
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 3/PUU-XXII/2024 menjadi ramai diperbincangan publik. Putusan ini mengatur tentang kewajiban Pemerintah Pusat dan daerah untuk menggratiskan pendidikan dasar (SD dan SMP) baik Sekolah Negeri maupun Swasta. Pendidikan gratis wajib belajar 9 tahun, yang sebelumnya hanya berlaku di sekolah negeri kini diperluas jangkauan implementasinya.
Sekilas, putusan ini memang membawa angin segar, tafsir tujuan negara yang populer termaktub dalam “Mencerdaskan Kehidupan Bangsa”, kini tidak kemudian bias dan terbatas pada sekolah berstatus negeri.
Advertisement
Realitas terbatasnya daya tampung sekolah negeri, kedudukannya yang tidak merata di berbagai wilayah, sengitnya persaingan, sampai anggapan kecil “kualitas” sekolah negeri tak lebih bagus dari swasta elit menjadi ragam musabab sekolah swasta dipilih.
Masalahnya adalah, seringkali, kewajiban biaya menjadi beban orang tua anak di sekolah swasta. Tak jarang karena keterpaksaan, menyekolahkan anak di swasta menjadi beban materil yang berat. Beban yang didapati hanya untuk menikmati hak mendapatkan jaminan akses pendidikan dasar.
Kalaulah kita sepakat ini hak, baik negeri dan swasta, idealnya bukankan harus sama rata? Bervariasi betul memang biaya ini, tergantung bagaimana kondisi sekolah dan kelas sekolahnya itu.
Sekolah Swasta Khawatir
Bagi Sekolah swasta, kekhawatiran tentu menjadi hal yang wajar terjadi. Apalagi banyak di antara sekolah swasta yang terkenal bonafit dengan beragam keunggulannya. Selain nama besar, kualitas layanan dan sarana dukungan belajar merupakan nilai jual yang banyak menarik masyarakat.
Dengan keunggulan yang dimiliki ini, selama ini sekolah swasta bebas mematok harga bagi siswa yang mau masuk belajar. Semakin bonafit dan lengkap sarananya, jelas semakin mahal juga. “Sekolah Elit, Sekolah Unggulan” jamak kita dengar sebagai istilah ilustrasinya.
Dengan kewajiban menggratiskan sekolah, swasta tentu akan kehilangan kebebasan mematok biaya pendidikannya. Kewajiban adminstrasi bulanan, iuran wajib tahunan atau biaya kurikulum dan buku, yang biasanya menjadi pemasukan utama swasta dalam mengelola penyelenggaraan pendidikan tak boleh langsung dibebani ke pihak siswa.
Dengan pembiayaan oleh negara ini, swasta semacam akan kehilangan keleluasaan ini. Sekolah swasta dituntut mau tidak mau harus merekontruksi biaya penyelenggaraan pembelajarannya.
Selain menambah beban aktivitas, sumber daya yang mendukung juga menjadi kebutuhan tersendiri untuk urusan ini. Nantinya mereka akan menghitung ulang tergantung juga pada model pembiayaan yang negara akan gelontorkan di setiap satuan pendidikan. Pasti ada batas-batas tertentu dalam pembiayaan tersebut.
Selain itu, jika ternyata suatu sekolah tersebut belum masuk dalam kategori penampung siswa yang dibiayai negara, kencenderungan potensi hilangnya calon siswa tentu menjadi hal yang bakal terjadi.
Logika pihak keluarga dalam menyekolahkan anaknya sebagai calon siswa di suatu sekolah tentu akan berubah, dari yang semula “Menyekolahkan di Sekolah ini, karena bagus” tentu akan berubah menjadi “Menyekolahkan di tempat yang gratis saja”.
Muhammadiyah Tidak Sepakat
Sebagai organisasi yang bergerak di bidang sosial, agama, kesehatan dan pendidikan. Muhammadiyah yang mengelola amal usaha bidang pendidikan pun merespon mengenai putusan MK ini.
Tanggapan Ketua Umum Pimpinan Pusat (Ketum PP) Muhammadiyah Haedar Nashir ramai dikutip media. Haedar memberikan penekanan, jangan sampai pelaksanaan putusan MK ini malah mematikan pihak swasta.
Dengan sebaran amal usaha bidang pendidikan yang jamak di seluruh wilayah, penggratisan sekolah swasta tanpa pertimbangan seksama dan kecermatan dalam melihat realitas dunia pendidikan Indonesia akan menjadi potensi yang mematikan pendidikan swasta. Karena swasta memiliki peran strategis, putusan MK ini tentu akan berdampak langsung pada pertumbuhan pendidikan nasional itu sendiri.
Kosentrasi Muhammadiyah, sebagai swasta keormasan tentu jauh dari kepentingan bisnis dalam mengembangkan pendidikan. Haedar menjelaskan, sekolah dasar swasta harus tetap terkoneksi dengan tanggung jawab pendidikan sekolah negeri, dalam hal keleluasaan menjalankan tugas pendidikan.
Bagi Haedar, lembaga pendidikan negeri yang berstatus berbadan hukum yang diberi kewenangan mengembangkan bisnis dalam dunia pendidikan justru harus disorot. (Metrotvnews, Juni: 2025).
Celah Beban Negara
Dengan negara menanggung seluruh biaya pendidikan tingkat dasar dan menengah pertama, beban belanja negara bidang pendidikan bakal menjadi begitu besar.
Apalagi dengan kenyataan bahwa selama ini, pembiayaan yang disalurkan ke sekolah negeri baik yang berupa bantuan operasional, tunjangan guru dan pembangunan infrastrukur pun sebenarnya belum benar-benar optimal.
Angka presentase 20% APBN adalah untuk pendidikan selama ini belum menunjukan hasil yang begitu menggembirakan. Selain bukan semata soal angka, persoalan kompleksnya biasanya ada pada mekanisme penyaluran atau kompetensi sumber daya manusianya yang tidak cakap.
Pembiayaan yang semakin besar ini tentu akan menimbulkan tantangan celah dalam implementasinya. Memastikan bahwa penyaluran anggaran pendidikan benar-benar mampu sampai dengan tepat sasaran adalah pekerjaan besar yang memerlukan kejujuran tinggi, dedikasi dan keikhlasan. Kalaupun penerapannya akan berlangsung bertahap dan relatif, objektifitas realitas pendidikan adalah hal yang perlu dipedomani secara erat.
Tak boleh asal pembiayaan saja. Sebab jika ini tak berlangsung baik, dengan membiarkan kebutuhan atas kesejahteraan sekolah negeri yang selama ini belum terkoneksi, disparitas pendidikan dan pemerataan akses pendidikan akan menjadi angan-angan kosong belaka.
Pun jika memang negara bakal mengatur mekanisme teknis seperti uji kelayakan suatu sekolah swasta agar bisa menampung siswa yang dibiayai negara, baik negara dan sekolah swasta, sama-sama harus mengeluarkan energi lebih untuk mempersiapkan.
Pondasi implementasinya juga harus didetailkan, perlu aturan teknis yang menjamin pelaksanaanya tidak menimbulkan celah pemanfaatan segelintir pihak saja.
Kita perlu menelan pil pahit, jangankan urusan pendidikan yang cenderung menjadi kepentingan duniawi, urusan agama yang lekat dengan akhirat saja masih sering dimanfaatkan demi pragmatisme oknum pejabat negara.
Model pembiayaan oleh negara juga perlu jelas dan transparan. Apakah dengan gelontoran langsung bantuan operasional ke sekolah atau model penagihan/claim biaya pendidikan dari sekolah ke negara dengan laporan periode tertentu proses pendidikan.
Resiko yang menghantui adalah, apalagi jika model claim biaya pendidikan ini, pemenuhan prasyarat dan pengajuannya tentu menjadi pekerjaan tambahan bagi pihak sekolah. Kalo semuanya sudah terpenuhi, jangka pembayaran atas claim tersebut, apakah bisa tepat waktu? Dengan jumlah sekolah dan jumlah siswa yang banyak seluruh Indonesia, ini adalah tantangan besar.
Semoga dalam implementasinya ini, negara tidak kemudian kehilangan kesadaran amanat fundamental tentang mewujudkan kesejahteraan bagi warga negara semuanya. Semoga Allah merahmati kita semuanya. (*)
***
*) Oleh : Muhamad Ikhwan A. A, Manajer Program Al Wasath Institute. Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Jayabaya.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |