Muhammad Said Ramadhan Al-Buthi Sebagai Lokomotif Peradaban Islam Moderat

TIMESINDONESIA, MALANG – Muhammad Sa'id ibn Mula Ramadlan ibn Umar al-Buthi lahir dari keluarga suku Kurdi sunni di desa Jeilka distrik Buthan (Turki) pada tahun 1929 yang merupakan keluarga yang cerdas dan taat beragama. Ayahnya, Syekh Mula Ramadlan merupakan salah satu tokoh ulama besar di Turki, termasuk di Suriyah. Sesaat setelah peristiwa kudeta yang dilancarkan oleh Kemal al-Taturk, ia pindah ke Suriah bersama ayahnya dan ia baru berusia empat tahun. Guru pertama baginya adalah ayahnya sendiri, ayahnya pula yang memulai menanamkan pendidikan yang bermanfaat dan membesarkannya dengan wawasan keilmuan yang tinggi.
Muhammad Sa'id Ramadhan Al-Buthi adalah tokoh Sunni, Ahlussunnah wal Jama'ah kelas dunia. Beliau tidak hanya dikenal sebagai seorang sufi, namun juga ahli syariat sekaligus ahli hakikat, dan argumentator Sunni terhadap serangan-serangan non-Sunni. Ini diakui baik di Suriah maupun di dunia Muslim lainnya. Di sisi lain, al-Buthi banyak dihujat dan dicerca dan bahkan dianggap munafik, karena pandangan politiknya yang berseberangan dengan para ulama Sunni di Suriah. Dalam krisis politik yang terjadi di Suriah menyebabkan para ulama masuk ke dalam pusaran kekuasaan dan oleh karena itu rawan menyulut kontorversi (Basith, 2019, 47).
Advertisement
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Pada konteks sosioal-politik, Sa'id Ramadhan Al-Buthi hadir dengan pemikiran-pemikirannya yang menarik serta sikap politiknya yang menarik untuk dicermati. Melalui karya-karya tulisannya maupun pilihan politiknya ketika semasa hidupnya di negara yang notabene kondisi politiknya carut marut. Al-Buthi adalah ulama yang tidak menutup diri terhadap politik, Al-Buthi menyatakan bahwa di mana terdapat kemaslahatan, maka di situlah hukum Allah. Oleh karena itu, lanjutnya, tidak patut kita berbuat kaku kepada nash-nash dan fatwa- fatwa terdahulu, dan tidak patut pula kita menutup diri dari perkembangan zaman dan kemaslahatan kekinian (Al-Buthi, 1986, 12).
Walaupun berkali-kali beliau menegaskan bahwa beliau bukan sosok politisi praktis dan bukan pengurus organisasi yang memiliki suatu kepentingan di dalamnya (Ikatan Alumni Syam Indonesia, 2018, 186). Secara sosio-historis masa kecil Al-Buthi di Suriah dilewati dengan kondisi sosial politik yang amburadul. Pemerintahan Shukri Al-Quwatli di Suriah saat Al-Buthi tiba di Suriah penuh dengan keotoriteran yang membuat rakyat sengsara. Al-Quwatlli kemudian digulingkan oleh kolonel Husni Zain yang kemudian menjadi presiden hanya dalam kurun waktu empat setengah bulan karena Zain sendiri digulingkan oleh Kolonel Sami Hinnawi.
Tidak lama kemudian Hinnawi dikudeta oleh kolonel adib Shishakli pada tahun 1950. Shishakli memerintah Suriah dengan tangan besi. Segala bentuk perlawanan terhadap pemerintahannya diberangus. Pada tahun 1951 dia melarang partai politik, persatuan pelajar dan perkumpulan pekerja. Pola pemerintahan Shishakli pada akhirnya membuat seluruh rakyat Suriah muak dan melakukan pemberontakan. Dengan didukung oleh element angakatan bersenjata, Shishakli berhasil diturunkan dan pemerintahan Suriah sekali lagi berganti kepada pemerintahan sipil pada tahun 1954.
Pada masa pemerintahan sipil ini partai-partai politik bermunculan salah satu yang terkuat adalah partai Baath yang didirikan oleh Michel Aflaq dan Salahuddin Al-Bittar. Sebagai partai yang mengusung gerakan sosialisme dan nasionalisme arab, partai Baath membuat warga Suriah tertarik untuk bergabung. Salah satu yang bergabung adalah Hafizh Al-Assad yang menjadi kader sejak bangku sekolah menengah atas. Al-Assad kemudian menjadi Presiden dalam kurun waktu yang lama dan sistem kepemimpinan yang otoriter.
Kondisi umat Islam modern dimasa hidup al-Buthi dapat diklasifikasikan kedalam dua tantangan: Pertama tantangan eksternal, berupa hegemoni peradaban barat terhadap umat Islam. Kondisi ini yang kemudian mendorong sebagian pemikir muslim berasumsi bahwa demi mengejar ketertinggalan peradaban di dunia Islam modern ini, umat Islam harus segera mengadopsi peradaban barat, sebagaimana barat pernah mengadopsi peradaban Islam pada periode klasik. Dalam banyak tulisan Al-Buthi, beliau menolak inferioritas terhadap peradaban barat, tetapi sebaliknya beliau menanamkan spirit optimistis dan sikap superioritas Islam bagi kaum muda muslim.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Meskipun di sisi lain, Al-Buthi sebagaimana dikemukakan oleh Andreas Christmann, beliau mengakui adanya saling ketergantungan di era pascamodern antara Islam dan barat. Oleh karenanya umat Islam mempunyai hak untuk mengadopsi peradaban barat yang terbukti baik dan bermanfaat secara selektif. Tantangan kedua, berupa problem internal dengan munculnya gerakan yang berhaluan ekstremis-fanatis dan gerakan liberal dalam pemikiran Islam.
Dalam hal ini pembelaan Al-Buthi terhadap teknik yurisprudensi Islam yang ilmiah dan tradisional versus pendirian yang terlalu liberal dan relatifis menjadi concern utamanya dalam kapasitasnya sebagai sarjana muslim kontemporer. Tidak hanya itu Al-Buthi juga menyerang pendirian kaum salafiyah radikal yang berusaha mendekonstruksi madzhab fikih, atau dengan kata lain menyederhanakan tuntutan ijtihad yang kompleks (Mufid, 2018, 31-32).
Dalam konteks pemikirannya mengenai agama dan politik, Al-Buthi mengkonsepsi sebuah negara harus terintegrasi dengan hukum-hukum Allah. Tetapi konsepnya tidak mereduksi bentuk negara akan tetapi hanya menetapkan bahwa sebuah negara harus berprinsipkan Islam. Seperti yang dikemukakannya dalam kitab al-Jihadfi al-Islam, Kaifa Nafhamuhu waKaifa Numatisuhu. Bagaimanapun juga, negara nasional muslim bukan merupakan negara Islam jika tidak memakai metode pemerintahan Islami. Negara nasional muslim hanya dapat dinyatakan sebagai negara Islam apabila konstitusinya benar-benar patuh kepada prinsip-prinsip kedauiatan penuh Allah dan keunggulan syariah (Al-Buthi, 1993, 80).
Penolakan Al-Buthi terhadap revolusi dan lebih menyetujui reformasi di Suria, sejatinya al Buthi memikirkan maslahah dari pada hal tersebut konsep maslahat yang la kemukakan dengan memberi lima batasan terhadap maslahat ketika diaplikasikan sebagai metode ijtihad, yaitu: Pertama, tercakup dalam maqashid asy-syari'; Kedua, tidak bertentangan dengan al-kitab; Ketiga, tidak bertentangan dengan hadits; Keempat, tidak bertentangan dengan qiyas; Kelima, tidak mengeliminir maslahat yang lebih penting prioritasnya.
Konsep Politik Al-Buthi ini, mengedepankan terciptanya persatuan pada suata negara bangsa sehingga kemanfaatan bagi warga negara terpenuhi. Sikap politik yang dinilai kontroversial oleh beberapa kalangan sejatinya adalah sebuah strategi untuk menemukan jalan lain selain adanya pertumpahan darah untuk perbaikan pemerintahan Suriah kala itu. Berbicara tentang persatuan, menarik untuk dikemukan pendapat daripada al-Buthi bahwa suatu bangsa, umat, dan negara tidak akan berdiri tegak bila di dalamnya tidak terdapat persatuan di antara warganya.
Menurutnya, ada dua unsur yang dapat menjadi perekat persatuan, yaitu adanya rasa kasih sayang dan keinginan untuk saling bekerjasama. Pendapat al-Buthi tersebut amat selaras dengan kesimpulan yang disampaikan oleh Husain Haykal bahwa persatuan umat di masa Nabi dibina di atas landasan persaudaraan dan cinta kasih. Sebab itu, pada hakekatnya seluruh umat Islam, baik di negeri Barat mahupun di Timur adalah bersaudara. Mereka semestinya saling mencintai untuk mendapatkan ridho daripada Allah yang telah menjadikan mereka sebagai umat yang satu yang beralamatkan kepada perdamaian (Al-Buthi, 1991, 51).
Al-Buthi sangat mengedepankan asas moderat dengan esensi humanis dalam aspek kehidupan manusia termasuk dalam dunia poitik. Hal ini terungkap ketika beliau di tanya, Apa makna bahwa manusia adalah khalifah Allah di bumi? Beliau menjawab "Maknanya adalah bahwa Anda diberi mandat dari Allah untuk melaksanakan hukum-hukum-Nya, mengajak pada syariat-Nya dan mengingatkan perintah-perintah-Nya, serta mendirikan masyarakat yang humanis di atas dasar keadilan yang nilai-nilai pertimbanganya diserahkan kepada Anda". ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |