
TIMESINDONESIA, YOGYAKARTA – Di era media sosial dan komunikasi instan, istilah “backburner relationship” semakin sering mencuat dalam perbincangan generasi muda. Fenomena ini merujuk pada relasi di mana seseorang tidak dijadikan prioritas, tetapi tetap dipertahankan dalam lingkar komunikasi sebagai “cadangan emosional” disimpan, tetapi tidak pernah dipilih.
Studi dari Indiana University terhadap 374 mahasiswa menyebut bahwa lebih dari 73% responden menjaga minimal satu orang sebagai backburner, baik melalui chat, interaksi sosial media, atau balasan singkat yang menjaga relasi tetap "terbuka". Bahkan, lebih dari 56% individu yang sudah menjalin hubungan resmi tetap mempertahankan koneksi seperti ini.
Advertisement
Fenomena ini menjadi semakin mudah terjadi berkat teknologi. Hanya dengan satu emoji, komentar singkat, atau reaksi di story, hubungan digital bisa tetap terlihat aktif tanpa kejelasan arah emosional.
Jayson Dibble, pakar komunikasi dari Hope College, menyebut bahwa dalam konteks komunikasi digital, menjaga “hubungan cadangan” menjadi sangat mudah, bahkan nyaris tanpa beban. Komunikasi menjadi alat pelestarian harapan samar, bukan sarana membangun kejelasan.
Di sisi lain, sebagai respons atas hubungan yang menggantung tersebut, muncul pola self-detachment communication yakni strategi diam-diam menjauh dari koneksi yang dianggap merugikan emosi.
Individu yang merasa tidak dihargai akan mulai membalas pesan lebih lambat, menjaga percakapan tetap netral, atau menghindari obrolan mendalam. Ini menjadi semacam perlindungan psikologis, upaya menjaga harga diri, sekaligus cara bertahan di tengah relasi yang ambivalen.
Dari sudut pandang psikologi komunikasi, strategi ini bisa dipahami sebagai bentuk coping mechanism. Namun dari perspektif antropologi budaya, fenomena ini mencerminkan cara masyarakat urban-modern menyiasati keterikatan dalam dunia yang sangat cair dan cepat berubah.
Dalam struktur relasi tradisional, kedekatan biasanya dibangun melalui interaksi tatap muka, mediasi sosial komunitas, serta ritual formal yang memperjelas status hubungan. Namun dalam masyarakat digital, keterikatan menjadi jauh lebih fleksibel, bahkan transaksional.
Teknologi menciptakan ruang abu-abu dalam hubungan interpersonal di mana kedekatan bisa dibuat-buat, dan keintiman bisa dibangun tanpa komitmen.
Antropolog Clifford Geertz menyebut bahwa dalam masyarakat, simbol dan tanda memainkan peran penting dalam membentuk makna relasi. Dalam konteks digital, simbol-simbol ini bergeser: emoji, balasan story, dan notifikasi menjadi indikator "perhatian" atau "kedekatan", walau tidak diikuti niat nyata.
Dalam budaya Asia yang kolektif seperti Indonesia, keberadaan backburner juga bisa dianggap sebagai bentuk kompromi emosional: menjaga opsi agar tidak “menyakiti” secara terang-terangan, sekaligus memberi sinyal bahwa masih ada ikatan, walau sangat longgar.
Namun realitas ini justru menciptakan tekanan mental. Studi dari Psychology Today menunjukkan bahwa sekitar 20 hingga 40 persen orang dewasa pernah mengalami ghosting, dan dampaknya serupa dengan rasa sakit fisik. Walau tampak lebih sopan, praktik backburner dan detachment memiliki efek psikologis yang sama: membingungkan, menurunkan kepercayaan diri, bahkan membentuk trauma relasional.
Fenomena ini juga diperparah oleh narasi budaya populer yang menormalisasi ketidakpastian hubungan. Istilah seperti “situationship”, “hubungan tanpa status”, atau “FWB” menjadi lazim, bahkan dianggap bagian dari fase tumbuh dewasa.
Dalam masyarakat urban, hubungan romantis menjadi semakin dinegosiasikan secara personal. Antropolog Sherry Turkle dari MIT menyoroti bahwa media sosial telah menciptakan “illusion of connection” di mana orang merasa terhubung secara konstan, tetapi sebenarnya kesepian secara mendalam.
Ketika hubungan tidak diberi batas dan tidak diproses secara komunikatif, maka self-detachment menjadi bentuk survival: menjauh tanpa konflik, memutus sambungan tanpa pengumuman.
Di sinilah pentingnya membangun kesadaran relasi digital. Pemerintah dan komunitas perlu mulai mengembangkan literasi emosional berbasis digital. Dalam beberapa program literasi digital yang digagas Kominfo dan Kementerian Koperasi dan UKM, pembahasan tentang relasi digital, etika komunikasi daring, hingga pola ghosting/backburner sudah mulai diperkenalkan di kalangan remaja dan mahasiswa.
Menteri Budi Arie Setiadi menekankan pentingnya karakter digital yakni kemampuan bukan hanya teknis, tetapi juga emosional dalam berinteraksi secara daring.
Dalam konteks lokal seperti Kalimantan, Sulawesi, atau Sumatra, fenomena ini bisa bertabrakan dengan nilai-nilai komunitas tradisional. Hubungan yang ambigu, tarik-ulur, atau digantung secara emosional dianggap tidak etis.
Dalam budaya kolektif, hubungan baik pertemanan, keluarga, maupun romansa-masih dihargai secara terbuka dan jelas. Maka itu, backburner dan self-detachment menjadi bentuk cultural dissonance yang semakin terasa di generasi muda yang hidup di antara nilai adat dan budaya digital.
Self-detachment juga bukan solusi jangka panjang. Jika tidak diiringi pemrosesan emosional dan keberanian menyampaikan kejelasan, ia hanya akan menumpuk luka komunikasi. Sebuah hubungan, bahkan jika tidak berlanjut, tetap pantas untuk ditutup secara baik melalui kata, bukan hilang diam-diam.
Bagi yang merasa berada dalam hubungan backburner, penting untuk menyadari: “dijaga tetap dekat” bukan berarti “dipilih”. Dan bagi mereka yang merasa terjebak dalam pola detachment, penting untuk bertanya: “apakah saya sedang melindungi diri, atau hanya menghindar dari keputusan penting?”
Hubungan manusia selalu dipengaruhi konteks sosial dan budaya. Dalam era digital, kedekatan bisa dibangun cepat, tetapi komitmen jadi langka. Kita perlu kembali menanamkan nilai bahwa kejelasan lebih bernilai daripada atensi sementara.
Generasi muda perlu diajarkan bahwa menjadi pilihan, bukan sekadar cadangan, adalah hak dasar dalam relasi. Dan bahwa menjauh bukanlah satu-satunya cara bertahan kadang, bicara langsung adalah bentuk detachment yang lebih sehat dan bermartabat.
***
*) Oleh : Ziya Ibrizah, S.I.Kom., M.I.Kom., Story Teller Nasional, Dosen Ilmu Komunikasi.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |