Kopi TIMES

Kasus Guru Honorer Supriyani dengan Muridnya yang Berlatar Belakang Anak Polisi

Jumat, 10 Januari 2025 - 13:13 | 56.37k
Niken Ayuni Lestari, Mahasiswa Universitas Islam Malang (UNISMA).
Niken Ayuni Lestari, Mahasiswa Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Kasus yang melibatkan Supriyani, seorang guru honorer yang terlibat dalam perselisihan dengan muridnya yang merupakan anak seorang polisi, menyulut perdebatan yang luas di masyarakat. Insiden ini mengungkapkan bukan hanya masalah hubungan antara guru dan murid, tetapi juga menunjukkan ketegangan sosial terkait status sosial, profesi orang tua, serta dinamika kekuasaan dalam ruang lingkup pendidikan. Dalam menilai peristiwa ini, kita perlu melihat beberapa aspek, mulai dari kedudukan seorang guru honorer dalam sistem pendidikan, hubungan antara otoritas dalam keluarga (terutama bila orang tua bekerja di kepolisian), hingga dampak sosial yang lebih besar dari interaksi ini.

Salah satu aspek yang sangat penting dalam kasus ini adalah status Supriyani sebagai guru honorer. Guru honorer sering kali berada dalam posisi yang sangat rentan dalam sistem pendidikan Indonesia. Mereka bekerja dengan status yang tidak tetap, tidak memiliki jaminan sosial yang memadai, dan sering kali mendapat gaji yang jauh lebih rendah dibandingkan dengan guru PNS. Dalam banyak kasus, beban kerja mereka tidak kalah berat, bahkan sering kali lebih menuntut, mengingat ketidakpastian status pekerjaan mereka.

Advertisement

Ketidakstabilan ini menyebabkan banyak guru honorer merasa terpinggirkan, baik dalam hal perlakuan maupun penghargaan. Dalam konteks ini, Supriyani mungkin merasa terpojok oleh berbagai faktor, baik dari segi pekerjaan maupun tekanan sosial di lingkungan sekolah. Ketika berhadapan dengan murid yang berasal dari keluarga dengan latar belakang polisi, seorang guru honorer bisa merasakan adanya ketegangan yang lebih besar, di mana status sosial dan kekuasaan orang tua murid berpotensi memengaruhi perlakuan terhadapnya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Interaksi antara murid dan guru merupakan hubungan yang penuh dengan kekuasaan dan pengaruh. Guru, sebagai figur otoritas dalam pendidikan, memiliki peran yang sangat penting dalam membentuk karakter dan pengetahuan siswa. Namun, dalam hubungan ini juga bisa terjadi ketegangan, terutama ketika seorang guru menghadapi murid yang merasa memiliki dukungan dari pihak luar yang kuat, seperti orang tua yang bekerja di kepolisian.

Di sisi lain, anak-anak yang berasal dari keluarga polisi sering kali dibesarkan dengan nilai-nilai disiplin yang ketat dan sikap penghormatan terhadap otoritas. Namun, mereka juga bisa merasa lebih diistimewakan atau terbebani dengan ekspektasi tinggi dari orang tua mereka yang berprofesi sebagai aparat penegak hukum. Ketegangan ini bisa memuncak dalam situasi-situasi tertentu, seperti perbedaan pendapat atau ketidaksetujuan terhadap tindakan guru.

Jika kita melihat dari sudut pandang psikologis, seorang murid mungkin merasa cemas atau terbebani dengan status orang tua yang bekerja sebagai polisi. Namun, ada juga kemungkinan bahwa murid tersebut merasa dapat menggunakan posisi orang tuanya untuk mendominasi situasi atau melawan otoritas guru. Dalam hal ini, interaksi antara Supriyani dan murid yang bersangkutan bisa mencerminkan dinamika kekuasaan yang lebih besar antara pihak yang merasa memiliki posisi yang lebih kuat dan yang lebih lemah.

Faktor orang tua sangat berperan dalam kejadian ini. Orang tua murid yang berprofesi sebagai polisi tentu memiliki pengaruh besar terhadap cara pandang murid terhadap situasi yang terjadi. Jika orang tua murid tersebut turut campur dalam masalah ini, maka akan muncul pertanyaan mengenai batasan kewenangan orang tua dalam menyelesaikan masalah yang terjadi di sekolah. Dalam beberapa kasus, peran orang tua yang memiliki kekuasaan di luar sekolah, seperti polisi, dapat memperburuk situasi dan menciptakan ketegangan antara pihak sekolah dengan keluarga tersebut.

Penting untuk dicatat bahwa meskipun polisi memiliki kewenangan dalam konteks hukum, mereka tidak seharusnya menggunakan posisi tersebut untuk mengintervensi hal-hal yang berhubungan dengan kebijakan pendidikan atau hubungan antara guru dan murid. Keputusan mengenai masalah internal pendidikan harus tetap menjadi kewenangan pihak sekolah, dengan prinsip keadilan dan objektivitas yang dijunjung tinggi. Ketika orang tua murid menggunakan posisi mereka untuk memberi tekanan terhadap pihak sekolah, ini dapat merusak hubungan antara sekolah dan masyarakat, serta menciptakan ketidakadilan bagi pihak-pihak lain yang terlibat, terutama guru honorer yang sudah berada dalam posisi yang sangat rentan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Kasus ini juga menyoroti masalah ketegangan sosial yang muncul ketika status sosial seseorang dianggap berbeda dari norma mayoritas. Guru honorer, seperti yang dialami Supriyani, sering kali dipandang sebelah mata, terutama jika dibandingkan dengan guru PNS yang memiliki kedudukan lebih tinggi dalam struktur pendidikan. Dalam masyarakat, ada kecenderungan untuk meremehkan profesi guru honorer karena status mereka yang tidak tetap dan kurangnya perlindungan hukum serta sosial.

Kondisi ini bisa memperburuk rasa inferioritas dan stres bagi seorang guru honorer yang berhadapan dengan murid yang berasal dari keluarga dengan posisi sosial lebih tinggi. Ketegangan ini tidak hanya terjadi dalam interaksi langsung, tetapi juga dapat tercermin dalam perilaku murid yang merasa lebih superior, baik karena latar belakang keluarga yang berprofesi sebagai polisi ataupun status sosial lainnya.

Selain itu, stigma sosial terhadap guru honorer juga bisa membatasi kemampuan mereka dalam menyelesaikan masalah secara efektif. Mereka mungkin merasa bahwa jika menghadapi murid yang lebih berkuasa secara sosial, mereka tidak memiliki ruang untuk mengekspresikan pendapat atau bertindak sesuai dengan kebijakan pendidikan yang ada. Hal ini menciptakan ketidakadilan dalam proses pendidikan, yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip keadilan dan keberagaman.

Untuk menyelesaikan kasus seperti ini, diperlukan pendekatan yang bijak dan konstruktif. Pertama, penting untuk memastikan bahwa guru honorer memiliki hak yang sama dengan guru PNS dalam hal perlindungan hukum dan sosial, serta mendapatkan penghargaan yang setimpal atas kontribusi mereka dalam dunia pendidikan. Keberadaan guru honorer yang lebih diberdayakan akan memberikan rasa hormat yang lebih besar dari siswa dan orang tua siswa, terlepas dari latar belakang sosial mereka.

Kedua, harus ada upaya yang lebih intensif untuk membangun komunikasi dan pemahaman antara pihak sekolah, orang tua siswa, dan masyarakat. Dalam hal ini, sekolah harus berperan aktif dalam menangani masalah secara adil dan profesional, dengan tetap menjaga netralitas dan menghindari campur tangan eksternal yang bisa merusak integritas pendidikan.

Dalam konteks ini, kita juga perlu memperhatikan konsep “privilige”. Karena orang tuanya bekerja di instansi pemerintah, anak-anak petugas polisi dapat diberikan akses atau perlakuan khusus. Mereka yang menikmati keuntungan ini sering kali tidak menyadarinya. Anak-anak yang berasal dari keluarga berpendapatan rendah atau pekerja yang rajin, seperti guru honorer, mungkin merasa dikucilkan dalam keadaan seperti itu. Akibatnya, masyarakat kita menjadi semakin tidak setara. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk mendiskusikan masalah ketimpangan ini secara terbuka, agar ada perubahan sistemik yang lebih adil bagi semua orang, tanpa terkecuali.

Kasus-kasus seperti ini seharusnya menjadi bahan refleksi untuk melakukan penilaian ulang terhadap sistem yang ada saat ini. Pemerintah harus lebih mempertimbangkan nasib guru honorer yang sudah lama menjabat dan memastikan mereka diperlakukan secara adil dan diberikan kesejahteraan yang memadai. Di sisi lain, bagi anak-anak dari keluarga yang memiliki privilese, diharapkan bisa lebih bijaksana dan sadar akan posisi mereka, sehingga mereka tidak menyalahgunakan kedudukan orang tua mereka untuk memperoleh kemudahan yang tidak seharusnya mereka dapatkan.

Akhirnya, penting bagi kita semua untuk menyadari bahwa pendidikan adalah proses yang harus menghormati nilai-nilai demokrasi, keadilan, dan kesetaraan. Dalam konteks ini, peran guru honorer tidak bisa dipandang sebelah mata, dan tidak ada ruang bagi pengaruh eksternal yang bisa merusak keberlangsungan proses pendidikan yang sehat dan adil.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Niken Ayuni Lestari, Mahasiswa Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES