
TIMESINDONESIA, MALANG – Nahlatul Ulama merupakan organisasi Islam terbesar dengan kuantitas pengikutnya yang banyak. Tercatat kurang lebih 80 juta masyarakat Islam Indonesia yang mengakui dirinya sebagai warga NU, baik ditataran struktural maupun kultural.
NU menjadi representasi dari bentuk Islam tradisional Indonesia karena mengakomodasi tradisi budaya Nusantara. Organisasi yang lahir pada tahun 1926 ini menjadi salah satu organisasi Islam yang sangat teguh dengan pemahaman Aswaja.
Advertisement
Sedangkan Ahlussunnah Wal Jama’ah (Aswaja) merupakan kelompok atau gerakan dalam sejarah Islam yang menjadi sebuah doktrin. Dalam sejarah Islam pengertian Aswaja kemudian berkembang menjadi sebuah sekte atau gerakan yang sepadan dengan golongan Mu’tazilah dan Syi’ah.
Jika kita telaah dari sejarah, kemunculan Aswaja adalah sebuah respon atas munculnya kelompok-kelompok ekstrem dalam memahami dali-dalil agama. Perbedaan cara pandang politik antara Khalifah Ali bin Abi Thalib dengan Mua’awiyah bin Abi Sufyan (Gubernur Damaskus) berakhir dengan tahkim (arbitrase) yang mengakibatkan perpecahan di umat Islam.
Kelompok pertama adalah yang mendukung secara penuh keputusan Ali, karena Ali merupakan representasi dari Rasulullah SAW sekaligus menantu. Kelompok ini yang akhirnya menjadi kelompok Syi’ah.
Kelompok kedua adalah kelompok yang menolak tahkim dan menyatakan bahwa Ali, Mu’awiyyah, Amr bin Ash, dan semua pihak yang terlibat dalam tahkim telah kafir. Keos politik yang terjadi bagi umat Islam pada akhirnya melahirkan kelompok di luar Syiah dan Khawarij, seperti Murji’ah, Jabariyah, Qadariyah, Mu’tazilah dan lain-lain.
Kesemuanya kelompok-kelompok tersebut adalah golongan ekstrimis. Maka untuk merespon kelompok-kelompok tadi muncullah golongan Aswaja yang diinisiasi golongan tabi’in seperti Imam Al-Basyri.
NU yang menjadi salah satu organisasi Islam pemegang teguh Aswaja, kemudian NU menjadikan Aswaja sebagai madzhab yang dalam berakidah mengikuti Imam Al-Asyari dan Imam Al-Maturidi, dalam hal fikih mengikuti empat madzhab (Syafi’i, Maliki, Hanafi, dan Hambali), dan dalam bidang tasawuf/akhlak mengikuti Imam Junaid Al-Baghdadi dan Imam Al-Ghazali.
Islam yang di dalamnya memuat ajaran-ajaran sebagai pegangan hidup manusia yaitu Al-Quran dan Hadis tidak dapat dipahami dengan baik tanpa melalui pemahaman yang baik pula. Dalam sejarah yang mampu menjelaskan dan menerjemahkan Al-Quran secara baik dan benar adalah Rasulullah sendiri.
Ketika Rasulullah masih hidup, segala probelmatika umat dapat dijelaskan dan diselesaikan langsung oleh beliau. Kemudian hadis berfungsi sebagai penjelas dan petunjuk untuk menjelaskan apa saja yang belum termaktub dalam Al-Quran.
Masalah muncul ketika Rasulullah SAW wafat, karena umat Islam dituntut untuk dapat ber ijtihad dalam menghadapi persoalan-persoalan yang semakin kompleks dan beragam. Tidak semua aturan-aturan hukum dapat diketahui langsung dari Al-Quran maupun hadis.
Maka dari sinilah pentingnya peran ijtihad meskipun tidak semua orang mampu melakukan ijitihad. Sepanjang sejarah perjalanannya, golongan Aswaja meneguhkan prinsip yang berwujud dalam karakter tawasuth (moderat), tasamuh (toleran), tawazun (seimbang) dan taadul (seimbang) yang membuat Aswaja mampu untuk beradaptasi dan melebur dengan dinamika zaman.
Dalam masalah madzhab, NU mengkatagorikannya menjadi dua katagori, yaitu bermadzhab secara Qauli dan bermadzhab secara manhaji. Bermadzhab secara qouli adalah mengikuti madzhab dari segi hukum yang sudah jadi produk. Bermadzhab secara manhaji adalah mengikuyti madzhab dari segi pola pikir yang artinya sebagai proses.
Di era disruptif seperti saat ini, dimana perkembangan teknologi semakin canggih, perubahan sosial dan problem-problem sosial semakin kompleks, maka Aswaja yang bersifat qaul tidak selamanya mampu menjawab dinamika zaman terutama pemahaman Islam.
Dengan merujuk pada madzhab secara manhaji menjadi solusi untuk mengeluarkan fatwa-fatwa hukum baru yang menjadi kebutuhan pemahaman beragama masyarakat. Di bidang teologi juga terdapat doktrin-doktrin yang perlu kiranya ditinjau ulang.
Perlu disadari bahwa Aswaja merupakan metodologi berpikir (manhajul fikr) yang relevan dengan dinamika zaman. Aswaja merupakan proses dinamika pemikiran yang terus berkembang dan tidak pernah selesai.
Sekarang saatnya kita mengembangkan pemikiran-pemikiran teologis yang menyentuh pada persoalan-persoalan praktis yang terjadi di masyarakat dan kepentingan manusia.
***
*) Oleh : Mohammad Syauqi Hakiki, Wakil Sekretaris 3 PC PMII Kota Malang dan Magister Manajemen Pendidikan Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |