadi sangat penting. Pasutri sebagai bagian dari elemen masyarakat yang terlibat langsung dalam praktik pernikahan, memiliki tanggung jawab untuk memahami dan mematuhi aturan-aturan hukum yang berlaku, baik itu hukum agama, adat, maupun hukum nasional.

Partisipasi aktif mereka dalam proses legalisasi pernikahan, baik melalui registrasi yang sah di mata hukum nasional maupun dalam memahami hak dan kewajiban yang mereka miliki sesuai dengan hukum agama, adalah kunci utama dalam mewujudkan harmonisasi yang diinginkan.

Pasutri juga dapat menjadi agen perubahan dengan lebih mendalami informasi terkait peraturan dan kebijakan perkawinan, serta memperkuat kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender, perlindungan hak-hak keluarga, dan pentingnya keputusan bersama dalam mengelola kehidupan rumah tangga. Melalui keterlibatan mereka, unifikasi hukum perkawinan dapat berjalan lebih efektif, dengan kesadaran kolektif yang mendalam di tingkat individu dan keluarga. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES