Kopi TIMES

Membangun Kembali Peta Pendidikan Kita

Kamis, 12 Juni 2025 - 14:33 | 14.86k
Surya Darma, Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada, Ketua Umum Forum Ilmu Sosial dan Humaniora HMP UGM.
Surya Darma, Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada, Ketua Umum Forum Ilmu Sosial dan Humaniora HMP UGM.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Anekdot "Ganti menteri, ganti kurikulum" telah menjadi ungkapan yang lazim di masyarakat Indonesia setiap kali terjadi pergantian rezim. Kondisi ini mencerminkan persepsi publik mengenai ketidakpastian kebijakan pendidikan nasional.

Sejak proklamasi kemerdekaan, Indonesia telah mengalami dua belas kali perubahan kurikulum pendidikan. Dimulai dari "Rentjana Pelajaran 1947" yang dikenal sebagai Leerplan, hingga yang terbaru Kurikulum Merdeka (2022). 

Advertisement

Setiap kurikulum baru seringkali mencoba mengoreksi atau menyempurnakan kurikulum sebelumnya. Kondisi perbaikan yang tak berkesudahan ini menandakan ketiadaan “peta jalan” pendidikan nasional yang jelas.

Perubahan kurikulum yang terlalu sering telah menimbulkan dampak negatif terhadap proses pembelajaran dan perkembangan siswa. Siswa mengalami kebingungan akibat perubahan struktur mata Pelajaran. 

Pendekatan pedagogis dan metode penilaian yang terus berubah membuat siswa kesulitan membangun fondasi pengetahuan yang kuat. Perasaan menjadi “kelinci percobaan” menciptakan tekanan psikologis dan mengganggu motivasi belajar baik bagi siswa maupun guru. 

Ketidakstabilan sistemik ini menyebabkan pembelajaran menjadi dangkal dan tidak efektif, karena siswa lebih sibuk beradaptasi dengan format baru daripada mengejar pemahaman yang mendalam. 

Akibatnya, potensi penuh siswa untuk mengembangkan literasi, numerasi, dan karakter menjadi sulit tercapai secara otentik. Kondisi tersubut tergambar pada Skor PISA Indonesia yang masih tergolong sangat rendah. 

Pada tahun 2022, skor PISA Indonesia tercatat sebesar 366 untuk Matematika, 359 untuk Membaca, dan 383 untuk Sains. Angka-angka ini berada jauh di bawah rata-rata negara-negara anggota Organization for Economic Co-operation and Development (OECD), yang masing-masing mencapai 472 untuk Matematika, 476 untuk Membaca, dan 485 untuk Sains. Secara keseluruhan, Indonesia menempati peringkat ke-70 dari 80 negara yang berpartisipasi dalam asesmen ini.

Di sisi lain, dampak jangka panjang dari perubahan kurikulum yang tidak konsisten juga melemahkan kualitas dan daya saing sumber daya manusia Indonesia. Meskipun kurikulum baru dirancang untuk menjawab kebutuhan dunia kerja, inkonsistensi implementasi dan ketidaksiapan guru serta fasilitas membuat pencapaian kompetensi kerja masih jauh dari harapan. 

Alih-alih memperkuat sistem pendidikan nasional, perubahan kurikulum yang tidak terkoordinasi justru menciptakan inefisiensi, menguras energi dan sumber daya pada aspek transisi daripada pengembangan kualitas jangka panjang. Tanpa peta jalan yang jelas dan konsisten, Indonesia berisiko gagal memanfaatkan bonus demografi dan tertinggal dalam kompetisi global.

Di tengah dinamika perubahan kurikulum yang menimbulkan kebingungan, filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara (KHD) barangkali dapat berfungsi sebagai "kompas" pendidikan nasional yang berakar pada nilai-nilai luhur bangsa. 

Pemikiran KHD menawarkan kerangka rasionalitas yang holistik, melampaui sekadar adaptasi terhadap tuntutan zaman yang bersifat superfisial. Pemikiran KHD tentang pendidikan dan pengajaran berakar pada pemahaman bahwa anak-anak adalah kehidupan yang akan tumbuh menurut kodratnya sendiri atau "pendidikan yang memerdekakan”. 

Pendidikan harus memberi tuntunan terhadap segala kekuatan kodrat yang dimiliki anak agar mereka mampu mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat.

Salah satu konsep filosofis pendidikan Ki Hadjar Dewantoro adalah "Ambuka Raras Angesti Wiji," diartikan sendiri oleh Ki Hadjar Dewantoro sebagai "Kesenian sebagai Pepucuk Pendidikan". 

Pernyataan kuat ini menggarisbawahi bahwa keterlibatan artistik bukan hanya pengejaran estetika, tetapi alat pedagogis untuk pembelajaran dan pengembangan karakter. Ki Hadjar Dewantoro sangat menekankan kebutuhan krusial untuk menyeimbangkan kecerdasan dengan kepribadian dalam pendidikan. 

Salah satu kegagalan pendidikan kita saat ini tampak dari laporan Digital Civility Index 2020. Microsoft mengungkap skor kesopanan warganet Indonesia berada di antara yang paling tidak sopan di Asia, dengan hampir separuh (48%) merupakan interaksi tidak sopan. Tentu interaksi digital tersebut mencerminkan kondisi sosial yang lebih luas. 

Selain itu, penekanan sistem pendidikan saat ini tampak tidak proporsional pada pengembangan intelektual menyebabkan paradoks "orang cerdas sekolah tinggi, tetapi kehilangan hatinya," sebagaimana dibuktikan oleh korupsi di kalangan elit terpelajar.

Konsep “Ambuka Raras Angesti Wiji”, barangkali dapat menjadi solusi fundamental atas krisis moral yang kita hadapi. Sebuah konsep yang menyeimbangkan kecerdasan dengan kepribadian dan integrasi olah rasa, olah raga, serta olah karsa dalam kerangka "rasio-rasa-raga" merupakan pendekatan pedagogis holistik yang komprehensif. 

Dengan demikian, pemikiran Ki Hadjar Dewantara tersebut menawarkan landasan filosofis yang kuat untuk merancang pendidikan yang tidak hanya menekankan aspek kognitif, tetapi juga mengintegrasikan pengembangan karakter, fisik, dan kreativitas secara seimbang. Sebuah konsep yang dapat menjadi salah satu pilar kalibrasi kompas pendidikan nasional. 

Meskipun konsep "Ambuka Raras Angesti Wiji" adalah khas Indonesia, banyak negara dengan sistem pendidikan dasar terbaik di dunia mengimplementasikan pendekatan holistik yang sejalan dengan semangat Ki Hadjar Dewantara. 

Negara-negara seperti Singapura, Finlandia, dan Kanada yang dikenal dunia memiliki skor PISA tertinggi di dunia secara konsisten diakui memiliki sistem pendidikan berkualitas.

Finlandia dikenal dengan pendekatan pendidikan holistik yang menekankan kesejahteraan dan perkembangan seimbang anak secara fisik, emosional, sosial, dan kognitif. Pembelajaran tidak hanya berfokus pada keterampilan akademik, tetapi juga pada pengembangan rasa ingin tahu, kemandirian, kreativitas, dan keterampilan sosial. 

Sistem ini sejalan dengan konsep "Ambuka Raras Angesti Wiji", tercermin melalui pembelajaran berbasis bermain yang berpusat pada anak. Guru memfasilitasi eksplorasi sesuai minat anak melalui aktivitas langsung dan interaksi sosial. Komunikasi dan kerja sama diajarkan sejak dini untuk membangun pendidikan yang menyeluruh. 

Selain itu, keseimbangan hidup dijaga melalui jam sekolah yang lebih singkat dan minimnya pekerjaan rumah, memberi siswa ruang untuk mengembangkan minat diri. Pembelajaran sosial-emosional juga diintegrasikan dalam kurikulum untuk mendukung kesejahteraan dan keterampilan hidup.

Selain Finlandia, Korea Selatan juga menjadi negara dengan sistem pendidikan terbaik di dunia. Menurut data World Population Review, Korea Selatan menampati peringkat pertama pada tahun 2025 sebagai negara dengan sistem pendidikan terbaik. 

Tentu kualitas pendidikan Korea Selatan hari ini tidak tercipta dengan sertamerta. Bukan hanya konsep "Ambuka Raras Angesti Wiji" yang tampak terimplemntasi dalam pendidikan dini dan dasar. Sejak awal kemeredekaan, Negeri Gingseng tersebut telah memberi anggaran sebesar 20% untuk pendidikan.

Memberikan pendidikan anak usia dini secara gratis. Gaji rata-rata guru di Korea Selatan sebesar $53.505 atau setara Rp 842.824.136 per tahun (10 negara dengan gaji guru tertinggi di dunia). 

Korea Selatan juga memiliki arah dan tujuan pendidikan yang jelas dan terukur misalnya mencapai tingkat literasi 100% dan melalui Komisi Ke Presidenan untuk Reformasi Pendidikan, Korea Selatan menetapkan tujuan sistem pendidikan di abad ke-21 sebagai Edutopia, yaitu masyarakat di mana setiap individu memiliki akses yang setara dan mudah ke pendidikan seumur hidup. 

Kita dapat menyimpulkan bahwa tampaknya sistem pendidikan yang di bangun oleh Korea Selatan telah dibangun berdasarkan konsep logos, Aristoteles. Apa yang telah dicapai oleh pendidikan Korea Selatan adalah wujud dari prinsip diskursus rasional, dimana perencanaan yang baik akan memberi hasil yang baik pula. 

Prinsip-prinsip perencanaan tersebut juga dapat kita artikan sebagai implementasi Logic Model yang solid sebagaimana gagasan dari Knowlton-Philips (2013).

Logic Model merupakan kerangka kerja yang sangat efektif untuk merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasi program pendidikan secara sistematis. Memastikan bahwa konsep dan tujuan pendidikan dapat diimplementasikan serta diukur secara efektif. 

Model ini dimulai dengan membangun visi jangka panjang yang jelas, seperti mencetak peserta didik yang berbudi pekerti luhur, cerdas secara holistik, dan mandiri, sesuai dengan filosofi Ki Hadjar Dewantara. Visi ini diterjemahkan ke dalam hasil jangka pendek dan menengah yang mencakup perubahan pengetahuan, keterampilan, dan perilaku pada siswa dan guru. 

Komponen utama Logic Model mencakup masukan (inputs) seperti dana, kurikulum, fasilitas, dan kualitas guru; kegiatan (activities) seperti pelatihan guru, pengembangan materi ajar, dan penerapan metode pembelajaran aktif; keluaran (outputs) seperti jumlah guru terlatih atau modul yang dihasilkan; serta dampak (outcomes) yang mencerminkan perubahan signifikan pada individu dan sistem pendidikan, baik dalam jangka pendek (misalnya peningkatan motivasi belajar), menengah (seperti peningkatan kemampuan berpikir kritis), maupun panjang (seperti peningkatan daya saing lulusan di dunia kerja).

Dalam konteks membangun perencanaan pendidikan, tentu kita tidak bisa berhenti pada landasan filosofis saja. Tujuan yang besar dan terukur dalam rencana pendidikan harus diturunkan sampai pada alokasi sumber daya terkecil. 

Dalam hal ini Konsep yang terdapat dalam Logic Model dapat menjadi kerangka sistematis yang bisa digunakan. Selain itu Logic Model juga memungkinakan menjadi alat komunikasi bagi seluruh pemangku kepentingan. 

Model ini turut mendorong akuntabilitas berbasis data, memungkinkan kebijakan yang diambil didasarkan pada bukti empiris, bukan semata dorongan politis. Selain itu, representasi visual dari teori perubahan program membantu membangun konsensus dan kepemilikan kolektif di antara para pemangku kepentingan seperti guru, siswa, orang tua, dan pengambil kebijakan. 

Dengan mengintegrasikan pendekatan ini dalam setiap tahap desain dan implementasi kebijakan, Indonesia dapat menciptakan perubahan pendidikan yang lebih terencana, berkelanjutan, dan berorientasi pada pencapaian hasil dan dampak.

Secara keseluruhan, tantangan yang dihadapi oleh sistem pendidikan Indonesia, ditandai dengan ketiadaan “peta jalan” yang terlihat dari perubahan kurikulum yang terus-menerus. Menimbulkan dampak buruk yang signifikan. 

Kondisi ini menyoroti kebutuhan mendesak akan "kompas" pendidikan nasional yang stabil dan berakar kuat. Filosofi Ki Hadjar Dewantara, "Ambuka Raras Angesti Wiji," menawarkan kerangka holistik yang mengintegrasikan rerangka kecerdasan rasio, rasa, raga. 

Untuk mencapai tujuan ini, penerapan Logic Model dapat memberikan kerangka kerja yang sistematis mulai dari perencanaan, implementasi, dan evaluasi program pendidikan. 

Dengan mengadopsi visi jangka panjang yang jelas, mengidentifikasi masukan dan kegiatan yang tepat, serta mengukur dampak yang terukur, Indonesia dapat mewujudkan sistem pendidikan yang lebih terstruktur, berkelanjutan, dan pada akhirnya, menghasilkan sumber daya manusia yang unggul dan berkarakter. Pada gilirannya mimpi Indonesia Emas akan dapat terwujud.

***

*) Oleh : Surya Darma, Mahasiswa Magister Akuntansi Universitas Gadjah Mada, Ketua Umum Forum Ilmu Sosial dan Humaniora HMP UGM.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

 

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES