
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Pulau Gag di Raja Ampat, salah satu pusat biodiversitas laut dunia, kini menjadi simbol ketegangan antara kepentingan ekologis, hak masyarakat adat, dan arah kebijakan negara yang cenderung eksploitatif.
Di tengah narasi transisi energi global, kawasan ini menghadapi tekanan besar dari aktivitas pertambangan nikel yang mengancam tidak hanya lanskap ekologis, tetapi juga sistem sosial dan tata kelola lokal yang telah lama menopang keberlanjutan.
Advertisement
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menyatakan bahwa pertambangan di Pulau Gag “tidak bermasalah.” Namun, klaim tersebut perlu ditinjau kritis.
Kerusakan lebih dari 500 hektare hutan dan vegetasi di pulau kecil seluas 6.060 hektare bukan sekadar degradasi ruang hijau, tetapi ancaman nyata terhadap sistem ekologis penopang kehidupan: dari manusia, satwa liar, hingga ekonomi lokal yang selama ini bertumpu pada pariwisata dan sumber daya alam terbarukan.
Narasi teknokratis yang menyebut lokasi tambang berada di luar zona Geopark UNESCO menunjukkan pendekatan pembangunan yang sempit. Ekosistem tidak tunduk pada batas administratif. Kerusakan di satu titik bisa berdampak sistemik ke seluruh kawasan.
Di sinilah pentingnya integrasi antara perlindungan lingkungan dan logika ekonomi. Tanpa keseimbangan itu, pembangunan hanya menciptakan pertumbuhan semu yang menyimpan kerentanan struktural jangka panjang.
Proses pengambilan keputusan terkait pertambangan berlangsung tanpa partisipasi publik yang bermakna. Izin eksplorasi dan produksi diberikan tanpa deliberasi sejati. Masyarakat lokal yang memiliki pengetahuan ekologis dan praktik ekonomi tradisional justru tidak diajak dalam posisi setara.
Dokumen Amdal tidak tersosialisasi secara layak, risiko ekologis tidak dikomunikasikan secara terbuka, dan forum konsultasi publik hanya menjadi formalitas birokratis.
Dalam perspektif demokrasi deliberatif ala Jürgen Habermas dan John Dryzek, legitimasi kebijakan publik tidak semata berasal dari legalitas administratif, tetapi dari proses dialog yang rasional, inklusif, dan terbuka terhadap suara warga terdampak.
Kasus Pulau Gag justru mencerminkan absennya ruang deliberatif. Negara tampil bukan sebagai pelindung ruang hidup warga, melainkan perpanjangan tangan kepentingan pasar.
Local governance yang semestinya menjadi benteng utama keberlanjutan justru melemah. Desentralisasi di Indonesia sering kali berhenti pada tataran administratif, tanpa memperkuat posisi komunitas dalam pengambilan keputusan.
Di Gag, masyarakat tidak memiliki kendali atas tanah yang mereka huni turun-temurun, bahkan tidak memiliki mekanisme untuk menolak tambang yang akan mengubah wajah pulau mereka secara drastis.
Keberlanjutan sejati hanya tercapai melalui harmoni antara tiga pilar: ekologi, ekonomi, dan keadilan sosial. “Ekonomi hijau” tidak boleh menjadi kedok baru bagi ekstraktivisme.
Proyek yang mengorbankan ekosistem dan merusak sistem sosial-ekonomi lokal adalah bentuk kolonialisme sumber daya dengan wajah baru.
Pulau Gag bukan kasus terisolasi. Ia mencerminkan pola nasional: dari Morowali hingga Halmahera, industri nikel terus berkembang di tengah lemahnya pengawasan dan partisipasi publik. Ironisnya, semua dilakukan atas nama “energi hijau”, meski jejak ekologisnya berbicara sebaliknya.
Sudah saatnya negara mengambil langkah korektif dan transformasional. Pertama, memberlakukan moratorium terhadap tambang di pulau-pulau kecil dan kawasan rentan ekologis.
Kedua, membentuk forum pengawasan lingkungan berbasis komunitas yang memiliki hak suara dan wewenang menghentikan proyek jika merusak.
Ketiga, membuka seluruh proses perizinan dan dokumen lingkungan dalam format yang transparan dan mudah dipahami masyarakat.
Demokrasi lingkungan bukan prosedur tambahan. Ia adalah fondasi keberlanjutan. Ketika deliberasi mati, yang runtuh bukan hanya legitimasi pemerintah, tetapi masa depan generasi.
Pulau Gag adalah cermin bahwa keadilan ekologis, ekonomi, dan demokrasi adalah satu kesatuan. Tanpa itu, yang tersisa hanya tanah gersang, air tercemar, dan suara rakyat yang dikalahkan mesin industri.
***
*) Oleh : Fahrizal Afriansyah, Mahasiswa Magister Politik dan Pemerintahan Universitas Gadjah Mada.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Ahmad Rizki Mubarok |