
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Salam. Saya langsung saja, ya pak. Tak perlu basa-basi, seperti lazimnya kita. Pak Simon, Anda mungkin tidak salah. Yang salah adalah pendahulu Anda. Tapi beginilah negeri ini bekerja: orang yang duduk di kursi tinggi, walau baru sebentar, harus memikul dosa-dosa yang diwariskan. Yang lama mencuri, yang baru meminta maaf. Yang pergi membawa untung, yang tinggal mengais sisa-sisa kepercayaan.
Anda meminta maaf, Pak. Kata-kata itu keluar dengan hati-hati. Permohonan maaf kepada rakyat, sebuah upaya menjaga wajah di tengah badai korupsi yang menyeret institusi yang Anda pimpin.
Advertisement
Tapi permintaan maaf macam apa yang cukup untuk mengganti miliaran uang rakyat yang menguap? Kata-kata macam apa yang bisa menghapus kerakusan yang sudah bertahun-tahun ditanam di tubuh Pertamina?
Di Jepang, ketika seorang pejabat tertangkap korupsi, ada dua kemungkinan: dia mundur, atau dia melakukan seppuku atau harakiri, itu bukan sekadar bunuh diri fisik, tapi simbol kehormatan yang hancur. Di negeri ini, mereka yang ditangkap justru sibuk mencari alasan. Ada yang pura-pura sakit. Ada yang menyebut ini "konspirasi politik." Ada yang tiba-tiba religius, menggenggam tasbih di ruang sidang.
Tapi Anda, Pak Simon, memilih meminta maaf. Itu pilihan yang masuk akal. Tidak ada yang berharap Anda akan mundur hanya karena dosa orang-orang sebelum Anda. Tapi bagaimana jika ada yang lebih berani? Bagaimana jika ada yang memutus rantai aib ini?
Dulu, orang tua kita punya ajaran, mikul dhuwur, mendhem jero-mengangkat tinggi nama leluhur, mengubur dalam-dalam aibnya. Sebuah nilai budaya yang awalnya indah, tapi belakangan berubah menjadi alat melindungi kejahatan. Kita diajarkan untuk diam demi nama baik keluarga, demi kehormatan, demi stabilitas.
Dan itu yang terus terjadi. Korupsi menjadi warisan, tapi bukan untuk dikenang. Ia diwariskan seperti hutang, dan setiap pemimpin baru diminta menanggung beban yang bukan miliknya. Tapi sampai kapan?
Jangan "mikul dhuwur, mendhem jero" para bajingan pengoplos itu, Pak. Jangan lagi membela mereka yang telah menjual harga diri bangsa ini demi kantong mereka sendiri. Karena yang dirugikan bukan hanya angka dalam laporan keuangan Pertamina.
Yang dicuri bukan hanya uang negara. Yang dicuri adalah kepercayaan rakyat. Pak Simon, apakah Anda pernah bertanya, mengapa orang-orang kita begitu mudah lupa?
Hari ini ada kasus besar, besok berganti dengan skandal lain. Hari ini ada pejabat yang tertangkap, besok ada wajah baru yang duduk di kursinya. Kita berpindah dari satu tragedi ke tragedi lain tanpa benar-benar menyelesaikan apa pun.
Lihatlah sejarah. Kita pernah punya daftar panjang tokoh yang terseret korupsi, tapi apakah kita mengingatnya? Mereka menghilang, nama mereka pudar, lalu tiba-tiba kembali dalam bentuk baru. Ada yang jadi penasihat. Ada yang jadi komisaris. Ada yang masuk partai dan bertarung di pemilu.
Mereka tidak pernah benar-benar pergi. Mereka hanya bersembunyi, menunggu giliran berikutnya. Lalu apa gunanya permintaan maaf Anda, Pak? Apakah ini hanya sebuah ritual? Sebuah kalimat wajib dalam protokol krisis? Atau ada sesuatu yang lebih dari itu?
Mari bicara soal keberanian. Banyak orang mengira keberanian adalah soal berperang, melawan musuh, mengangkat senjata. Tapi dalam dunia birokrasi, keberanian adalah ketika seseorang memilih jujur di tengah kebiasaan berbohong.
Keberanian adalah ketika seorang pemimpin tidak hanya meminta maaf, tapi juga berani memutus rantai kebusukan. Bukan hanya dengan membentuk "Tim Crisis Center," bukan hanya dengan mengevaluasi proses bisnis. Tapi dengan bersikap tegas: menyingkirkan mereka yang selama ini bermain di belakang layar.
Mengungkap nama-nama yang selama ini ditutup-tutupi. Karena jika tidak, permintaan maaf ini hanya akan menjadi satu dari sekian banyak permintaan maaf yang pernah kita dengar.
Pak Simon, Anda tidak salah. Yang salah adalah mereka yang menjadikan korupsi sebagai budaya.
Tapi jika Anda hanya berdiri di sana, meminta maaf tanpa melakukan sesuatu yang berarti, maka Anda hanya akan menjadi bagian dari sistem yang sama. Anda akan jadi pejabat yang datang dan pergi tanpa bekas.
Jangan jadi satu lagi nama yang dilupakan. Karena harakiri, dalam bentuknya yang lain, masih mungkin dilakukan, bukan dengan pisau, tapi dengan keberanian untuk mengatakan: cukup.
***
*) Oleh : Jafar G Bua, Tenaga Ahli Anggota DPR RI, alumni Asia Journalism Fellowship (AJF) Singapura, 2019.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |