Kopi TIMES

Menolak Seksisme Tawa Dedi Mulyadi

Kamis, 12 Juni 2025 - 15:15 | 27.38k
Raden Siska Marini, Aktivis Pengarustamaan Gender dan Pembangunan Pedesaan.
Raden Siska Marini, Aktivis Pengarustamaan Gender dan Pembangunan Pedesaan.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Ada yang patut disayangkan dari kuliah umum Dedi Mulyadi di Universitas Indonesia pada 27 Mei lalu. Bukan karena kehadirannya yang tak relevan, melainkan karena ada satu bagian dari pidatonya yang menyelinap keluar dari nalar dan adab. 

Ia melontarkan candaan tentang perempuan dengan metafora buah “mangga berade” yang dinilai menurun nilainya seiring waktu yang tidak hanya menyakitkan, tetapi juga mengandung kekerasan simbolik. 

Advertisement

Dalam forum akademik yang semestinya menjadi tempat penguatan nalar dan etika, kita justru menyaksikan bagaimana seksisme kembali dirayakan dengan tawa.

Pernyataan tersebut mungkin, bagi sebagian orang, dianggap lucu. Tapi lucu bagi siapa? Dan atas dasar apa? Ketika tubuh perempuan dikomodifikasi secara verbal, dibungkus dalam analogi pasar, lalu ditertawakan bersama, sesungguhnya yang sedang kita alami adalah pelemahan martabat kolektif. 

Humor jenis ini tidak hanya merendahkan perempuan sebagai individu, tetapi juga mengikis semangat kesetaraan yang selama ini diperjuangkan dengan susah payah oleh banyak pihak, termasuk mahasiswa, akademisi, dan aktivis.

Sebagai pendiri Ruang aman, sebuah lembaga katalisator dan advokasi Pengarusutamaan Gender (PUG), saya memandang kejadian ini bukan sebagai kasus tunggal, melainkan cermin dari persoalan yang lebih dalam: budaya permisif terhadap kekerasan verbal dan simbolik terhadap perempuan. 

Lebih ironis lagi, kejadian ini berlangsung di salah satu universitas terbaik di negeri ini, di depan generasi intelektual masa depan. Jika forum seperti ini masih bisa menjadi ruang yang melegitimasi lelucon seksis, maka kita punya pekerjaan rumah besar dalam membangun kampus sebagai ruang yang aman, beradab, dan progresif.

Penting kita sadari bahwa kekerasan terhadap perempuan tidak selalu hadir dalam bentuk fisik. Ia bisa berupa kata-kata, pandangan, dan lelucon yang terus-menerus mengobjektifikasi perempuan. 

Ia hidup dalam budaya yang menganggap “hanya bercanda” sebagai pembelaan paling sahih untuk merendahkan. Dan ketika hal itu dibungkam dengan tawa massal, kita tahu bahwa masalah ini bukan sekadar soal individu, tapi struktur sosial yang harus ditantang bersama.

Tentu tidak adil jika kita hanya menunjuk satu orang dan menjadikannya kambing hitam. Yang perlu kita periksa adalah bagaimana sistem dan kebiasaan publik memberi ruang bagi bahasa-bahasa yang mencederai tanpa merasa bersalah. 

Kita perlu mengubah cara pandang terhadap humor. Bahwa tidak semua yang lucu itu pantas. Tidak semua tawa mencerminkan kecerdasan. Dalam masyarakat yang ingin tumbuh dewasa secara kultural, sensitivitas terhadap kemanusiaan justru adalah kekuatan, bukan kelemahan.

Kampus, sebagai pusat penciptaan gagasan, semestinya berdiri paling depan dalam menolak segala bentuk kekerasan simbolik. Ia bukan hanya ruang belajar, tetapi tempat nilai-nilai dibentuk. 

Maka menjadi sangat penting untuk menjadikan peristiwa ini sebagai momen refleksi: apakah kita akan terus menoleransi seksisme sebagai bagian dari hiburan? Ataukah kita mulai belajar untuk tidak ikut tertawa ketika sesuatu itu menyakitkan pihak lain?

Saya percaya, kita masih bisa memilih yang kedua. Kita masih bisa membangun ruang publik yang berkeadaban, tempat di mana perempuan tidak lagi dijadikan bahan olok-olok, dan laki-laki tidak merasa kehilangan kehormatan saat menegur sesama karena candaan yang melampaui batas. 

Kita bisa mulai dari kesadaran kecil: mengubah tawa menjadi tanya. Menanyakan, mengapa kita harus mentertawakan sesuatu yang menyakiti?

Karena di ujungnya, keadilan tidak lahir dari panggung besar. Ia lahir dari keberanian-keberanian kecil untuk tidak ikut mengamini kekeliruan. Semoga, dari ruang-ruang kampus itulah, keberanian itu bisa tumbuh dan menjalar ke ruang yang lebih luas.

***

*) Oleh : Raden Siska Marini, Aktivis Pengarustamaan Gender dan Pembangunan Pedesaan.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES