Kopi TIMES

Perempuan dan Ruang Aman

Senin, 21 April 2025 - 20:18 | 17.45k
Putri Yusi, Aktivis Perempuan
Putri Yusi, Aktivis Perempuan
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SITUBONDO – Sebagai seorang Ibu Rumah Tangga yang tengah hamil muda dan memiliki Adik Perempuan yang tengah Kuliah diluar kota membuat saya khawatir dengan keberadaannya, ditambah dengan berita yang sering saya dengar di televisi dan media pemberitaan lainnya terkait kasus kekerasan yang menimpa perempuan. 

Rasanya saat ini dunia terlalu kasar dan sulit menemukan ruang aman bagi Perempuan, dikarenakan berita yang sering muncul di berbagai media isinya tentang kekerasan terhadap Perempuan. Sejak awal tahun 2025 SIMFONI-PPA mencatat kasus kekerasan yang menimpa perempuan lebih dari 5.000 kasus. Data ini yang tercatat, mungkin sesungguhnya jauh lebih tinggi.

Advertisement

Pelakunya berasal dari orang yang berpendidikan, orang yang memiliki jabatan, orang yang tahu bahwa ada kebijakan yang mengatur perilakunya. Korbannya mayoritas perempuan yang terikat kerja dengannya, mahasiswanya, pasiennya, temannya dan teman dekatnya. 

Bising sekali pemberitaan tersebut sehingga di momen peringatan Hari Kartini 21 April 2025 saya ingin mengajak para perempuan merefleksikan bagaimana seharusnya perempuan menyikapi berbagai kasus yang menyebabkan “trigger warning” dan bisa menyiapkan diri untuk menjadi ruang aman bagi perempuan lainnya.

Diketahui bersama bahwa perempuan saat ini masih mendominasi sebagai korban kekerasan seksual dan kekerasan lainnya, sehingga menjadi permasalahan sosial yang perlu diperhatikan. Hasil survey pengalaman hidup perempuan nasional (SPHPN) 2021 yang dirilis oleh Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menemukan bahwa satu dari empat perempuan selama hidupnya pernah mengalami kekerasan baik kekerasan fisik maupun kekerasan seksual lainnya.

Berdasarkan data dari Komnas Perempuan dan data pelaporan kasus dari mitra CATAHU 2024 kasus kekerasan seksual (26,94%), kekerasan psikis (26,94%), kekerasan fisik (26,78%) dan kekerasan ekonomi (9,84%) dan pada tahun ini terjadi pergeseran data dari tahun 2023 dimana data kekerasan yang paling banyak adalah kekerasan psikis. 

Data dari komnas perempuan menunjukkan bahwa kekerasan psikis mendominasi dengan jumlah sebesar 3.660, kekerasan seksual 3.166, kekerasan fisik 2.418, dan kekerasan ekonomi 966. 

Kekerasan terhadap istri (KTI) paling tinggi dilaporkan dalam CATAHU sejak tahun 2001, Komnas Perempuan menerima pengaduan sebanyak 672 kasus. Pada data pengaduan mitra CATAHU juga menunjukkan tren bahwa tingginya data KTI menunjukkan ketimpangan relasi gender antara suami dan istri yang diindikasikan dengan posisi subordinat istri dalam perkawinan. 

Di Indonesia terdapat sejumlah payung hukum terhadap perempuan dan anak, diantaranya Undang-undang Nomor 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT), Undang-undang Nomor 35 tahun 2014 dan Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang perlindungan Anak (UU PA), Undang-undang Nomor 12 tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) dan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). 

Namun implementasi dari kebijakan ini masih mengalami hambatan dan tantangan. Terlebih pendokumentasian UU TPKS masih jauh dari kata implementatif dikarenakan pemenuhan hak korban TPKS belum optimal. 

Peraturan pelaksana UU TPKS belum disahkan oleh Presiden, belum semua Provinsi/Kabupaten/Kota membentuk UPTD PPA sebagai pelaksana utama UU TPKS, belum sistematisnya pendidikan dan pelatihan TPKS kepada aparat penegak hukum dan lembaga layanan. 

Hak perempuan korban perkosaan dan kekerasan seksual lainnya atas kesehatan reproduksi secara komprehensif termasuk layanan aborsi aman belum diperoleh secara optimal.

Dengan meningkatnya kasus kekerasan pada perempuan yang terjadi setiap tahunnya maka diperlukan tindakan preventif untuk mengatasinya. Bukan hanya kebijakan/payung hukum untuk melindungi kaum perempuan tetapi diperlukan tindakan pencegahan dan perlindungan yang nyaman serta ruang aman bagi perempuan. 

Ruang aman disini bukan hanya ruang fisik, namun bisa merujuk pada proses pemikiran/cara pandang masyarakat, serta adanya aturan adat, ruang partisipasi perempuan dalam pengambilan keputusan termasuk perencanaan program perlidungan perempuan dari kekerasan. Pertanyaannya adalah apakah di Indonesia masih ada ruang aman bagi perempuan?

Rasanya ruang aman bagi perempuan di Indonesia saat ini masih sulit, dikarenakan Tindakan yang seolah-olah menyalahkan korban dengan dalih bentuk tubuh, riasan mencolok, pakaian seksi atau melewati jalanan sepi merupakan pemikiran dangkal yang akhirnya menjadi penyebab dari ketidakberanian korban untuk melaporkan Tindakan kekerasan yang dialaminya. 

Belum lagi jika pelakunya dikenal sebagai sosok pemimpin, sosok yang alim, sopan, baik, maka cenderung tidak mungkin menjadi pelaku kekerasan seksual atau kekerasan lainnya.

Menciptakan ruang aman yang nyaman dan efektif serta efisien bagi korban bukan hanya tanggung jawab pemerintah, namun kita sebagai perempuan memiliki kewajiban untuk menciptakan ruang aman tersebut. 

Dimulai dengan menjadi pendengar yang baik untuk korban dengan menawarkan telinga dan hati yang terbuka karena korban terkadang butuh didengarkan terlebih dahulu, jangan buru-buru memberi nasihat, biarkan korban menceritakan sampai selesai, dan jangan menghakimi korban.

Cara kedua, bekali diri dengan pengetahuan tentang bentuk-bentuk kekerasan (fisik, verbal, psikologis,seksual, ekonomi), mengetahui alur pengaduan kekerasan seksual baik Lembaga bantuan hukum, psikolog, atau UPT PPA dan aktif mengikuti pelatihan advokasi sebagai pendamping korban. 

Selanjutnya, jadilah perempuan yang bisa menjaga privasi, jangan sebarkan cerita korban tanpa izin meskipun ke teman terdekat, karena ruang aman adalah ruang yang bisa dipercaya sepenuhnya. Cara keempat, bangun komunitas yang sefaham, ciptakan grup diskusi yang aman, bebas dari ejekan dan saling mendukung. 

Speak up disaat yang tepat, jika kamu sudah merasa aman, suarakan ketidakadilan tersebut, tidak harus konfrontatif, bisa dalam bentuk tulisan, edukasi atau diskusi terbuka. Kemudian sebagai perempuan yang ingin melindungi perempuan lainnya kita juga harus bisa menjaga diri sendiri. 

Beri ruang untuk dirimu healing dan menguatkan diri, menjadi perempuan sebagai pendamping korban kekerasan bukan berarti perempuan yang tidak boleh Lelah tapi mengetahui kapan harus istirahat dan meminta bantuan juga. 

Mari saling berupaya menciptakan ruang aman bagi perempuan karena kita perempuan dan bagi perempuan lainnya karena “Perempuan yang menyembuhkan, menguatkan, dan melindungi perempuan lain-dialah Kartini masa kini.”

***

*) Oleh : Putri Yusi, Aktivis Perempuan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES