Kopi TIMES

Sikap Indonesia Hadapi Kenaikan Tarif AS 2025: Prabowo vs Trump: Diplomasi atau Perang Dagang?

Senin, 14 April 2025 - 12:40 | 29.50k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Presiden Prabowo Subianto menghadapi ujian berat di tahun pertama pemerintahannya ketika Donald Trump kembali menggebrak pasar global dengan kenaikan tarif impor hingga 30% untuk produk Indonesia. Kebijakan Trump yang disebut sebagai "America First 2.0" ini langsung menampar ekspor andalan Indonesia seperti minyak sawit, tekstil, dan elektronik.

Berbeda dengan respon emosional era Jokowi yang langsung membalas dengan tarif, Prabowo memilih pendekatan lebih kalem namun penuh perhitungan - mengirimkan tim khusus untuk bernegosiasi sambil menyiapkan senjata balasan diam-diam. Strategi ini cerdik secara politik tapi mengandung risiko besar: Trump terkenal tidak mudah dibujuk dalam urusan dagang, sementara industri dalam negeri sudah merintih terkena dampaknya.

Advertisement

Di balik layar, tim ekonomi Prabowo bekerja keras menyusun skenario multi-track. Menteri Perdagangan menggalang dukungan negara-negara G20 untuk menekan AS melalui forum WTO, sementara Menlu melakukan pendekatan bilateral dengan sekutu tradisional AS seperti Jepang dan Korea Selatan yang juga dirugikan kebijakan Trump.

Langkah ini menunjukkan kecanggihan diplomasi ekonomi Indonesia yang tidak hanya mengandalkan konfrontasi langsung. Namun, para pengusaha ekspor mulai tidak sabar. Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) melaporkan 120 ribu pekerja terancam PHK jika kondisi berlanjut hingga kuartal ketiga 2025. Tekanan ini memaksa Prabowo mempertimbangkan opsi lebih keras, termasuk mengancam akan membatalkan pesanan 50 pesawat tempur F-15EX senilai $7 miliar ke Boeing sebagai senjata tekanan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Prabowo paham betul bahwa konfrontasi langsung dengan AS bisa berakibat fatal bagi investasi dan kerja sama strategis lainnya. Itu sebabnya ia memainkan kartu diplomasi dengan hati-hati, sekaligus mempersiapkan daftar produk AS yang akan dikenai tarif balasan jika negosiasi gagal.

Langkah ini mirip dengan pendekatan Malaysia yang berhasil melunakkan kebijakan Trump untuk produk semiconductor melalui lobi halus, tapi berbeda dengan Vietnam yang langsung gesit mengalihkan ekspor ke pasar Eropa dan Timur Tengah. Prabowo sepertinya ingin mengambil jalan tengah - tidak ingin terlihat lemah seperti Thailand yang cenderung menyerah, tapi juga tidak mau terburu-buru memicu perang dagang terbuka.

Masalahnya, waktu tidak berpihak pada Indonesia. Setiap minggu negosiasi yang mandek berarti kerugian milyaran rupiah bagi eksportir nasional. Sektor sawit yang menjadi tulang punggung devisa sudah melaporkan penurunan permintaan dari AS sebesar 18% dalam dua bulan terakhir. Industri tekstil di Bandung dan Solo mulai merumahkan pekerja.

Situasi ini memicu tekanan politik dari parlemen dan asosiasi pengusaha yang menuntut tindakan lebih tegas. Prabowo berada di persimpangan jalan: tetap bertahan dengan pendekatan diplomatis yang belum membuahkan hasil, atau mengambil risiko dengan membalas kebijakan Trump yang bisa memicu eskalasi lebih jauh.

Yang jelas, keputusan Prabowo dalam beberapa bulan ke depan akan menentukan masa depan hubungan dagang Indonesia-AS dan ketahanan ekonomi nasional. Jika ia berhasil memaksa Trump mundur atau mendapatkan pengecualian tarif, ini akan menjadi kemenangan besar diplomasi ekonomi Indonesia. Tapi jika negosiasi gagal dan Indonesia terlambat mengambil tindakan tegas, kita bisa terjebak dalam krisis ekspor yang akan memukul pertumbuhan ekonomi di tengah ketidakpastian global.

Prabowo mungkin tidak ingin terlihat seperti Jokowi yang konfrontatif, tapi dalam menghadapi Trump, terkadang sikap tegas justru lebih dihormati daripada diplomasi yang berlarut-larut. Saatnya Indonesia menunjukkan taringnya di panggung perdagangan global, atau kita akan terus menjadi korban kebijakan sepihak negara adidaya.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES