
TIMESINDONESIA, PADANG – Di tengah narasi besar perlindungan industri dalam negeri, pemerintah Indonesia masih dihadapkan pada dilema klasik: antara menjaga keberlanjutan industri tekstil nasional dan mempertahankan mata pencaharian para pedagang pakaian bekas yang menggantungkan hidup pada praktik thrift.
Kebijakan yang semula tampak tegas dan final, justru berubah-ubah di lapangan. Kebijakan tentang impor pakaian bekas, dari segi implementasi, menjadi potret maju–mundur penegakan hukum yang berdampak langsung pada kelompok kecil yang seringkali luput dari perhatian.
Advertisement
Pemerintah secara resmi melarang impor pakaian bekas melalui Permendag No. 40 Tahun 2022, sebagai bentuk revisi dari kebijakan sebelumnya, Permendag 18/2021. Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan bahkan pernah secara simbolik memusnahkan 7.000 bal pakaian bekas senilai hampir Rp 80 miliar, dalam upaya menunjukkan ketegasan terhadap impor ilegal yang dianggap mencederai martabat industri nasional.
Dalam berbagai pernyataan publik, pemerintah menyebut pelarangan ini penting demi mendukung kampanye Bangga Buatan Indonesia, menjaga kesehatan masyarakat dari potensi penyakit akibat pakaian bekas, serta memberikan ruang tumbuh bagi UMKM tekstil lokal.
Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan kompleksitas yang tak bisa diselesaikan lewat simbol atau larangan semata. Komisi VI DPR melalui Aria Bima menyebut bahwa praktik impor pakaian bekas seharusnya tidak dijadikan kambing hitam kerusakan industri tekstil, karena data menunjukkan bahwa kontribusi pakaian bekas terhadap pasar dalam negeri sangat kecil, hanya sekitar 0,01-0,13% dari total impor pakaian.
Sebaliknya, justru pakaian jadi impor baru dari China dan negara lain yang selama ini menyedot hingga 80–90% pangsa pasar tekstil lokal. Fokus kebijakan yang terlalu sempit pada pakaian bekas, menurutnya, menyesatkan.
Pemerintah memang memiliki alasan kuat dalam membatasi pakaian bekas yang masuk melalui jalur ilegal. Selain karena alasan higienitas dan dampak sosial, banyak importir gelap memanfaatkan celah hukum: mereka mencuci, mengemas ulang, dan mengklaim barang sebagai "pakaian baru" sebelum masuk pasar lokal.
Dalam temuan Oktober 2023, modus seperti ini berhasil menyusup melalui jalur post-border yang luput dari pantauan bea cukai. Di sisi lain, kanal aduan publik seperti SP4N-LAPOR belum sepenuhnya diandalkan warga, karena banyak kasus aduan ditutup tanpa tindak lanjut yang transparan.
Dampak dari kebijakan pelarangan ini paling dirasakan oleh pedagang kecil. Mereka yang selama bertahun-tahun menggantungkan hidup pada bisnis thrift shop kini dililit ketidakpastian. Banyak dari mereka bukan importir besar, melainkan pengecer yang membeli dari pasar-pasar barang loak, dan menjual kembali secara daring atau di lapak sederhana.
Mereka bukan bagian dari rantai ilegal besar yang menyelundupkan kontainer pakaian bekas. Mereka hanyalah warga kelas bawah yang mencari nafkah dalam lorong ekonomi informal.
Pemerintah mencoba menawarkan jalan tengah melalui skema alih usaha. Kementerian Koperasi dan UKM menggandeng Kementerian Perdagangan untuk menyusun program pelatihan, pembinaan, dan bahkan stimulus modal agar pedagang pakaian bekas bisa beralih ke usaha berbasis produk lokal atau bisnis daur ulang yang legal.
Namun upaya ini masih bersifat ad hoc dan belum menyentuh masalah struktural: keterbatasan akses modal, distribusi, dan kompetensi desain serta produksi yang selama ini menjadi kendala utama pelaku usaha mikro.
Alih-alih menyelesaikan persoalan, pelarangan impor pakaian bekas malah menciptakan situasi abu-abu. Pedagang lokal merasa disudutkan, sementara importir besar tetap bermain dengan modus yang lebih canggih.
Kebijakan ini akhirnya menimbulkan ketegangan antara semangat proteksi industri dan realitas ekonomi rakyat kecil. Pemerintah terlihat maju ketika menggembor-gemborkan larangan, tapi mundur ketika harus menangani dampaknya di lapangan.
Sikap inkonsisten pemerintah ini memperkuat persepsi bahwa kebijakan publik seringkali lebih peduli pada tampilan ketimbang substansi. Penegakan hukum terlihat hanya menyasar yang lemah.
Tidak ada publikasi besar-besaran tentang importir besar yang ditindak. Yang viral justru para pedagang kecil yang lapaknya disita, atau dagangannya dimusnahkan tanpa solusi.
Jika pemerintah benar-benar serius dalam melindungi industri dalam negeri, pendekatannya seharusnya lebih menyeluruh dan berbasis data. Fokus tidak cukup hanya pada aspek larangan, tapi juga pemberdayaan dan inovasi rantai nilai tekstil lokal.
Upaya untuk menciptakan sistem produksi pakaian daur ulang, peningkatan keterampilan UMKM fesyen, dan kemitraan antara desainer dan produsen lokal perlu diperkuat. Dalam konteks ini, pelaku thrift bisa dilibatkan sebagai bagian dari ekosistem berkelanjutan, bukan dimusuhi.
Pengalaman negara lain juga bisa menjadi bahan pembelajaran. Di Filipina, pemerintah tidak langsung melarang thrift shop, tapi mengatur distribusi dan higienitas barang bekas dengan ketat.
Di Kenya, bahkan ada standar sanitasi untuk impor pakaian bekas. Pendekatan ini memungkinkan ekonomi informal tetap berjalan, tanpa mengorbankan kesehatan publik atau industri lokal.
Membasmi penyelundupan memang perlu, tapi tak boleh dilakukan dengan membabi buta. Pemerintah perlu membedakan antara pelaku besar dan pengecer kecil. Pelaku kecil perlu diberikan jalan adaptif, pelatihan, dan kemitraan usaha. Sedangkan pelaku besar yang menyalahgunakan celah hukum, harus ditindak secara terbuka.
Pada akhirnya, kebijakan publik tak bisa sekadar reaktif dan simbolik. Ia harus konsisten, manusiawi, dan berpihak pada keadilan ekonomi. Pakaian bekas, dalam konteks ini, bukan hanya soal barang; ia menyimpan lapisan persoalan sosial, ketimpangan ekonomi, dan wajah nyata ketidaksiapan negara dalam mengatur pasar yang makin kompleks. Maju salah, mundur pun salah. Tapi diam adalah kesalahan terbesar.
***
*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
_______
*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sholihin Nur |