Kopi TIMES

Wajah Negara Bak Sendok dan Garpu

Selasa, 18 Februari 2025 - 10:00 | 24.01k
Jafar G Bua, Mantan Produser Lapangan CNN Indonesia, Kini Tenaga Ahli Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI.
Jafar G Bua, Mantan Produser Lapangan CNN Indonesia, Kini Tenaga Ahli Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Makanan, seperti hal-hal lain yang menyentuh hajat hidup orang banyak, tak pernah sekadar perkara pangan. Di dalamnya ada ideologi, ada politik, ada sejarah, dan ada banyak kepentingan-mungkin yang terang benderang maupun yang samar. Sepiring nasi bisa mencerminkan wajah sebuah negara, mentalitas pemimpinnya, dan arah kebijakannya.

Ketika Presiden Prabowo Subianto menggagas program Makanan Bergizi Gratis (MBG), kritik pun mengemuka. Lazim. Tiada yang aneh. Kebijakan publik memang selalu melahirkan silang pendapat. Namun, barangkali, di balik hiruk-pikuk kritik dan pujian itu, ada satu pertanyaan mendasar: Mengapa sebuah negara memberi makan rakyatnya?

Advertisement

Jawabannya bisa ditemukan dalam sejarah. Tahun 1946, di Amerika Serikat, Presiden Harry S. Truman mengesahkan National School Lunch Program (NSLP), program makan siang gratis bagi anak-anak sekolah. Ini bukan semata-mata tindakan filantropis negara.

Latar belakangnya adalah sebuah kenyataan pahit: banyak pemuda Amerika ditolak masuk militer selama Perang Dunia II karena kekurangan gizi. Negeri Paman Sam sadar, rakyat yang lapar adalah rakyat yang lemah. Anak-anak yang tak cukup makan adalah generasi yang gagal sebelum sempat tumbuh.

Di balik NSLP, ada banyak kepentingan yang berkelindan. Di satu sisi, program ini adalah upaya meningkatkan kesehatan dan produktivitas masa depan. Anak-anak yang cukup gizi akan tumbuh menjadi tenaga kerja yang lebih kuat dan efisien.

Di sisi lain, NSLP menopang harga pangan dengan menyerap surplus pertanian. Ada kepentingan industri di sana-petani gandum, peternak susu, hingga korporasi makanan olahan.

Namun, tak semua orang menerima NSLP dengan tangan terbuka. Ada yang menganggapnya sebagai bentuk sosialisme terselubung. Bukankah memberi makan anak-anak adalah tugas keluarga?

Seorang senator bahkan pernah menyindir, “Jika kita memberi mereka makan di sekolah, sebentar lagi kita harus memberi mereka pakaian dan tempat tinggal.” Ironi ini terasa pedih di negeri yang begitu mengagungkan kebebasan individu, namun tetap menggantungkan kebutuhan dasar pada intervensi negara.

Lama-kelamaan, program ini berkembang dan menyesuaikan diri dengan zaman. Ada masa ketika makanan cepat saji masuk ke dalam menu sekolah: nugget ayam, burger, pizza-semuanya diklaim sebagai “nutrisi seimbang” berkat lobi industri makanan.

Lalu, datang era Michelle Obama yang membawa reformasi, mengganti kentang goreng dengan wortel, mengganti soda dengan susu rendah lemak. Perubahan ini pun tak lepas dari kontroversi. Ada anak-anak yang protes karena makan siang mereka dianggap “tak lagi enak.” Ada sekolah yang mengeluh karena makanan sehat lebih mahal.

Kisah NSLP adalah cermin bahwa kebijakan memberi makan rakyat tak pernah sekadar urusan perut. Di dalamnya ada tarik-menarik ideologi, ada perdebatan ekonomi, ada ketegangan antara negara dan pasar. Negara harus memilih: apakah ia sekadar menjadi wasit yang membiarkan rakyatnya berjuang sendiri, atau menjadi dapur besar yang memastikan tak ada perut kosong di jam belajar.

Kini, Indonesia dihadapkan pada pertanyaan yang sama. Dengan program Makanan Bergizi Gratis, Prabowo Subianto menyatakan sikapnya: negara bukan sekadar mesin birokrasi, melainkan rumah yang harus memastikan anak-anaknya tumbuh dengan cukup gizi. Prinsipnya jelas: memberi makan rakyat bukan kemurahan hati, melainkan kewajiban.

Seperti di Amerika, program ini tak lepas dari kritik. Ada yang bertanya: dari mana dananya? Apakah ini realistis? Apakah ini hanya strategi populis? Pertanyaan-pertanyaan itu sah dan perlu diajukan.

Namun, di luar perdebatan itu, ada fakta yang tak terbantahkan: jutaan anak Indonesia datang ke sekolah dalam keadaan lapar. Banyak yang tidak cukup makan. Banyak yang kekurangan gizi. Jika dibiarkan, mereka tak hanya mengalami hambatan belajar, tapi juga akan tumbuh dengan keterbatasan fisik dan mental yang permanen.

Pemberian makan oleh negara memang bisa dipandang dari banyak sisi. Secara ekonomi, ini adalah investasi jangka panjang: anak-anak yang sehat akan menjadi tenaga kerja yang lebih produktif.

Secara sosial, ini adalah bentuk tanggung jawab kolektif: bangsa yang beradab tak akan membiarkan anak-anaknya kelaparan. Secara politik, ini adalah pernyataan sikap bahwa negara hadir dalam urusan paling mendasar dari kehidupan warganya.

Tentu ada tantangan besar dalam implementasi program ini. Bagaimana memastikan distribusi yang merata? Bagaimana memastikan anggaran tidak bocor?

Bagaimana memastikan bahwa makanan yang diberikan benar-benar bergizi dan berkualitas? Semua ini adalah pekerjaan rumah yang berat. Namun, satu hal yang pasti: program ini adalah langkah yang berani dan perlu.

Makan siang di sekolah bukan sekadar makan siang. Ia adalah ekspresi dari filosofi negara tentang bagaimana ia memperlakukan rakyatnya. Di dalamnya ada kalkulasi ekonomi, ada keberpihakan politik, ada kepentingan industri, ada ideologi.

Pada akhirnya, ia adalah tindakan yang menentukan: apakah negara membiarkan anak-anaknya tumbuh dengan perut kosong, ataukah ia memilih untuk mengulurkan tangan, menyajikan sepiring nasi, dan berkata: “Kau berhak untuk tumbuh dengan sehat.”

Dan di situlah, di sepiring nasi, di antara sendok dan garpu, kita melihat wajah negara yang sesungguhnya.

***

*) Oleh : Jafar G Bua, Mantan Produser Lapangan CNN Indonesia, Kini Tenaga Ahli Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES