
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Apapun yang mengancam kebebasan demokrasi, pers harus tetap ‘menggonggong’ agar pemerintah tetap berada dalam kontrol sosial. Dunia pers akhir-akhir ini mengalami disrupsi kebebasan.
Implikasi tersebut datang dari pihak internal dan eksternal industri media arus utama. Setelah di bulan Januari lalu industri media “digoncang” dengan Inpres nomor 1 tahun 2025, kebebasan pers mengalami gangguan yang cukup berat hingga tiga bulan berikutnya.
Advertisement
Bagaimana tidak, selain aspek ekonomi yang masih menjadi PR besar bagi para insan pers di tanah air, kebebasan mendapatkan informasi publik pun mengalami nasib yang sama. Pers harus menghadapi intimidasi fisik maupun psikologis dari beberapa pihak yang membuat kebebasan pers kembali diuji.
UU nomor 40 tahun 1999 tentang pers sepertinya sudah tidak bernyawa lagi. Instrumen hukum untuk melindungi kerja – kerja jurnalistik tersebut tidak lagi menjadi pedoman dalam setiap pelanggaran kebebasan pers yang terjadi.
Hampir setiap hari peristiwa intimidasi terhadap kebebasan pers diselesaikan dengan mediasi ataupun dengan kata permintaan maaf. Padahal, tertera jelas dalam UU nomor 40 tahun 1999 pasal 18 ayat 1 (satu) bahwa setiap orang yang menghambat atau menghalangi kerja – kerja pers termasuk dalam pelanggaran pidana.
Efisiensi Anggaran Publikasi
Sejak bulan januari 2025, dunia pers sudah mengalami intimidasi melalui aspek ekonomi. Inpres nomor 1 tahun 2025 yang menjadi “biang keladi” dari disrupsi kebebasan pers kali ini. Hal tersebut jelas pada instruksi Presiden Prabowo Subianto yang membatasi belanja kegiatan publikasi (diktum keempat poin kesatu). Instruksi tersebut membuat industri media diambang kecemasan, terlebih industri media cetak yang saat ini menuju “sunset”.
Ketergantungan industri media terhadap anggaran belanja komunikasi publik masih belum bisa dipisahkan hingga saat ini. Tatkala, Perusahaan media nasional yang bisnisnya makin melejit pun merasakan “goncangan” dari efisiensi anggaran tersebut.
Industri media dalam era modern saat ini memiliki dua entitas yang tidak dapat dipilah-pilih, sebagai entitas bisnis dan idealisme. Hakikatnya media sebagai pilar keempat demokrasi selain eksekutif, legislative, dan yudikatif. Namun, industri media juga memiliki “firewall” antara redaksi dan usaha.
Media tidak hidup di ruang kosong. Terdapat operasional dan karyawan media yang mesti dibiayai. Maka dari itu industri media tidak akan hidup jika hanya mengandalkan idealisme saja. Terdapat beberapa pendonor media seperti Perusahaan swasta, iklan, adsense, dan beberapa Lembaga lainnya. Satu hal penting, anggaran publikasi melalui pemerintah masih menjadi “angin segar” yang dibutuhkan oleh industri media.
Ancaman Kebebasan Pers
Selama tiga bulan terakhir peristiwa demonstrasi terjadi di beberapa kota di Indonesia. Agenda demonstrasi pun tak luput dari perhatian media untuk memberitakan peristiwa tersebut ke publik. Para pers turun ke lapangan untuk mendapatkan informasi sebanyak dan seaktual mungkin.
Namun Nasib buruk menimpa pers yang turun langsung di lapangan. Sebut saja pers dari media IDN Times yang mendapatkan intimidasi saat meliput demonstrasi mahasiswa di Senayan. Tidak sedikit pers yang mendapat kekerasan atau represifitas dari aparat penegak hukum. Kekerasan baik secara fisik dan psikologis tidak dapat dibenarkan dengan alasan apapun.
Nasib buruk insan pers tidak hanya terjadi saat di lapangan saja. Pada bulan maret lalu, Perusahaan media sebesar Tempo, mendapat kiriman kepala babi dan bangkai tikus yang ditujukkan kepada salah satu wartawannya. Hal ini tentunya menjadi alarm demokrasi kita yang salah satunya menghendaki kebebasan pers.
Dalam 3 tahun terakhir, kemerdekaan pers semakin menurun setiap tahun. Survei Indeks Kemerdekaan Pers (IKP) tahun 2024 menurun ke angka 69,36 dibandingkan tahun 2023 yang berada di 71,57. Pun dalam survey IKP tahun 2022, kemerdekaan pers berada di angka 77,88. Hal ini terjadi sebab tindakan represif terhadap penghalangan kerja-kerja pers di lapangan.
Perlindungan pers di lapangan harus luput dari perhatian. Khususnya dari dewan pers sebagai pelindung kemerdekaan pers di Indonesia. Munculnya berbagai intimidasi pers perlu tinjauan secara khusus.
Secara yuridis, kebebasan pers hari-hari ini mulai diambang menuju kegelapan. Hal tersebut berkaitan dengan aturan karet yang terdapat dalam Undang - Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang digunakan untuk mengekang pers dalam pemberitaan kasus-kasus sensitif.
Sebagai satu-satunya pilar demokrasi yang masih memiliki kepercayaan tinggi dari masyarakat, kebebasan pers menjadi modal utama dalam kondisi demokrasi Indonesia saat ini. Tantangan pers semakin kompleks dengan adanya keniscayaan perkembangan teknologi informasi.
Jauh sebelum kebebasan pers hari ini terancam, Presiden ketiga sekaligus pencetus deklarasi kemerdekaan Amerika Serikat, Thomas Jefferson lebih memilih tidak ada pemerintahan daripada tidak ada surat kabar (Pers). Bisa dipastikan bahwa kemerdekaan pers harus tetap berdiri sekalipun ancaman datang bertubi-tubi. (*)
***
*) Oleh : Hafiz Aqmal Djibran, S.I.Kom., Anggota PB Himpunan Pelajar Mahasiswa Indonesia Gorontalo periode 2024-2026.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |