
TIMESINDONESIA, PADANG – Setiap hari, TikTok memproses sekitar 160 juta video yang diunggah penggunanya dari seluruh dunia. Dengan jumlah sebesar itu, sistem moderasi konten di platform ini harus bekerja secepat kilat, setajam pisau bedah.
TikTok memang memiliki protokol moderasi tiga lapis: algoritma kecerdasan buatan (AI), pelaporan komunitas, dan tinjauan manual oleh moderator manusia. Namun, apakah itu cukup untuk menjamin keamanan digital, terutama di negara dengan jumlah pengguna besar seperti Indonesia?
Advertisement
Indonesia adalah salah satu pasar terbesar TikTok. Menurut laporan DataReportal tahun 2024, pengguna TikTok di Indonesia menghabiskan waktu rata-rata 41 jam 35 menit per bulan, menjadikan kita bangsa paling lama menonton TikTok di dunia.
Konten yang dikonsumsi sangat beragam—dari hiburan, edukasi, hingga propaganda politik. Dalam realitas itu, tantangan moderasi menjadi bukan hanya soal teknis, melainkan urusan etika, keamanan data, bahkan kesehatan mental publik.
TikTok mengklaim telah menghapus sekitar 1% dari total video yang diunggah setiap hari karena pelanggaran pedoman komunitas, yaitu sekitar 1,6 juta video. Namun, masih sering terjadi kasus konten bermasalah yang luput dari pengawasan.
Sebaliknya, tak jarang pula konten yang bernilai edukatif justru dihapus karena kesalahan tafsir algoritma. Kelemahan ini menunjukkan bahwa AI bukanlah solusi mutlak. Peran moderator manusia tetap vital, terutama dalam memahami konteks lokal yang tidak dapat diterjemahkan algoritma secara sempurna.
Situasi menjadi lebih rumit ketika kita menengok aspek keamanan data. Pada awal Mei 2025, TikTok didenda Rp 9,8 triliun karena terbukti mengirimkan data pengguna ke server di China tanpa izin. Ini bukan kali pertama perusahaan teknologi global bermasalah dengan privasi.
Tapi skala pelanggaran ini memaksa kita mempertanyakan kapasitas negara dalam melindungi warganya di dunia digital. Apakah regulasi kita cukup kuat? Apakah lembaga pengawas memiliki sumber daya dan kompetensi memadai?
Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) sering kali bersikap reaktif ketimbang proaktif. Mereka sibuk mengatur konten sensitif politik dan moral, tetapi cenderung longgar terhadap isu perlindungan data dan dampak psikososial platform digital.
Padahal, laporan UNICEF 2023 menyebutkan peningkatan signifikan kasus gangguan kecemasan dan disinformasi di kalangan remaja pengguna TikTok di Asia Tenggara, termasuk Indonesia.
Negara seharusnya mengambil peran lebih aktif. Ini bukan hanya soal regulasi, tapi juga literasi digital, diplomasi data, dan kolaborasi dengan aktor swasta. Pemerintah perlu mendorong TikTok dan platform sejenis untuk membuka sistem audit algoritma mereka bagi regulator independen.
Negara juga harus menyediakan mekanisme pelaporan yang transparan dan responsif, di mana masyarakat bisa melaporkan dampak negatif konten digital tanpa rasa takut atau skeptis.
Dalam era algoritma, batas antara ekspresi dan manipulasi menjadi kabur. Platform seperti TikTok mempengaruhi persepsi publik, membentuk selera, bahkan bisa menggiring opini politik.
Jika tak diawasi secara ketat dan beretika, platform ini bisa menjadi senjata lunak yang merusak demokrasi dan merampas privasi warga. Lebih dari sekadar hiburan, TikTok adalah medan baru perebutan kuasa.
TikTok boleh saja membanggakan teknologinya. Tapi tanggung jawab tidak berhenti di sana. Di balik jutaan video yang dihapus atau lolos dari penyaringan, ada warga negara yang berhak atas perlindungan. Negara harus memastikan bahwa dunia digital bukanlah hutan algoritma yang dibiarkan liar tanpa penjaga.
Jika TikTok memproses 160 juta video sehari, maka negara harus bisa memproses 270 juta harapan akan perlindungan, literasi, dan kebebasan yang bermartabat di ruang digital. (*)
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |