Kopi TIMES

PHK Massal 2025: Krisis Tenaga Kerja dan Urgensi Solusi Sistemik

Rabu, 21 Mei 2025 - 19:07 | 54.92k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Sejak awal Januari 2025, gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) massal melanda berbagai sektor industri di Indonesia. Perusahaan-perusahaan besar maupun kecil, mulai dari teknologi, manufaktur, retail, hingga jasa finansial, terpaksa melakukan efisiensi dengan mengurangi jumlah karyawan secara signifikan.

Jika dirunut ke belakang, fenomena ini bukanlah sesuatu yang terjadi tiba-tiba, melainkan akibat dari akumulasi tekanan ekonomi global dan domestik yang telah menggerus ketahanan bisnis. Perlambatan ekonomi dunia, inflasi yang masih tinggi, kenaikan suku bunga, serta melemahnya daya beli masyarakat menjadi beberapa faktor utama yang memicu keputusan perusahaan untuk melakukan PHK. Sektor teknologi, yang sebelumnya dianggap sebagai industri paling tahan banting, justru menjadi salah satu yang paling terdampak.

Advertisement

Banyak startup yang mengandalkan pendanaan investor terpaksa menutup divisi atau bahkan gulung tikar setelah modal ventura mengering. Sementara itu, industri manufaktur dan ekspor tertekan oleh melemahnya permintaan pasar internasional, terutama dari negara-negara yang juga sedang mengalami resesi.

Yang lebih mengkhawatirkan, PHK kali ini tidak hanya terjadi di level karyawan biasa, tetapi juga menjalar ke posisi-posisi strategis, termasuk manajer dan direktur. Ini menunjukkan bahwa krisis yang dihadapi bukan sekadar masalah efisiensi operasional, melainkan sudah menyentuh tingkat eksistensial perusahaan.

Beberapa korporasi bahkan terang-terangan menyatakan bahwa mereka tidak lagi mampu bertahan tanpa restrukturisasi besar-besaran, termasuk mengurangi hingga 30-50% tenaga kerja. Jika pada masa pandemi Covid-19 PHK banyak terjadi karena gangguan supply chain dan lockdown, kali ini masalahnya lebih kompleks: kombinasi antara stagnasi pertumbuhan ekonomi, biaya produksi yang melambung, dan ketidakpastian regulasi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Di tengah situasi ini, dampak sosial yang ditimbulkan semakin nyata. Lapangan pekerjaan yang sempit membuat persaingan untuk mendapatkan lowongan kerja baru menjadi sangat ketat. Banyak mantan karyawan yang akhirnya beralih ke sektor informal dengan penghasilan tidak tetap, sementara yang lain terpaksa menganggur dalam waktu lama. Jika biasanya PHK masih bisa diserap oleh industri lain yang sedang berkembang, kali ini hampir semua sektor sedang dalam tekanan, sehingga penyerapan tenaga kerja menjadi sangat minim.

Akibatnya, tingkat pengangguran terbuka diperkirakan akan melonjak drastis dalam beberapa bulan ke depan. Tidak hanya itu, efek domino dari PHK massal ini juga mulai terasa di sektor konsumsi rumah tangga. Daya beli yang turun akan memperlambat perputaran ekonomi, yang pada akhirnya bisa memicu perlambatan lebih dalam.

Dari sudut pandang penulis, gelombang PHK yang semakin tak terbendung ini adalah bukti nyata bahwa Indonesia sedang menghadapi urgensi besar yang tidak bisa lagi diabaikan. Jika tidak segera ditangani secara sistemik, efek domino yang ditimbulkan bisa jauh lebih besar dari yang dibayangkan. PHK massal bukan hanya soal kehilangan pekerjaan, melainkan juga ancaman terhadap stabilitas sosial. Ketika jutaan orang kehilangan penghasilan, angka kemiskinan dan ketimpangan akan melonjak, yang pada akhirnya bisa memicu gejolak sosial. Selain itu, generasi muda yang seharusnya menjadi tulang punggung ekonomi justru akan kehilangan motivasi ketika melihat lapangan kerja semakin sempit. Dalam jangka panjang, hal ini bisa menjadi bom waktu yang mengancam pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Sayangnya, respons pemerintah selama ini masih terkesan reaktif dan tidak menyentuh akar masalah. Bantuan tunai sementara atau program pelatihan ulang mungkin bisa sedikit meringankan beban, tetapi tidak menyelesaikan persoalan struktural. Indonesia membutuhkan strategi jangka panjang yang mencakup perbaikan iklim investasi, penyederhanaan regulasi, serta peningkatan daya saing industri.

Di sisi lain, dunia pendidikan juga harus beradaptasi dengan menyiapkan tenaga kerja yang lebih tangguh dan sesuai dengan kebutuhan industri terkini. Jika tidak, kita hanya akan terus berputar dalam siklus krisis yang sama setiap kali gejolak ekonomi terjadi.

Melihat besarnya dampak yang mungkin terjadi, PHK massal ini seharusnya menjadi alarm bagi semua pihak—pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat—untuk segera duduk bersama mencari solusi. Tidak ada lagi waktu untuk saling menyalahkan atau berharap masalah ini akan selesai dengan sendirinya. Indonesia sedang di ujung tanduk: bertindak sekarang atau menanggung konsekuensi yang lebih besar di masa depan. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES