
TIMESINDONESIA, PADANG – Membela hak di negeri ini kadang harus dibayar mahal. Di balik meja-meja rapat dan ruang-ruang sidang, retaliasi bersembunyi, menyergap mereka yang berani bersuara. Tak sedikit yang akhirnya memilih diam, kalah sebelum bertarung. Tapi suara yang dibungkam justru akan menemukan jalannya sendiri.
Retaliasi-membalas tindakan kritis dengan hukuman-adalah wajah gelap dari kekuasaan yang merasa terusik. Ia bisa lahir dalam berbagai bentuk: surat peringatan tanpa dasar, pemanggilan mendadak, tuduhan administratif, hingga pembunuhan karakter di ruang publik.
Advertisement
Di dunia akademik, pegawai negeri, lembaga swadaya masyarakat, bahkan dalam relasi sehari-hari di kantor kecil sekalipun, retaliasi menemukan jalannya.
Di negeri ini, membela hak sering disamakan dengan membangkang. Yang menuntut hak normatif dicap tidak loyal, lalu dihukum lewat prosedur yang dibelokkan. Tak sedikit dosen, buruh, jurnalis, hingga aktivis yang akhirnya dipinggirkan hanya karena bersikeras menegakkan hak dasar mereka: gaji yang dibayar tepat waktu, tunjangan yang dibayarkan sesuai undang-undang, atau ruang akademik yang bebas dari intimidasi.
Kasus-kasus retaliasi bukan hanya pelanggaran etika. Dalam banyak hal, ia berpotensi menjadi pelanggaran hukum. Di sektor ketenagakerjaan, misalnya, retaliasi terhadap pekerja yang melaporkan pelanggaran hak normatif diatur dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan dan Permenaker Nomor 5 Tahun 2021 tentang K3, yang menegaskan perlindungan terhadap pekerja yang menggunakan haknya untuk mengadu.
Di sektor pendidikan, retaliasi yang menimpa dosen atau mahasiswa yang melaporkan ketidakadilan bisa berbenturan dengan prinsip kebebasan akademik yang dijamin dalam Undang-Undang Pendidikan Tinggi.
Di sektor publik, membalas laporan pengaduan dengan hukuman administratif bahkan bisa dikategorikan sebagai tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban.
Sayangnya, pemahaman tentang retaliasi di Indonesia masih lemah. Banyak institusi tidak pernah mengembangkan mekanisme pencegahan dan remediasi terhadap tindakan pembalasan.
Di mata sebagian birokrat, melawan balik orang yang mengadu dianggap sah-sebagai bagian dari menjaga marwah institusi, bukan pelanggaran hak. Perspektif ini keliru, sekaligus berbahaya.
Dalam logika hukum modern, pelapor (whistleblower) justru harus dilindungi, bukan dibungkam. Di negara-negara dengan demokrasi yang lebih matang, seperti Amerika Serikat, Inggris, atau negara-negara Skandinavia, pembalasan terhadap pelapor bisa berujung pada sanksi pidana atau denda besar terhadap institusi.
Ironisnya, di banyak kasus, retaliasi justru dilakukan oleh mereka yang memiliki kuasa atas struktur administratif. Rektor terhadap dosen, atasan terhadap bawahan, manajer terhadap karyawan, pemilik terhadap buruh.
Kekuasaan formal membuat mereka bisa dengan mudah memanipulasi prosedur untuk mengesankan bahwa hukuman itu sahih. Surat peringatan, sidang disiplin, bahkan mutasi, menjadi senjata yang tampaknya legal, namun motivasinya jauh dari keadilan.
Retaliasi juga menunjukkan kemunduran cara pandang terhadap kritik. Bukannya memperbaiki sistem ketika ada keluhan, banyak institusi justru memilih membungkam pembawa kabar buruk. Mentalitas membela institusi "seolah-olah tidak ada masalah" lebih penting ketimbang berbenah. Di sinilah demokrasi kita digerogoti dari dalam.
Sejarah membuktikan, perubahan besar kerap lahir dari suara kecil yang berani. Tanpa suara-suara kritis itu, banyak kebobrokan akan terus membusuk dalam diam.
Sayangnya, keberanian itu sering harus dibayar mahal. Retaliasi adalah harga yang, hingga hari ini, masih terlalu sering ditagihkan kepada mereka yang memilih berdiri di sisi yang benar.
Maka, melawan retaliasi bukan sekadar membela diri. Ia adalah bagian dari menjaga ekosistem hukum, etika, dan demokrasi tetap hidup. Setiap tindakan pembalasan yang dibiarkan tanpa perlawanan hanya akan memperpanjang daftar ketidakadilan yang berulang.
Tidak ada keadilan tanpa keberanian. Tidak ada demokrasi tanpa suara-suara yang bersedia melawan balik, meski tahu risiko yang mengintai. (*)
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |