Ketika Kebijakan Jadi Musibah: Nelayan Tersingkir, Rakyat Berebut Gas

TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam beberapa bulan terakhir, masyarakat Indonesia dihadapkan pada berbagai permasalahan yang seharusnya dapat ditangani dengan kebijakan yang lebih bijak dan komunikasi publik yang lebih efektif. Dua isu yang mencuat adalah polemik terkait pembangunan pagar laut serta distribusi LPG 3 kg yang semakin menyulitkan rakyat kecil. Kedua kasus ini mencerminkan buruknya perencanaan dan eksekusi kebijakan, yang akhirnya menimbulkan ketidakpuasan publik.
Pemerintah mengklaim bahwa pembangunan pagar laut merupakan langkah preventif untuk menghadapi ancaman abrasi serta naiknya permukaan air laut akibat perubahan iklim. Namun, proyek ini menuai banyak kritik dari berbagai kalangan, termasuk akademisi, aktivis lingkungan, dan masyarakat pesisir.
Advertisement
Kritik utama datang dari sisi efektivitas dan dampak ekologis proyek tersebut. Banyak ahli menilai bahwa pembangunan pagar laut tidak memberikan solusi jangka panjang terhadap abrasi. Sebaliknya, solusi berbasis alam seperti rehabilitasi hutan mangrove dan pengelolaan garis pantai yang lebih berkelanjutan justru lebih efektif. Tak hanya itu, proyek ini juga dianggap minim melibatkan masyarakat lokal yang kehidupannya akan langsung terdampak.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Salah satu kasus nyata terjadi di wilayah pesisir utara Jawa, di mana pembangunan pagar laut memicu kerusakan ekosistem laut dan menghambat aktivitas nelayan. Alih-alih memberikan perlindungan, kebijakan ini justru mengorbankan mata pencaharian masyarakat setempat.
Sementara itu, polemik lain yang tidak kalah panas adalah kebijakan distribusi gas LPG 3 kg. Sebagai bahan bakar utama bagi masyarakat kecil, tabung gas melon ini telah menjadi kebutuhan pokok bagi banyak keluarga Indonesia. Namun, berbagai kebijakan baru terkait distribusinya justru memperumit akses masyarakat.
Pemerintah mencoba menerapkan sistem distribusi tertutup dengan alasan ingin memastikan subsidi tepat sasaran. Namun, pelaksanaan kebijakan ini malah menimbulkan kekacauan di lapangan. Banyak masyarakat yang berhak justru kesulitan mendapatkan LPG bersubsidi karena prosedur administrasi yang rumit.
Kelangkaan LPG 3 kg di berbagai daerah semakin memperparah situasi. Antrean panjang di pangkalan gas menjadi pemandangan sehari-hari. Para pedagang kecil yang sangat bergantung pada LPG bersubsidi untuk menjalankan usahanya, seperti penjual gorengan dan warung makan, terpaksa menanggung beban biaya operasional yang lebih tinggi. Kondisi ini tentu saja memukul daya beli masyarakat kecil yang sudah terhimpit oleh inflasi.
Salah satu akar masalah dari kedua polemik ini adalah komunikasi publik yang buruk. Pemerintah gagal menjelaskan secara transparan dan persuasif tujuan serta manfaat kebijakan yang diambil. Dalam kasus pembangunan pagar laut, sosialisasi yang minim membuat masyarakat lokal merasa diabaikan dan teralienasi.
Demikian pula dalam kebijakan distribusi LPG 3 kg, pemerintah tidak memberikan informasi yang jelas mengenai bagaimana sistem distribusi baru ini akan berjalan. Ketidaktahuan masyarakat tentang proses pendataan dan mekanisme distribusi membuat kebijakan ini terasa mendadak dan memicu kepanikan.
Kegagalan komunikasi ini tidak hanya memperburuk hubungan antara pemerintah dan masyarakat, tetapi juga menimbulkan ketidakpercayaan publik terhadap kebijakan pemerintah. Padahal, komunikasi yang efektif adalah kunci untuk membangun pemahaman dan dukungan masyarakat.
Kisruh yang terjadi dalam kasus pagar laut dan distribusi LPG 3 kg seharusnya menjadi pembelajaran bagi pemerintah. Ada beberapa langkah yang perlu diambil agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Pertama, dalam merumuskan kebijakan, pemerintah harus lebih aktif melibatkan masyarakat dan para ahli yang relevan. Partisipasi publik dalam proses perencanaan kebijakan akan menghasilkan keputusan yang lebih tepat sasaran dan dapat diterima oleh semua pihak.
Kedua, pemerintah perlu mengedepankan solusi berbasis data dan kajian mendalam. Dalam kasus pagar laut, pendekatan berbasis alam yang lebih berkelanjutan seharusnya menjadi prioritas. Sementara itu, untuk distribusi LPG 3 kg, sistem yang sederhana dan transparan harus dirancang agar subsidi benar-benar tepat sasaran tanpa memberatkan masyarakat kecil.
Ketiga, komunikasi publik yang efektif harus menjadi bagian integral dari setiap kebijakan. Pemerintah perlu menyampaikan informasi secara jelas, transparan, dan persuasif kepada masyarakat. Edukasi yang memadai tentang manfaat dan mekanisme kebijakan akan membantu mengurangi resistensi publik.
Dengan langkah-langkah tersebut, pemerintah tidak hanya dapat menghindari konflik yang tidak perlu, tetapi juga membangun kepercayaan masyarakat terhadap kebijakan yang diambil. Pada akhirnya, kebijakan yang berpihak pada rakyat dan didukung oleh komunikasi yang efektif akan membawa Indonesia menuju pembangunan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |