
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Setiap tanggal 22 April, dunia memperingati Hari Bumi. Momen tahunan ini memilih tema “Kekuatan Kita, Planet Kita". Tema ini bertujuan untuk mendorong penggunaan sumberdaya alam dan energi terbarukan dan meningkatkan kesadaran akan dampak konsumsi berlebih atas lingkungan.
Tentu akan menjadi renungan kita terkait hubungan manusia dengan planet yang kita huni. Bumi adalah sumber kehidupan: dari tanah, udara, air, hingga pangan yang kita santap setiap hari. Namun ironisnya, dalam hiruk-pikuk modernisasi, banyak dari kita kian jauh dari akar alamiah tersebut.
Advertisement
Mahatma Gandhi pernah mengingatkan, “To forget how to dig the earth and tend the soil is to forget ourselves”yang berarti “melupakan cara menggali dan merawat tanah sama saja dengan melupakan jati diri kita sebagai manusia”.
Pesan ini relevan di Hari Bumi 2025, terutama ketika kita membicarakan pertanian. Sebab, pertanian sesungguhnya berada di jantung keberlanjutan bumi, kesejahteraan masyarakat, kedaulatan pangan, dan kelestarian lingkungan.
Pertanian dan Keberlanjutan Bumi
Pertanian memiliki dua wajah yang sangat lekat dalam isu bumi kita, di satu sisi, praktik yang mendorong kerusakan, atau kegiatan pertanian yang menyumbang kelestarian bumi. Menurut data internasional, sekitar 25% emisi gas rumah kaca global berasal dari sektor pertanian, kehutanan, dan penggunaan lahan.
Angka ini muncul dari alih fungsi hutan menjadi lahan, penggunaan pupuk kimia sintetis, hingga emisi metana dari sawah dan ternak. Artinya, tanpa adaptsi dan pendekatan yang baik di sektor ini, sulit membendung laju krisis iklim.
Paradoksnya, pertanian pula yang paling terdampak oleh kerusakan lingkungan. Perubahan iklim membawa cuaca yang kian tak menentu. Banjir dan kekeringan ekstrem kian sering mengancam hasil panen.
Petani kecil yang berada di garis depan produksi pangan merasakan langsung dampaknya. Rachel Carson enam dekade silam sudah mengingatkan: “In nature nothing exists alone”, yang mengandung maksud, “Dalam alam, tak ada yang berdiri sendiri”, apa pun yang kita lakukan pada tanah akan berdampak pada air, udara, dan kehidupan liar di sekelilingnya.
Pestisida dan pupuk kimia berlebihan merusak ekosistem tanah serta mencemari sungai hingga laut. Sementara itu, penggundulan hutan untuk ekspansi lahan pertanian mengguncang keseimbangan iklim global. Semua terhubung dalam jejaring kehidupan.
Solusinya, kita perlu mengupayakan pertanian produktif yang berkelanjutan, mengembalikan harmoni antara bercocok tanam dan alam. Pertanian ramah lingkungan, seperti sistem organik, agroforestri, atau kearifan lokal semacam subak di Bali, membuktikan bahwa produksi pangan bisa sejalan dengan konservasi.
Sejalan dengan pendekatan agroforestery ataupun pertanaman tumpagsari aktivis lingkungan Vandana Shiva menegaskan pentingnya keanekaragaman hayati, “Cultivating and conserving diversity is no luxury in our times: it is a survival imperative”, artinya “Menanam dan melestarikan keragaman bukanlah hal sepele, melainkan kunci kelangsungan hidup kita”.
Kebun yang beraneka ragam tanaman lebih tahan terhadap hama dan perubahan cuaca, sekaligus menjaga lebih banyak spesies makhluk hidup. Melalui pertanian berkelanjutan yang menjaga keanekaragaman, kita merawat bumi sambil tetap memenuhi kebutuhan pangan manusia.
Kedaulatan Pangan sebagai Arah Kebijakan
Dalam konteks berbangsa, Presiden Prabowo, dimasa pemerintahannya berjanji akan menempatkan agenda pertanian dan kedaulatan pangan sebagai agenda utama. Anggaran dan investasi difokuskan untuk memperkuat infrastruktur pertanian (irigasi, penyuluhan, produksi benih unggul), memberikan akses permodalan dan asuransi bagi petani kecil, serta melindungi lahan produktif agar tidak mudah dialihfungsikan.
Kedepan, regulasi perdagangan juga perlu memperhatikan produk pangan lokal dari gempuran impor pangan murah yang mematikan insentif bagi petani. Selain itu, percepatan reforma agraria penting agar petani memiliki lahan memadai, disertai program inovatif mencetak petani-petani muda.
Nusantara sejak dulu dikenal sebagai masyarakat agraris dengan kearifan lokal yang kaya. Nilai-nilai seperti gotong royong tumbuh dari tradisi warga desa yang bahu-membahu mengolah sawah. Beragam upacara syukuran panen, nyanyian daerah tentang padi, hingga mitos Dewi Sri (dewi padi) menunjukkan betapa menanam pangan telah lama menjadi napas kehidupan dan bagian dari identitas kita.
Kita perlu menanamkan kembali rasa cinta kepada Bumi, tanah dan alam sejak dini. Kurikulum sekolah bisa memasukkan pendidikan dasar pertanian dan lingkungan, bukan hanya teori, tapi juga praktik sederhana seperti berkebun. Inovasi teknologi pertanian pun perlu dikenalkan sebagai hal yang menarik, sehingga anak muda melihat bahwa bertani bisa modern, kreatif, dan menguntungkan.
Pendidikan tidak melulu urusan sekolah formal. Keluarga dan komunitas juga berperan menumbuhkan kecintaan pada pertanian. Orang tua dapat mengajak anak menanam sayur di pekarangan rumah, kegiatan sederhana yang mengajarkan keterampilan hidup sekaligus menanamkan nilai mencintai bumi.
Ajakan untuk Aksi Nyata
Hari Bumi 2025 ini semestinya menjadi pengingat bahwa menyelamatkan planet dimulai dari ladang-ladang kita dan dari pilihan sehari-hari di meja makan. Dengan menghargai petani, memilih pangan lokal yang berkelanjutan, menghemat penggunaan air dan energi, serta terlibat dalam upaya menjaga alam, setiap individu bisa turut mendinginkan bumi yang sedang demam.
Mahatma Gandhi pun mengingatkan, “The world has enough for everyone’s need, but not enough for everyone’s greed”. Pesan tersebut menegaskan perlunya keseimbangan antara pemenuhan kebutuhan dan pengekangan keserakahan dalam mengelola sumber daya alam.
Kita harus memastikan bahwa pembangunan memenuhi kebutuhan rakyat tanpa mengorbankan kemampuan bumi untuk menyangga kehidupan di masa depan.
Kini, saatnya beraksi. Arahkan kebijakan pada pembangunan pertanian berkelanjutan dan perlindungan lingkungan. Kembangkan investasi ekonomi hijau di pedesaan yang memberi insentif bagi praktik pertanian ramah lingkungan. Jadikan isu pangan dan lingkungan sebagai arus utama dalam pendidikan dan percakapan publik.
Sementara itu, kita sebagai individu bisa memulai dari hal-hal kecil, kurangi pemborosan dan sampah makanan, dukung produk hasil petani lokal, tanam pohon atau sayuran di lingkungan sekitar, serta terus mengedukasi diri tentang krisis iklim. Setiap langkah kecil, bila dilakukan oleh jutaan orang, akan menjadi lompatan besar bagi perbaikan bumi.
Memaknai Hari Bumi dengan tindakan nyata, bukan sekadar upacara seremonial belaka. Masa depan Bumi dan anak-cucu kita dipertaruhkan. Pertanian sebagai agenda utama pembangunan kita saat ini wajib menanamkan harapan kehidupan yang lebih baik.
Dengan merawat tanah, air, dan petani kita, sejatinya kita sedang merawat planet kita dan kelangsungan hidup umat manusia. Ibarat menanam benih, langkah-langkah yang kita ambil hari ini adalah taburan harapan yang kelak akan kita tuai di kemudian hari. (*)
***
*) Oleh : Kuntoro Boga Andri, Kepala Pusat BRMP Perkebunan, Kementerian Pertanian.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |