Tragedi Korupsi di Ranting Kekuasaan Paling Rendah

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ada satu kisah tentang Umar bin Khattab yang selalu terasa tajam dalam ingatan. Suatu malam, sang Khalifah berjalan menyusuri jalanan Madinah dan mendengar tangisan anak-anak dari sebuah rumah kecil.
Ketika ia mendekati rumah itu, ia menemukan seorang ibu yang sedang merebus batu di atas api. Air mendidih, anak-anak menatap panci dengan harapan, tetapi Umar tahu bahwa mereka hanya menunggu kebohongan: tidak ada makanan di dalamnya.
Advertisement
Malam itu, Umar bergegas ke gudang makanan, memikul sendiri sekarung gandum di punggungnya, dan memasaknya untuk keluarga itu. "Jika aku lalai, akulah yang bertanggung jawab di hadapan Allah," katanya.
Di zaman yang lebih modern, di desa-desa yang jauh dari Madinah, di ranting kekuasaan paling rendah, ada banyak Umar yang seharusnya memikul tanggung jawabnya dengan cara yang sama. Tapi, laporan ICW berbicara lain. Sepanjang 2023, ada 187 kasus korupsi di desa.
Dana desa yang seharusnya menjadi beras di panci, jembatan yang menghubungkan kampung, atau sekolah bagi anak-anak, justru menguap ke kantong segelintir orang. Rp 162,2 miliar lenyap, tanpa jejak, tanpa manfaat.
Sejak UU Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa disahkan, dana desa mengalir deras. Pada 2023 saja, Rp 68 triliun dikucurkan untuk 75.265 desa di seluruh Indonesia. Angka yang luar biasa besar. Tapi seperti pedang bermata dua, aliran dana ini juga membawa godaan.
Satu desa kini rata-rata mengelola Rp 903 juta per tahun, dan di banyak tempat, kepala desa berubah menjadi raja kecil dengan kuasa besar.
Jika di era sahabat Nabi, kekuasaan adalah amanah yang menakutkan, di banyak desa hari ini, kekuasaan justru dipeluk dengan rakus.
Kasus demi kasus menunjukkan bahwa dana desa telah menjadi ladang basah bagi korupsi. Dari mark-up proyek, penggelapan dana, hingga pembangunan fiktif-semua menjadi bagian dari kisah klasik tentang penyalahgunaan wewenang.
Dalam pewayangan, ada kisah Prabu Matswapati dari Wirata yang dikenal bijak, tetapi di sekelilingnya, para patih dan pejabatnya banyak yang rakus. Kepercayaan yang ia berikan kepada para pembantunya justru menjadi sumber kehancuran negerinya.
Seperti Umar yang memikul gandum sendiri agar tidak ada rakyatnya yang kelaparan, Matswapati memilih untuk turun langsung mengawasi para pejabatnya, tetapi pada akhirnya, ia tetap harus menghadapi kenyataan: manusia selalu memiliki sisi gelap.
Korupsi di desa adalah dosa yang diwariskan. Dari tahun ke tahun, jumlah kasus meningkat. Pada 2019, ada 271 kasus dengan 580 tersangka. Angka itu terus naik: 444 kasus pada 2020, 533 kasus pada 2021, dan puncaknya, 79 kasus dengan 1.695 tersangka pada 2023.
Catatan lain yang dikumpulkan oleh Tim Jurnalisme Data Kompas menunjukkan ada 591 putusan kasus korupsi dana desa sepanjang 2014-2024. Itu berdasarkan rekam data dari Direktori Putusan Mahkamah Agung.
Hasilnya, kerugian negara akibat korupsi dana desa mencapai Rp 598,13 miliar atau setara dana desa untuk 744 desa jika masing-masing menerima Rp 800 juta.Ini bukan sekadar statistik.
Ini adalah bukti bahwa sistem pengawasan lemah, bahwa mereka yang korupsi tidak benar-benar takut, bahwa desa bukan lagi tempat membangun kesejahteraan, tetapi tempat berburu kekayaan.
Ada perbedaan besar antara pemimpin yang memikul amanah dan mereka yang sekadar menikmati kekuasaan. Umar menangis ketika mendengar ada rakyatnya yang kelaparan. Abu Bakar memeriksa sendiri keadaan masyarakatnya di malam hari.
Ali bin Abi Thalib menolak menikmati kekayaan yang bukan haknya. Tapi di desa-desa kita hari ini, banyak kepala desa yang justru berpesta dengan uang yang seharusnya digunakan untuk membangun.
Namun, harapan belum hilang. Dalam sejarah Islam, keadilan selalu menemukan jalannya. Kisah Umar, Abu Bakar, dan Ali adalah bukti bahwa kekuasaan tidak harus merusak. Transparansi yang lebih ketat, partisipasi warga dalam mengawasi dana desa, serta tindakan tegas dari penegak hukum bisa menjadi langkah pertama untuk mengubah arah sejarah.
Dalam mitologi Hindu, ada konsep "dharma": jalan kebenaran. Dalam Islam, ada konsep "amanah": tanggung jawab yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat. Jika kepala desa mampu melihat dana desa sebagai bagian dari amanah, bukan sekadar sumber kekayaan pribadi, mungkin cerita ini bisa memiliki akhir yang berbeda.
Mungkin, desa-desa di Indonesia bisa benar-benar menjadi tempat kehidupan yang lebih baik. Bukan sekadar halaman belakang bagi kota yang terus menjarah.
***
*) Oleh : Jafar G Bua, Mantan Produser Lapangan CNN Indonesia, Kini Tenaga Ahli Anggota Fraksi Partai Gerindra DPR RI.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |