Sengkarut Sertifikat Ganda: Penggusuran di Bekasi dan Lemahnya Sistem Pertanahan

TIMESINDONESIA, MALANG – Kasus penggusuran rumah di Bekasi yang baru-baru ini terjadi akibat sertifikat ganda kembali menyoroti permasalahan agraria di Indonesia. Kejadian ini memperlihatkan bagaimana ketidakpastian hukum terkait kepemilikan tanah terus menghantui masyarakat, yang seharusnya dilindungi oleh sistem administrasi negara.
Dalam kasus ini, pemilik rumah yang telah lama menempati lahan secara sah tiba-tiba dihadapkan pada kenyataan pahit: sertifikat tanah yang mereka pegang dianggap tidak sah oleh pihak lain yang juga mengklaim hak atas tanah yang sama. Persoalan ini tidak hanya menyengsarakan warga yang menjadi korban penggusuran, tetapi juga menunjukkan adanya celah besar dalam sistem administrasi pertanahan di Indonesia.
Advertisement
Pada intinya, permasalahan ini bermula dari adanya sertifikat ganda, di mana dua pihak berbeda memiliki dokumen resmi yang dikeluarkan oleh otoritas terkait—yakni Badan Pertanahan Nasional (BPN) dan putusan pengadilan yang dikuatkan oleh Mahkamah Agung (MA). Dalam kasus ini, MA dan BPN saling melempar tanggung jawab, seakan tidak memiliki mekanisme yang jelas untuk menyelesaikan sengketa tanah yang melibatkan lebih dari satu sertifikat sah.
Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif bertugas menegakkan keadilan melalui putusan yang mengikat. Namun, dalam berbagai kasus tanah termasuk di Bekasi, MA sering kali dianggap hanya berfokus pada aspek legal formal tanpa mempertimbangkan dampak sosial yang ditimbulkan. Putusan yang memenangkan salah satu pihak tanpa memastikan keabsahan proses penerbitan sertifikat oleh BPN justru menciptakan ketidakpastian baru. Di sisi lain, BPN sebagai lembaga yang berwenang menerbitkan sertifikat tanah juga memiliki tanggung jawab besar atas terjadinya sertifikat ganda ini. Ketidaktegasan dan lemahnya sistem verifikasi membuat tumpang tindih kepemilikan lahan menjadi masalah kronis yang sulit diselesaikan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Dalam berbagai kasus sengketa tanah, BPN kerap berdalih bahwa mereka hanya menjalankan administrasi sesuai data yang ada, sementara MA memutuskan berdasarkan bukti dan argumentasi hukum yang diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa. Namun, justru di sinilah letak persoalan utamanya: kedua lembaga ini tidak memiliki mekanisme yang solid untuk menyelaraskan data dan memastikan keabsahan sertifikat sebelum memberikan keputusan final.
Ketika MA mengeluarkan putusan yang memenangkan salah satu pihak, sering kali BPN tidak memiliki opsi selain mengikuti putusan tersebut, meskipun dalam beberapa kasus terbukti ada kesalahan dalam proses penerbitan sertifikat awalnya.
Selain itu, dalam kasus Bekasi, kita melihat bagaimana lemahnya pengawasan terhadap penerbitan sertifikat tanah di Indonesia. Banyak kasus sengketa tanah yang justru melibatkan oknum mafia tanah yang memanfaatkan celah administrasi dan hukum untuk menguasai lahan secara tidak sah. Fenomena ini menjadi semakin kompleks ketika lembaga negara seperti BPN dan MA gagal berkoordinasi dalam menyelesaikan sengketa dengan pendekatan yang komprehensif.
Ketidaktegasan kebijakan antara BPN dan MA tidak hanya merugikan warga yang menjadi korban penggusuran, tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan administrasi pertanahan di Indonesia. Seharusnya, pemerintah dan lembaga terkait memiliki mekanisme yang lebih tegas dalam mencegah penerbitan sertifikat ganda. Salah satu solusi yang dapat diterapkan adalah memperkuat sistem digitalisasi pertanahan yang terintegrasi antara BPN dan lembaga hukum lainnya, sehingga tidak ada lagi sertifikat yang diterbitkan secara tumpang tindih.
Di sisi lain, perlu ada revisi terhadap mekanisme pengambilan keputusan di MA terkait sengketa tanah. Alih-alih hanya mengandalkan aspek legal formal, perlu ada audit mendalam terhadap sertifikat yang bersengketa sebelum diputuskan secara hukum. Dengan demikian, tidak akan ada lagi kasus di mana warga yang telah lama menempati lahan secara sah tiba-tiba kehilangan rumah mereka karena putusan pengadilan yang mengesampingkan aspek keabsahan administrasi awal.
Kasus di Bekasi ini harus menjadi peringatan bagi pemerintah untuk segera mereformasi sistem pertanahan nasional. Jangan sampai konflik agraria terus berulang akibat kebijakan yang tumpang tindih dan minim koordinasi antara lembaga negara. Jika tidak ada perbaikan signifikan, kasus seperti ini akan terus berulang dan masyarakat kecil yang paling dirugikan.
Pada akhirnya, negara memiliki kewajiban untuk melindungi hak kepemilikan warga, bukan justru menciptakan ketidakpastian melalui kebijakan yang tidak sinkron. Sudah saatnya BPN dan MA berhenti saling melempar tanggung jawab dan mulai membangun sistem yang lebih transparan, akurat, dan dapat dipercaya oleh seluruh rakyat Indonesia. Dengan langkah konkret, harapan untuk menciptakan keadilan dalam kepemilikan tanah bukanlah sekadar ilusi, tetapi menjadi kenyataan yang bisa dirasakan oleh semua warga negara. (*)
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |