Kopi TIMES

Generasi Z dan Krisis Identitas Digital

Rabu, 30 April 2025 - 10:10 | 7.52k
Angga Saputra, S.Pd., Guru Pendidikan Agama Islam, SD Labschool UNESA 1
Angga Saputra, S.Pd., Guru Pendidikan Agama Islam, SD Labschool UNESA 1
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, SURABAYA – Lahir dan tumbuh di era digital, Generasi Z (kelahiran pertengahan 1990-an hingga awal 2010-an) memiliki relasi yang unik dengan teknologi, terutama media sosial. Platform-platform ini bukan sekadar alat komunikasi, melainkan juga panggung di mana identitas diproyeksikan, dikonstruksi, dan tak jarang, dikompromikan. 

Di tengah algoritma yang terus-menerus menyajikan kurasi realitas dan tekanan untuk tampil sempurna, muncul pertanyaan mendasar: bagaimana Generasi Z mempertahankan autentisitas diri di tengah arus deras identitas digital yang serba semu? 

Advertisement

Artikel ini akan menganalisis dampak media sosial terhadap pembentukan identitas generasi muda, menyoroti potensi krisis yang mengintai, dan merenungkan jalan keluar untuk menemukan keaslian di era digital.

Konstruksi Identitas Digital

Media sosial menawarkan ruang tanpa batas untuk berekspresi dan membangun citra diri. Pengguna dapat memilih aspek-aspek kehidupan yang ingin dibagikan, menyaring informasi, dan bahkan menciptakan persona digital yang berbeda dari realitas. 

Filter, editing, dan narasi yang dikurasi dengan cermat menjadi alat utama dalam konstruksi identitas online. Namun, proses ini seringkali mengarah pada idealisasi diri yang tidak realistis, menciptakan jurang pemisah antara representasi digital dan kenyataan.

Fenomena Fear of Missing Out (FOMO) juga memainkan peran signifikan. Paparan terus-menerus terhadap kehidupan orang lain yang tampak lebih menarik dan sukses dapat memicu perasaan tidak adekuat dan tekanan untuk selalu mengikuti tren. 

Akibatnya, Generasi Z rentan terjebak dalam siklus validasi eksternal, di mana harga diri dan penerimaan diri sangat bergantung pada likes, komentar, dan pengakuan dari dunia maya.

Algoritma dan Eko-Chamber Identitas

Algoritma media sosial, yang dirancang untuk memaksimalkan keterlibatan pengguna, justru berpotensi mempersempit perspektif dan memperkuat echo chamber identitas. 

Ketika pengguna berinteraksi dengan konten tertentu, algoritma akan terus menyajikan konten serupa, menciptakan lingkaran informasi yang homogen. Hal ini dapat menghambat eksplorasi identitas yang beragam dan menantang pandangan yang sudah mapan.

Generasi Z mungkin terjebak dalam komunitas online yang memiliki minat dan pandangan yang sama, tanpa terpapar pada perspektif alternatif yang dapat memperkaya pemahaman diri. Akibatnya, identitas digital mereka menjadi terfragmentasi dan terkotak-kotak, sulit untuk diintegrasikan dengan kompleksitas dunia nyata.

Krisis Autentisitas

Dampak jangka panjang dari konstruksi identitas digital yang tidak sehat adalah krisis autentisitas. Ketika individu terlalu fokus pada citra online dan validasi eksternal, mereka berisiko kehilangan kontak dengan nilai-nilai, minat, dan keyakinan inti mereka. Identitas menjadi performatif, dibangun untuk konsumsi publik, bukan sebagai cerminan dari diri yang sebenarnya.

Kecemasan, depresi, dan perasaan hampa seringkali menjadi konsekuensi dari krisis ini. Tekanan untuk selalu tampil sempurna dan relevan di dunia maya dapat menguras energi mental dan emosional. Generasi Z mungkin merasa terasing dan tidak dipahami, bahkan di tengah keramaian followers dan interaksi online.

Menemukan Kembali Keaslian di Era Digital

Meskipun tantangan yang dihadapi Generasi Z dalam mempertahankan autentisitas di era digital sangat nyata, harapan untuk menemukan kembali keaslian tetap ada. Beberapa langkah konstruktif dapat diupayakan:

Pertama, Literasi Media Digital. Pendidikan tentang cara kerja algoritma, dampak psikologis media sosial, dan pentingnya berpikir kritis terhadap informasi online menjadi krusial. Generasi Z perlu diberdayakan untuk menjadi konsumen media yang cerdas dan reflektif.

Kedua, Batasan yang Sehat. Menetapkan batasan waktu penggunaan media sosial dan secara sadar memilih konten yang dikonsumsi dapat membantu mengurangi tekanan dan fokus pada diri sendiri.

Ketiga, Koneksi yang Bermakna di Dunia Nyata. Memprioritaskan interaksi tatap muka dan membangun hubungan yang mendalam di dunia nyata dapat memberikan validasi dan dukungan yang lebih autentik.

Keempat, Eksplorasi Diri di Luar Layar. Mendorong minat dan hobi di luar dunia digital, seperti seni, olahraga, atau kegiatan sosial, dapat membantu Generasi Z menemukan aspek-aspek diri yang lebih otentik dan tidak terpengaruh oleh tren online.

Kelima, Kesadaran Diri dan Refleksi. Meluangkan waktu untuk refleksi diri, mengenali nilai-nilai pribadi, dan memahami motivasi di balik tindakan online dapat membantu membangun identitas yang lebih kokoh dan autentik.

Menavigasi Labirin Digital dengan Kesadaran

Generasi Z berada di persimpangan jalan dalam memaknai identitas di era digital. Media sosial menawarkan peluang untuk ekspresi diri, namun juga menyimpan potensi krisis autentisitas jika tidak digunakan dengan bijak. 

Dengan meningkatkan literasi digital, menetapkan batasan yang sehat, memprioritaskan koneksi di dunia nyata, dan melakukan eksplorasi diri di luar layar, Generasi Z dapat menavigasi labirin digital dengan kesadaran dan menemukan keaslian diri di tengah algoritma yang terus berubah. 

Perjalanan ini membutuhkan kesadaran kolektif dari individu, keluarga, institusi pendidikan, dan platform media sosial untuk menciptakan lingkungan digital yang lebih sehat dan mendukung perkembangan identitas yang autentik bagi generasi masa depan.

***

*) Oleh : Angga Saputra, S.Pd., Guru Pendidikan Agama Islam, SD Labschool UNESA 1.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES