
TIMESINDONESIA, PADANG – Indonesia kembali diguncang tekanan ekonomi dari berbagai arah. Nilai tukar rupiah terus melemah terhadap dolar Amerika Serikat, menyentuh Rp17.000 pada akhir Maret 2025.
Ini merupakan titik terendah dalam dua tahun terakhir, mencerminkan ketidakpastian pasar serta kekhawatiran investor terhadap arah kebijakan moneter global.
Advertisement
Di sisi lain, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga terseret arus pesimisme. Sejak awal tahun, IHSG telah terkoreksi hampir 10 persen. Investor asing menarik modal mereka dari pasar domestik, beralih ke aset yang dianggap lebih aman seperti obligasi pemerintah AS yang kini memberikan imbal hasil lebih tinggi.
Sentimen negatif ini juga diperparah oleh kekhawatiran terhadap kondisi geopolitik dan lambannya pemulihan ekonomi global.
Bukan hanya faktor pasar yang membuat Indonesia berada dalam posisi sulit. Kebijakan proteksionis Presiden Amerika Serikat Donald Trump menambah beban. Pemerintah AS kembali menerapkan tarif bea masuk hingga 32% untuk produk ekspor dari Indonesia, termasuk tekstil dan produk agrikultur.
Kebijakan ini menghambat ekspor dan memperlemah neraca perdagangan Indonesia, yang sebelumnya menjadi salah satu tumpuan pertumbuhan ekonomi nasional.
Di dalam negeri, pemerintah Prabowo-Gibran tengah mempersiapkan peluncuran sejumlah program unggulan seperti makan siang gratis nasional, ketahanan pangan, dan hilirisasi industri. Namun, tantangan ekonomi global membuat program-program ini tidak bisa dijalankan secara linear.
Tekanan terhadap rupiah berpotensi mendorong inflasi dan mempersempit ruang fiskal. Kenaikan harga bahan impor dapat berdampak langsung terhadap industri dalam negeri yang belum sepenuhnya mandiri dalam rantai pasok.
Program makan siang gratis, misalnya, memerlukan logistik yang kuat dan distribusi bahan pangan dalam skala besar. Jika harga-harga pangan naik, biaya operasional pemerintah akan membengkak.
Demikian pula dengan proyek hilirisasi industri, yang masih sangat tergantung pada impor mesin dan teknologi dari luar negeri. Kelemahan nilai tukar dapat menghambat investasi dalam sektor ini.
Kondisi ini menunjukkan bahwa Indonesia sedang berdiri di persimpangan jalan penting. Di satu sisi, ada ambisi besar membangun ekonomi dari fondasi domestik. Di sisi lain, tekanan global dan respons kebijakan luar negeri seperti tarif Trump menjadi variabel yang sulit dikendalikan.
Tanpa penyesuaian kebijakan fiskal dan moneter secara responsif, banyak target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)—termasuk penurunan angka kemiskinan menjadi di bawah 7%—berisiko tidak tercapai.
Para ekonom menilai bahwa momentum perencanaan ulang sangat dibutuhkan. Bukan untuk membatalkan agenda ambisius pemerintah, tetapi untuk menyusunnya ulang agar selaras dengan tantangan faktual.
Perlu dicatat bahwa badai itu tak selalu buruk. Ia bisa menjadi penanda bahwa arah layar perlu diubah.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |