Peran Guru dalam Pembelajaran Sejarah di Era Pendidikan Late Modernity

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di tengah pesatnya perkembangan teknologi dan perubahan paradigma pendidikan, pembelajaran sejarah seringkali dihadapkan pada pertanyaan mendasar: “Bagaimana mempertahankan relevansinya di era yang sekarang serba cepat berubah dan berorientasi pada masa depan?”.
Pertanyaan tersebut harus dijawab karena sejarah sebagai disiplin ilmu yang mempelajari masa lalu, sejatinya tidak hanya berperan sebagai penjaga memori kolektif manusia, tetapi juga sebagai sarana memahami value kehidupan berbangsa.
Advertisement
Selain itu, sejarah juga merupakan sumber inspirasi dan pembelajaran bagi generasi mendatang dalam menghadapi tantangan global. Sehingga, meskipun zaman terus bergerak, pembelajaran sejarah tidak boleh diabaikan begitu saja.
Maka, untuk mempertahankan eksistensi dan urgensi belajar sejarah, banyak peneliti, praktisi dan ahli yang mendorong agar pembelajaran sejarah dapat dilaksanakan dengan orientasi yang dekat dengan pemanfaatan inovasi.
Kebutuhan inovasi tersebut berkaitan dengan bagaimana cara mendekatkan peserta didik dengan peristiwa sejarah. Mengingat, ada kesenjangan mendasar antara peserta didik dengan materi sejarah yang mereka pelajari. Kesenjangan yang dimaksud adalah kesenjangan waktu dan tempat.
Dalam konteks ini, ketika belajar sejarah, maka peserta didik akan mempelajari sesuatu yang tidak dialami, dirasakan, dilihat, dan didengar secara langsung. Apabila menggunakan cara pembelajaran konvensional, tentu saja materi tersebut tidak akan menarik bagi peserta didik.
Oleh karena itu, pendekatan inovatif yang mengintegrasikan teknologi dalam pembelajaran perlu diterapkan untuk menarik minat peserta didik serta meningkatkan pemahaman mereka terhadap konteks sejarah dalam kehidupan era pasca modern yang saat ini jauh lebih kompleks dan penuh ketidakpastian akibat percepatan perubahan atau dikenal dengan late modernity.
Hal tersebut dapat dilaksanakan dengan memanfaatkan aneka platform teknologi berbasis simulasi virtual, video, dan aplikasi interaktif yang memungkinkan peserta didik menjelajahi peristiwa sejarah secara lebih imersif tanpa harus meninggalkan kelas.
Misalnya, penggunaan virtual reality (VR) untuk "mengunjungi" situs bersejarah seperti Borobudur atau menyaksikan rekonstruksi Perang Diponegoro sehingga dapat memberikan pengalaman belajar yang lebih konkret kepada peserta didik, terutama bagi mereka yang belum pernah datang secara langsung ke lokasi bersejarah.
Meskipun demikian, harus dicermati bahwa terlalu fokus pada aspek visual atau permainan interaktif berisiko mengaburkan kedalaman analisis. Sejarah bukan hanya tentang "melihat" masa lalu, tetapi juga tentang merenungkan sebab-akibat, nilai kemanusiaan, dan relevansi peristiwa terhadap konteks kekinian.
Jika sejarah era late modernity menggunakan teknologi tapi sekedar berorientasi pada upaya menampilkan fakta secara visual, maka justru membuat pembelajaran ini tetap kering. Misalnya, diskusi tentang Revolusi Industri tidak cukup hanya dengan menampilkan animasi mesin uap dalam bentuk video, tetapi perlu dikaitkan dengan isu kontemporer seperti ketimpangan global atau dampak lingkungan.
Artinya, tanpa pendekatan multidisipliner, pembelajaran sejarah bisa terjebak dalam romantisasi masa lalu tanpa makna walau didukung dengan media pembelajaran kekinian. Sederhananya, guru perlu tetap menjaga keseimbangan antara hibridisasi teknologi dan esensi pembelajaran sejarah.
Pada konteks di atas, guru sebagai mediator tetap memiliki peran strategis dalam membentuk cara pandang peserta didik terhadap peristiwa sejarah. Dengan pendekatan yang lebih interaktif, guru diharapkan dapat mengajak peserta didik untuk tidak hanya menghafal fakta-fakta sejarah, tetapi juga memahami konteks dan dinamika di balik peristiwa tersebut dengan bantuan teknologi inovasi.
Guru dapat melakukan diskusi mendalam, analisis kritis, dan interpretasi naratif, dengan mengajak peserta didik untuk melihat sejarah sebagai suatu proses yang hidup dan selalu berkembang, sehingga mereka dapat menarik pelajaran dari masa lalu untuk mengantisipasi dan menghadapi permasalahan di masa depan.
Dapat disimpulkan bahwa peran guru dalam pembelajaran sejarah di era modern diharapkan semakin dinamis dan adaptif. Guru tidak lagi hanya sebagai pengajar, melainkan juga inovator dan fasilitator yang mampu menciptakan lingkungan belajar yang holistik, mendalam, kreatif dan berorientasi pada pembelajaran yang bermakna.
Dengan terus mengembangkan metode pengajaran yang kreatif dan relevan, guru dapat memastikan bahwa sejarah tidak hanya menjadi kenangan masa lalu, tetapi juga sumber inspirasi dan pendorong perubahan positif yang terus relevan bagi generasi mendatang dengan bantuan inovasi teknologi. (*)
***
*) Oleh : Kristoforus Bagas Romualdi, Dosen Pendidikan Sejarah Universitas Tanjungpura.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |