
TIMESINDONESIA, MALANG – Indonesia adalah sebuah Negara yang terdiri dari berbagai macam suku, agama, ras, dan antar golongan yang berbeda-beda, Yang menjadikan Indonesia menjadi Negara yang menarik dengan menyimpan berbagai macam keanekaragaman budaya dan suku yang ada.
Dari pemahaman NKRI yang akan dijelaskan dalam tulisan ini telah mengalami pergeseran makna yang dimana NKRI yang dimaksud adalah Negara Kesatuan Republik Indonesia yang pemaknaannya adalah dimana Negara ini dimiliki bersama-sama berdasarkan kedaulatan rakyat yang disesuaikan dengan pasal 1 ayat 2 di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Advertisement
Dari bahasan NKRI saat ini di maknai sebagai Negara “Kekuasaan” Republik Indonesia, mengapa demikian hal ini merujuk pada beberapa kasus yang akhir-akhir ini terjadi melibatkan orang-orang yang memiliki “kekuasaan” di Indonesia.
Jika hal ini dibiarkan terus menurus akan terjadi gesekan dan pergolakan yang ada pada masyarakat dikarenakan masyarakat mengetahui bahwa Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berdasarkan Kedaulatan Rakyat dan Hukum (Rechstaat) yang tercantum di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 yang terdapat pada pasal 1 ayat 2 dan pasal 1 ayat 3 bukan Negara yang berdasarkan Kekuasaan (Macshtaat).
Kasus yang dilakukan orang-orang yang memiliki kekuasaan harus menjadi perhatian ekstra dari pemerintah jika tidak hal tersebut akan membuat kegaduhan di dalam negeri dari sisi kebersamaan dan akan menimbulkan polemik di dalam masyarakat karena masyarakat ingin mengetahui sejauhmana pemerintah memberikan sebuah keseriusan.
Dalam penanganan dan keadilan yang sesuai dengan perbauatan yang dilakukan untuk meyakinkan kepada masyarakat bahwa aturan tata perundang-undangan dibuat untuk mengikat seluruh Warga Negara Indonesia tanpa terkecuali.
Keseriusan dalam Keadilan di Negara NKRI
Kasus yang dilakukan oleh para “orang besar” tersebut menandakan bahwa ada suatu gap atau pembedaan kasta di dalam masyarakat yang secara tidak langsung hanya bisa dirasakan oleh orang-orang yang memiliki kekuasaan tersebut.
Contoh seperti kasus pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) jika ditelaah dan dicermati dengan baik perilaku tersebut menujukkan bahwa ada pembedaan kelas yang ingin disampaikan oleh pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) didalam video yang beredar yang dimana sangat meresakan di Negara Kekuasaan Republik Indonesia ini bahwa orang yang mempunyai “kasta” berbeda berhak memperoleh fasilitas dan kapasitas lebih jika dibandingkan dengan yang lainnya dalam hal “kasta” dibawahnya.
Jika hal-hal tersebut dibiarkan maka akan terjadi kesenjangan kepada strata sosial di dalam masyarakat hal buruk pun akan terjadi dimana rakyat “kasta” akan menggunakan “kekuatannya” berupa actio popularis yang dimana pemaknaan dari actio popularis adalah gugatan berkelompok yang akan dilakukan masyarakat jika “gap atau kasta” masih sangat terasa di tengah-tengah masyarakat.
Actio Popularis akan serius dilakukan oleh masyarakat berdasarkan perkara yang dirasa perlu diwakili agar perkara tersebut mendapat prioritas dan keseriusan dalam penanganannya untuk mewakili seluruh anggota kelompok masyarakat.
Berkaca dari kasus pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) dapat disadari bahwa hidup hedon atau berfoya-foya sangat berbahaya jika tidak ada pengawasan dan penanganan yang serius dari negara. Dikarenakan keluarga mereka akan tidak malu mencari cara “pengakuan” ditengah-tengah masyarakat agar masyarakat mengetahui bahwa dia adalah anak orang kaya, berpengaruh, dan memiliki “kasta” yang berbeda di tengah masyarakat.
Hal ini akan terjadi kepada keturunan mereka baik keturunan kedua (anak) atau keturunan ketiga (cucu) dikarenakan mereka memiliki keinginan yang sama terlibat dalam transisi atau perubahan, pemikiran tersebut diambil perspektif anak muda yang ingin ambil bagian dari proses perubahan atau dikenal dengan istilah youth transition (jati diri).
Selain itu kasus seperti ini menjadi preseden buruk bagi bangsa Indonesia dikarenakan bahwa mental-mental berkuasa dan memilik kekuasaan masih melekat dan berpengaruh kepada orang yang memiliki “kasta” tersebut padahal zaman di Indonesia sudah berubah yang dimana di zaman reformasi hal-hal mengenai perbedaan “kasta” atau gap sudah tidak lagi menjadi kekuatan.
Saat di zaman sebelum reformasi kejadian seperti kasus yang berurusan dengan orang yang memiliki “kasta” pernah terjadi (kasus sum kuning) dan kasus tersebut menguap dikarenakan status “kasta” dan gap tersebut sangat terasa dan orang yang tidak memiliki status tersebut hanya bisa pasrah dan menerima kenyataan dimana mereka tidak memiliki kekuatan yang ada seperti orang-orang yang memiliki “kasta” tersebut.
Jika ditarik dan ditelaah kembali kasus seperti pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) ini tidak akan hilang sebegitu mudah dikarenakan ada “kebiasaan” yang sulit untuk dihilangkan karena bagi mereka “pengakuan” ditengah masyarakat sangat diperlukan sebagai bentuk “prestige” terhadap “kasta” yang mereka miliki.
Merujuk pada pasal 1 ayat 2 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 tentang Kedaulatan Tertinggi Ditangan Rakyat dan pasal 1 ayat 3 Undang-Undang Republik Indonesia tahun 1945 tentang Negara Indonesia adalah Negara Hukum.
Kasus pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) harus di usut tuntas berdasarkan rasa keadilan jangan ada “pengampunan” terkait kasus tersebut dikarenakan kasus yang dilakukan telah melebihi dari batas kewajaran atau melebihi batas kemanusian hal ini merujuk dari efek yang ditimbulkan oleh pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) kepada Masyarakat Indonesia sebagai korban.
Disini peran penegak hukum sangat dinanti apakah akan menseriuskan kasus ini atau mencari celah “pengampunan” untuk pengoplosan bahan bakar minyak (BBM) sebagai bentuk “prestige” dan “kasta” yang berbeda.
Jika penegak hukum serius menangani kasus ini maka perihal atau istilah-istilah pembedaan akan hilang dan terutama masyarakat akan mulai menunjukkan kepercayaan kembali kepada para penegak hukum demi mengembalikan istilah NKRI di era reformasi yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia dan menghilangkan stigma bahwa di zaman reformasi ini masih ada pembedaan “kasta” dalam hal apapun, demi menghilangkan pemikiran bahwa NKRI adalah Negara Kekuasaan Republik Indonesia yang dimiliki oleh para pemilik “kasta” bukan Negara Kesatuan yang dimiliki keseluruhan masyarakat.
Keseriusan dan keadilan yang sesuai akan memberikan sebuah apresiasi di masyarakat bahwa negara ini adalah negara yang menjunjung tinggi persamaan hak dan persamaan di depan hukum yang dapat dilihat pada pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 jangan sampai negara ini kembali ke bentuk awal negara penguasa bukan ke negara demokrasi.
***
*) Oleh : I.G Ngurah Oka Putra Setiawan, Pengajar di Univerista Terbuka UPBJJ Kota Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |