KDM dan Transformasi Komunikasi Politik di Indonesia

TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Politik Indonesia memasuki babak baru yang menandai pergeseran fundamental dalam cara pemimpin berinteraksi dengan konstituennya. Era pidato formal di podium dan konferensi pers yang kaku perlahan tergantikan oleh video berdurasi pendek di TikTok, Instagram, dan YouTube.
Transformasi ini bukan sekadar perubahan medium, melainkan revolusi dalam paradigma komunikasi politik, dari komunikasi searah yang formal menjadi dialog dua arah yang informal, personal, dan instant.
Advertisement
Di tengah gelombang perubahan ini, sosok Dedi Mulyadi, Gubernur Jawa Barat, muncul sebagai pionir yang mengubah cara pemimpin berkomunikasi dengan rakyatnya. Dengan kurang lebih dari 7,9 juta pengikut di TikTok dan jutaan interaksi di platform lainnya, ia tidak hanya mengikuti tren, tetapi menciptakan blueprint baru untuk komunikasi politik di era digital.
Pendekatan komunikasinya yang menggabungkan humor lokal, gesture budaya Sunda, dan kedekatan emosional berhasil menembus sekat-sekat tradisional antara pemimpin dan rakyat.
Julukan "Gubernur Konten" yang disematkan kepadanya bukan sekadar ejekan atau pujian semata, ia adalah cerminan dari fenomena baru komunikasi politik Indonesia yang mengubah lanskap demokrasi kita.
Fenomena ini patut dikaji lebih dalam, tidak hanya dari aspek efektivitasnya dalam membangun popularitas, tetapi juga implikasinya terhadap kualitas diskursus publik dan substansi kepemimpinan di Indonesia.
Media Sosial sebagai Panggung Politik Baru
Dengan kurang lebih dari 7,9 juta pengikut di TikTok, Dedi Mulyadi telah membuktikan bahwa media sosial bukan sekadar alat tambahan, melainkan strategi komunikasi utama.
Platform ini menjadi kanal utamanya untuk menyampaikan pesan politik, menggambarkan kedekatan dengan rakyat kecil, hingga mengklarifikasi isu kontroversial. Gaya komunikasinya yang personal, naratif, sarat humor dan gestur budaya Sunda, berhasil membuat pesannya "mengena" di kalangan akar rumput.
Pendekatan multi-platform yang digunakannya juga menunjukkan pemahaman mendalam tentang ekosistem digital. Instagram dimanfaatkan untuk membangun citra visual dan personal melalui foto dan video penyampaian kebijakan.
Sementara YouTube tidak hanya menjadi platform dokumentasi, tetapi juga sumber pendapatan melalui AdSense yang sebagian dialokasikan untuk bantuan sosial, dari membeli sepatu anak hingga merenovasi rumah warga.
Model ini menciptakan apa yang bisa disebut sebagai "politik partisipatif berbasis konten", di mana masyarakat berperan sebagai penonton, penyokong, dan penerima manfaat sekaligus. Pendekatan ini menggabungkan aspek informatif, emosional, sekaligus ekonomi dalam satu strategi komunikasi yang utuh.
Strategi Komunikasi Krisis di Era Digital
Keunggulan Dedi Mulyadi tidak hanya terletak pada kemampuan membangun narasi positif, tetapi juga dalam merespons krisis dan disinformasi.
Dalam kerangka Situational Crisis Communication Theory (SCCT) dari W. Timothy Coombs, pendekatan yang digunakannya konsisten menerapkan strategi "rebuild" dan "bolstering".
Alih-alih menampik kritik, ia menyambut kritik sebagai dialog. Ketika dijuluki "Gubernur Konten", ia justru menjelaskan bahwa konten adalah sarana efisien menyampaikan kinerja tanpa membebani anggaran daerah.
Kebijakan kontroversial seperti pendidikan militer bagi siswa bermasalah dijelaskan sebagai upaya pembentukan karakter, bukan represi. Kritik terhadap infrastruktur rusak ditanggapi langsung dengan kunjungan lapangan dan penjelasan real-time melalui video pendek.
Strategi "preemptive communication" ini memungkinkannya menyampaikan klarifikasi sebelum isu membesar, bahkan sebelum diliput media konvensional. Ini adalah bentuk komunikasi krisis yang sangat efektif di era digital, di mana kecepatan respons menentukan arah opini publik.
Fenomena Dediphobia
Salah satu fenomena paling menarik dari strategi komunikasi Dedi Mulyadi adalah munculnya istilah "Dediphobia" ketakutan anak-anak terhadap sosoknya karena video-video peringatan yang ia unggah.
Dalam video tersebut, Dedi menyampaikan bahwa anak-anak yang malas mandi, tidak mau makan, sulit bangun pagi, dan melawan orang tua bisa dijemput langsung olehnya untuk disekolahkan di barak militer.
Fenomena ini menjadi viral dan digunakan orang tua untuk mendisiplinkan anak. Beberapa selebriti seperti Raffi Ahmad dan Nagita Slavina bahkan mengunggah video anak mereka yang langsung patuh setelah mendengar suara Dedi Mulyadi.
Meskipun menuai pro dan kontra, tidak dapat dipungkiri bahwa ia berhasil membangun kedekatan dengan masyarakat hingga level keluarga, sesuatu yang jarang dicapai politisi lain.
Dilema Gubernur Konten
Julukan "Gubernur Konten" mencerminkan dua sisi mata uang. Di satu sisi, ini adalah pengakuan atas kemampuan membangun komunikasi dua arah yang hidup, jujur, dan menyentuh aspek emosional masyarakat. Ia hadir dalam narasi keseharian rakyat; dari urusan sekolah anak, harga beras, hingga jalan rusak.
Namun di sisi lain, muncul pertanyaan krusial: Apakah narasi yang dibangun bersifat substantif atau sekadar pencitraan? Apakah semua konten benar-benar merepresentasikan kebijakan nyata? Apakah pendekatan ini membuka ruang partisipasi atau justru menggiring opini publik dengan satu sudut pandang?
Risiko komunikasi politik berbasis konten adalah over-simplifikasi isu dan berkurangnya ruang deliberasi publik yang objektif. Kompleksitas kebijakan publik seringkali tidak dapat direduksi menjadi video pendek minimal 60 detik tanpa kehilangan nuansa penting.
Namun, di tengah menurunnya kepercayaan publik pada elite politik, pendekatan humanis dan langsung seperti ini memang lebih mudah membangun legitimasi.
Masa Depan Komunikasi Politik Indonesia
Dedi Mulyadi telah menunjukkan bahwa komunikasi politik era digital tidak dapat dipisahkan dari personal branding, narasi visual, dan interaksi media sosial. Ia membuktikan bahwa pemimpin dapat membentuk dan mempertahankan hubungan dengan rakyat melalui konten digital yang emosional, personal, dan partisipatif.
Keberhasilannya menggeser panggung politik dari ruang rapat ke layar ponsel, dari baliho ke algoritma, dari suara partai ke suara netizen membuka pertanyaan besar: Apakah ini akan menjadi norma baru politik Indonesia? Ataukah justru bentuk baru populisme digital yang perlu dikritisi?
Yang pasti, fenomena Dedi Mulyadi menandai perubahan fundamental dalam cara pemimpin berinteraksi dengan konstituennya. Keberhasilan atau kegagalan model ini akan sangat bergantung pada kemampuan menjaga keseimbangan antara daya tarik konten dengan substansi kepemimpinan, antara kedekatan personal dengan akuntabilitas publik.
Era komunikasi politik digital telah dimulai. Pertanyaannya bukan lagi apakah pemimpin harus beradaptasi, tetapi bagaimana mereka melakukannya tanpa mengorbankan esensi demokrasi dan tata kelola yang baik.
***
*) Oleh : Fatlurrahman, Mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi FISIPOL UGM dan Peneliti Academic and Social Studies (ACCESS), Founder Madura Bestari.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |