Dulu Harapan, Kini Terabaikan: Krisis Kelas Menengah Indonesia

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Kelas menengah Indonesia, yang selama ini dianggap sebagai pilar pertumbuhan ekonomi dan stabilitas sosial-politik, kini menghadapi tekanan struktural yang kompleks. Transformasi global, disrupsi teknologi, ketimpangan sosial yang makin lebar, serta kebijakan publik yang tidak responsif telah menciptakan kondisi yang menggerus daya tahan kelompok ini.
Disrupsi digital dan globalisasi telah mengubah wajah pasar kerja. Otomatisasi dan kecerdasan buatan menggantikan pekerjaan stabil yang selama ini menjadi andalan kelas menengah. Data BPS menunjukkan penurunan tenaga kerja di sektor manufaktur dari 14,1 persen pada 2014 menjadi 12,6 persen pada 2024, sementara sektor informal tumbuh pesat tanpa jaminan penghasilan tetap.
Advertisement
Pandemi COVID-19 mempercepat krisis ini. Survei Bank Dunia (2022) mencatat 45 persen rumah tangga kelas menengah mengalami penurunan pendapatan signifikan. Banyak di antara mereka yang terpaksa kembali ke zona rawan kemiskinan.
Krisis ini dapat dibaca dengan menggunakan kerangka Risk Society dari sosiolog Ulrich Beck. Dalam masyarakat modern yang semakin kompleks, risiko-risiko baru baik yang bersifat ekologis, ekonomi, maupun teknologi muncul bukan dari ketidaktahuan, tetapi dari kemajuan itu sendiri. Ketika pekerjaan-pekerjaan kelas menengah terancam oleh kecanggihan sistem digital dan kecerdasan buatan, masyarakat tidak hanya kehilangan keamanan ekonomi, tetapi juga kejelasan identitas sosial mereka.
Pandemi COVID-19 menjadi momen percepatan krisis itu. Ketika gelombang PHK melanda dan penghasilan menurun, banyak dari kelas menengah harus menguras tabungan untuk bertahan. Namun, cadangan itu terbatas.
Survei Bank Dunia (2022) menunjukkan bahwa sekitar 45 persen rumah tangga kelas menengah Indonesia mengalami penurunan pendapatan yang signifikan selama pandemi. Banyak dari mereka akhirnya “turun kelas”, masuk kembali ke dalam zona rawan kemiskinan. Sementara itu, kelompok 1 persen teratas tetap mencatatkan pertumbuhan kekayaan. Menurut laporan Oxfam dan INFID (2021), kelompok elit tersebut menguasai hampir separuh dari kekayaan nasional.
Dalam konteks ini, kita melihat berlakunya logika Matthew Effect dari Robert K. Merton di mana "yang kaya semakin kaya, yang miskin semakin miskin." Ketimpangan ini bukan hanya menciptakan disparitas ekonomi, tetapi juga menciptakan jurang dalam kepercayaan publik terhadap institusi, termasuk pemerintah.
Hal ini juga mencerminkan fenomena policy drift sebagaimana dibahas dalam teori kebijakan publik oleh Hacker dan Pierson, di mana kebijakan tidak mengikuti dinamika perubahan sosial dan ekonomi yang cepat, menyebabkan sebagian besar warga tertinggal. Kelas menengah menghadapi ironi yang menyakitkan: terlalu kaya untuk menerima bantuan sosial, namun terlalu miskin untuk menghadapi risiko kehidupan modern.
Sistem perlindungan sosial yang dibangun selama ini berfokus pada kelompok sangat miskin, sementara desain kebijakan belum cukup adaptif terhadap kelompok rentan baru mereka yang hidup sedikit di atas garis kemiskinan tetapi sangat rentan terhadap guncangan ekonomi.
Masalah ini diperparah oleh sistem kebijakan yang masih bersifat sektoral dan fragmentatif. Dalam teori Multiple Streams Framework dari John Kingdon, kebijakan hanya bisa efektif ketika tiga aliran masalah, kebijakan, dan politik bertemu. Saat ini, kita menyaksikan adanya pengakuan masalah (krisis kelas menengah), namun solusi kebijakan masih parsial dan tidak holistik, sementara dukungan politik cenderung fluktuatif tergantung konstalasi pemilu.
Misalnya, skema subsidi energi yang seharusnya menjadi alat pemerataan justru lebih banyak dinikmati oleh kelompok kaya. Data Kementerian Keuangan tahun 2023 menunjukkan bahwa sekitar 60 persen subsidi BBM dinikmati oleh 40% kelompok ekonomi teratas. Ini menunjukkan kegagalan dalam implementasi kebijakan yang berpihak kepada mereka yang paling membutuhkan.
Dalam kerangka policy evaluation oleh Dunn (2012), hal ini mencerminkan rendahnya efisiensi dan efektivitas kebijakan publik yang ada.
Pendidikan dan pelatihan kerja pun masih mengalami mismatch antara output dan kebutuhan pasar. Hanya 20 persen lulusan SMK bekerja sesuai bidangnya. Kita perlu kembali pada prinsip dasar human capital theory dari Gary Becker, bahwa investasi pada keterampilan dan pendidikan haruslah selaras dengan arah transformasi industri dan teknologi.
Program seperti Kartu Prakerja harus didesain ulang bukan hanya untuk menyerap anggaran, tetapi sebagai sarana membentuk tenaga kerja berdaya saing di era ekonomi digital, hijau, dan kreatif. Di sisi lain, usaha kecil dan menengah (UKM) pilar utama kelas menengah masih menghadapi keterbatasan akses keuangan. Hanya 18 persen UKM yang mendapatkan pembiayaan formal (Bank Indonesia, 2023).
Dalam perspektif governance theory, ini menunjukkan lemahnya institutional linkage antara negara dan sektor produktif rakyat. Negara seharusnya bukan sekadar regulator, tetapi juga fasilitator yang aktif membangun ekosistem usaha mikro dan menengah, melalui insentif fiskal, digitalisasi layanan, hingga koperasi modern berbasis teknologi.
Krisis kelas menengah ini adalah masalah tata kelola publik (governance). Menurut OECD, good governance mengedepankan prinsip inklusivitas, efektivitas, dan akuntabilitas. Sayangnya, kebijakan kita masih banyak yang elitis dan berorientasi jangka pendek. Pembangunan infrastruktur misalnya, masih terpusat di kota besar dan sering kali hanya menguntungkan kelompok investor besar. Padahal, infrastruktur yang inklusif baik fisik maupun digital adalah syarat mutlak untuk menciptakan mobilitas sosial yang merata dan memperluas basis kelas menengah di luar kota besar.
Lebih jauh, jika kita melihat dari perspektif social contract theory (Jean-Jacques Rousseau), krisis ini juga merupakan sinyal keretakan kontrak sosial antara negara dan warga negara. Negara seharusnya menjamin keamanan dan kesejahteraan rakyatnya sebagai imbalan atas kepatuhan politik. Ketika negara gagal melindungi kelas menengah yang selama ini menjadi pembayar pajak dan pendukung stabilitas, maka kepercayaan terhadap sistem bisa runtuh. Ketidakpuasan ini bisa bertransformasi menjadi ketidakpedulian, bahkan radikalisasi sikap terhadap negara.
Kelas menengah adalah jangkar rasionalitas dan stabilitas dalam masyarakat modern. Ketika mereka kehilangan arah dan harapan, kita berhadapan dengan risiko munculnya populisme, politik identitas yang ekstrem, hingga anarkisme sosial. Dalam studi-studi sosiologi politik, kelas menengah sering dianggap sebagai penentu arah demokrasi.
Mereka adalah pemilik aspirasi dan pembentuk opini publik. Bila mereka merasa ditinggalkan oleh negara, maka yang tumbuh bukan hanya apatisme, melainkan sinisme terhadap demokrasi itu sendiri. Maka tidak cukup hanya memproyeksikan angka. Meskipun McKinsey Global Institute memprediksi populasi kelas menengah Indonesia akan mencapai 140 juta jiwa pada 2045, target itu akan menjadi fatamorgana jika negara tidak segera merekonstruksi ulang pendekatan kebijakannya. Kita perlu transisi dari pro-growth state menuju pro-welfare state dari negara yang mengejar angka pertumbuhan semata, menjadi negara yang memastikan pertumbuhan itu berdampak pada kesejahteraan merata.
Indonesia sedang berada di titik kritis. Krisis kelas menengah bukan hanya soal konsumsi dan penghasilan, tetapi soal masa depan kontrak sosial kita. Apakah negara mampu menjamin inklusivitas dan keberlanjutan kebijakan bagi seluruh rakyatnya? Ataukah kita akan terus terjebak dalam logika kebijakan tambal sulam, yang hanya memperdalam ketimpangan dan mempercepat polarisasi?
Masa depan Indonesia akan sangat ditentukan oleh bagaimana kita merawat, memberdayakan, dan melindungi kelas menengah saat ini. Bukan karena mereka mayoritas dalam jumlah, tetapi karena mereka adalah jembatan sosial yang menyatukan aspirasi, harapan, dan keberlanjutan demokrasi. (*)
***
*) Oleh : Juang Abdi Muhammad, S.AP., M.AP, Dosen Departemen Administrasi Publik FISIP UNDIP, Koordinator Wilayah (Koorwil) Rumah Pemberdaya Indonesia Prov. Jawa Tengah
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Wahyu Nurdiyanto |
Publisher | : Rizal Dani |