Kopi TIMES

Cacat Logika Rencana Menaikkan Gaji Hakim Untuk Cegah Korupsi

Minggu, 15 Juni 2025 - 09:10 | 16.50k
Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Kebijakan menaikkan gaji hakim kembali mencuat menjadi sorotan publik, terlebih setelah Presiden Jokowi pada Oktober 2024 menandatangani Peraturan Pemerintah (PP) No. 44/2024 yang menaikkan gaji dan tunjangan hakim hingga 30–40%.

Gaji pokok yang sebelumnya berada di angka Rp2,06 juta kini menjadi Rp2,78 juta, dengan total remunerasi tertinggi mencapai sekitar Rp66 juta per bulan.

Advertisement

Kebijakan ini disambut dengan berbagai respons, mulai dari kalangan hakim yang merasa diapresiasi, hingga masyarakat sipil yang mempertanyakan urgensi dan efektivitas langkah tersebut dalam menciptakan peradilan yang bersih.

Solidaritas Hakim Indonesia (SHI) menjadi salah satu pihak yang menyambut baik kebijakan tersebut, namun tetap menyuarakan keprihatinan soal ketimpangan.

Mereka menilai bahwa beban kerja hakim, terutama di daerah, tidak sebanding dengan kompensasi yang diterima, bahkan setelah adanya kenaikan tersebut. Hal ini memicu tuntutan tambahan agar pemerintah melakukan penyesuaian yang lebih adil.

Pada awal 2025, di bawah pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, pembahasan mengenai kenaikan gaji hakim masih menjadi agenda yang belum tuntas.

Mahkamah Agung menyatakan belum ada keputusan resmi karena struktur kabinet dan anggaran masih dalam proses penyesuaian. Namun demikian, Prabowo diketahui telah menunjukkan komitmen secara lisan dalam audiensi bersama SHI.

Bahkan adiknya, Hashim Djojohadikusumo, turut menyatakan bahwa Presiden baru ini berencana menerbitkan Peraturan Presiden baru guna memperbesar tunjangan dan gaji hakim, meskipun belum mencapai angka ideal seperti yang diusulkan kalangan yudikatif.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Pemerintah melalui Kemenpan RB dan Kementerian Keuangan juga telah menyiapkan Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang mencakup rencana kenaikan gaji pokok antara 8–15%, tunjangan antara 45–70%, serta pengaturan pensiun yang disesuaikan dengan gaji terakhir.

Tunjangan kemahalan yang mengacu pada inflasi pun tengah dirancang agar hakim di berbagai daerah dengan biaya hidup tinggi bisa tetap hidup layak.

Di sisi lain, DPR juga mulai membahas RUU Jabatan Hakim untuk memastikan pengaturan ini memiliki dasar hukum yang kuat dan berkelanjutan, bukan hanya mengandalkan peraturan pemerintah yang sifatnya fleksibel dan bisa berubah kapan saja.

Namun, pertanyaan mendasar pun mencuat: benarkah menaikkan gaji hakim akan menyelesaikan persoalan keadilan dan korupsi di tubuh peradilan?

Sejarah menunjukkan bahwa tingginya gaji tidak menjamin bersihnya mental aparatur negara, termasuk hakim. Kita tak kekurangan contoh bagaimana pejabat tinggi negara dengan gaji puluhan juta rupiah masih terjerat kasus korupsi.

Bahkan, dalam catatan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), terdapat oknum hakim agung yang pernah ditangkap dalam operasi tangkap tangan karena menerima suap dalam penanganan perkara. Artinya, akar dari persoalan bukan semata pada nominal gaji, melainkan pada integritas, moralitas, dan pengawasan.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Dengan menaikkan gaji hakim tanpa dibarengi sistem akuntabilitas dan transparansi yang kuat, pemerintah hanya menambal luka dengan plester mahal. Keadilan tidak bisa dibeli dengan kebijakan nominal.

Keadilan lahir dari nurani, dari tanggung jawab moral seorang hakim yang tahu bahwa ia memutuskan nasib seseorang, dan bahwa keputusan itu harus murni berdasarkan hukum dan hati nurani, bukan berdasarkan siapa yang membayar lebih tinggi.

Lebih jauh lagi, pernyataan beberapa pihak yang mengaitkan rendahnya gaji dengan praktik korupsi adalah argumentasi berbahaya.

Jika logika itu diterima, maka seolah kita membenarkan bahwa seseorang bisa menyimpang jika merasa kurang sejahtera. Padahal, justru hakim sebagai pilar utama keadilan seharusnya menjadi teladan moral dalam kehidupan berbangsa. Meningkatkan kesejahteraan boleh saja, tetapi menjadikannya sebagai dalih utama untuk memperbaiki kualitas integritas jelas keliru.

Sudah saatnya pemerintah dan lembaga peradilan menyadari bahwa reformasi peradilan tidak bisa berhenti pada persoalan anggaran. Yang dibutuhkan adalah perombakan menyeluruh, termasuk pembentukan sistem pengawasan independen terhadap putusan dan gaya hidup hakim, keterbukaan proses peradilan, serta keberanian masyarakat sipil untuk terus mengawasi dan mengkritisi.

Tanpa hal itu, gaji setinggi langit pun tidak akan mampu menghentikan tangan-tangan nakal di balik palu sidang.

Maka pertanyaan paling tajam hari ini adalah: apakah kita sedang membayar keadilan, atau sedang membeli diam para penegak hukum? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka negeri ini sedang terjebak dalam ilusi hukum yang semakin mahal tetapi kian kehilangan martabatnya.

Sebab, keadilan sejati tidak datang dari angka di slip gaji, melainkan dari keberanian dan kemurnian hati hakim yang tidak tergoyahkan oleh materi. Jika itu tidak dibenahi, maka seberapa pun gaji dinaikkan, peradilan kita tetap akan menjadi panggung sandiwara yang hanya melukai kepercayaan rakyat. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Sholihin Nur

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES