Kopi TIMES

Medsos Panggung Perang Perempuan

Minggu, 20 April 2025 - 11:31 | 45.28k
Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis
Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Setiap tahun, kita mengenang sosok R.A. Kartini. Simbol perjuangan perempuan Indonesia. R.A. Kartini hidup dalam masa ketika perempuan dibatasi ruang geraknya. Ia memperjuangkan hak belajar, kebebasan berpikir, dan keberanian untuk bersuara. 

Surat-suratnya adalah jendela pemikiran yang jauh melampaui zamannya. Kini, lebih dari satu abad kemudian, semangat Kartini masih hidup—meski bentuk perjuangannya telah berubah wujud.

Advertisement

Hari ini, medan perjuangan perempuan telah bergeser. Ia tidak lagi hanya berada di ruang publik atau parlemen, tetapi juga di layar-layar ponsel. Perjuangan itu hadir dalam bentuk algoritma media sosial, komentar netizen, dan standar kecantikan digital yang tak kalah menekan.

Perempuan masa kini hidup dalam ekspektasi yang tak kasatmata. Mereka dituntut untuk selalu tampil cantik, produktif, cerdas, sabar, ceria, dan tetap menyenangkan. Standar ini hadir dalam unggahan yang dikurasi dengan rapi, menyampaikan pesan-pesan tak tertulis: Jika kamu tidak seperti ini, berarti kamu kurang.

Yang lebih menyakitkan adalah hadirnya toxic positivity. Kalimat-kalimat seperti “Kamu pasti bisa kok” atau “Jangan nangis, kamu kuat” memang terdengar menyemangati, namun bisa membuat perempuan merasa tak boleh menunjukkan sisi rapuhnya. 

Sebagai laki-laki, kita tidak bisa terus-menerus mendorong perempuan untuk selalu tampil kuat. Mereka berhak diberi ruang untuk merasa lelah, sedih, dan rentan—sebagai manusia seutuhnya.

Di dunia digital yang semakin terhubung, banyak perempuan merasa tertekan untuk menjadi versi ideal yang sebenarnya semu. Self-doubt menjadi nyata saat mereka merasa tidak cukup cantik, tidak cukup baik, atau tidak cukup ideal sebagai perempuan. Mereka mulai mempertanyakan tubuh mereka, suara mereka, bahkan hak mereka untuk tampil dan bersuara.

Di lini masa media sosial, seorang perempuan bisa merasa rendah diri hanya karena tidak memiliki kulit secerah selebgram atau tubuh seramping influencer. Ia mulai meragukan nilai dirinya hanya karena komentar atau perbandingan visual yang tidak adil. Dunia maya menjadi cermin palsu yang seringkali memantulkan ketidakpuasan.

Tekanan ini tidak hanya memengaruhi perempuan dewasa, tetapi juga remaja perempuan yang masih membentuk identitas dirinya. Usia belasan yang seharusnya menjadi fase pencarian jati diri justru dibayangi rasa tidak cukup. Padahal, setiap perempuan berhak tumbuh tanpa diburu rasa takut atau penghakiman.

Beruntung, kini semakin banyak perempuan yang mulai menyuarakan self-love. Mereka berani menerima diri apa adanya—dengan segala kelebihan dan kekurangan. Gerakan body positivity, kesadaran akan pentingnya kesehatan mental, dan kehadiran ruang aman di platform digital menjadi langkah penting bagi perempuan untuk tumbuh tanpa harus takut akan penghakiman.

Saya mendukung penuh perjuangan ini. Perempuan berhak mengekspresikan keberagaman dirinya—tomboy, feminin, introvert, vokal—semuanya sah. Tidak ada satu pun standar tunggal yang bisa memaknai nilai seorang perempuan. Mereka layak dihormati bukan karena memenuhi ekspektasi sosial, tetapi karena keberanian menjadi diri sendiri.

Media sosial seharusnya menjadi ruang berekspresi dan berbagi cerita, bukan medan perbandingan yang melelahkan. Namun realitanya, likes dan komentar seringkali menjadi tolok ukur harga diri. 

Padahal, dunia nyata jauh lebih kompleks daripada sekadar angka-angka di layar. Kita perlu membangun batasan yang sehat dalam bersosial media, mulai dari menyaring konten hingga memilih narasi yang mendukung pertumbuhan pribadi.

Perjuangan perempuan hari ini adalah tentang keberanian menjadi diri sendiri—meski berbeda dari ekspektasi dunia. Dan dalam dunia yang terus-menerus menyuruh perempuan berubah, berani berkata “Ini aku, dan aku tidak minta maaf” adalah bentuk perlawanan paling indah.

Perjuangan perempuan Indonesia belum selesai, tapi ia telah berevolusi. Jika dahulu Kartini melawan dinding patriarki yang membatasi ruang gerak, hari ini perempuan muda melawan tekanan halus dari dunia digital yang penuh ekspektasi. Dan perempuan yang memilih jujur pada dirinya sendiri adalah Kartini masa kini.

***

*) Oleh : Mohammad Hairul, Kepala SMPN 1 Curahdami, Bondowoso, Jawa Timur dan Instruktur Nasional literasi Baca-Tulis. 

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

_____
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES