Kopi TIMES

Identitas Simbolik dalam Branding Wilayah

Minggu, 29 Juni 2025 - 08:23 | 12.14k
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, PADANG – “Ini Medan, Bung!” bukan sekadar ungkapan spontan di tengah percakapan santai di warung kopi. Frasa ini adalah kristalisasi dari karakter Medan, keras, lantang, dan penuh percaya diri. Begitu pula dengan “Padang Kucinta dan Kubela” yang menjadi penegasan emosional warga terhadap ibukota Sumatera Barat. 

Sedangkan “Bogor Berseri”, yang merupakan akronim dari Bersih, Sehat, Rapi, dan Indah, menyampaikan semangat administratif kota yang ingin tampil teratur dan asri. Ketiga slogan ini adalah contoh dari bagaimana kota-kota di Indonesia membentuk identitas melalui bahasa. 

Advertisement

Dalam kajian akademik, frasa-frasa ini disebut sebagai city slogan atau slogan kota, dan merupakan bagian dari strategi yang lebih luas: city branding.

Dalam era kompetisi antarkota yang kian sengit; baik dalam hal investasi, pariwisata, maupun talenta, pemerintah daerah semakin sadar pentingnya membangun citra dan identitas simbolik yang kuat. 

Salah satu cara paling mudah dan efektif adalah melalui slogan kota. Dalam kerangka place marketing, slogan menjadi alat komunikasi yang menyampaikan pesan: “Inilah kami, dan inilah yang kami tawarkan.”

City Slogan dalam Perspektif Ilmiah

Menurut Kavaratzis dan Ashworth (2005), city slogan adalah komponen strategis dari city branding yang berfungsi untuk membangun diferensiasi dan memperkuat persepsi publik terhadap suatu wilayah. 

Slogan dapat merepresentasikan nilai historis, cita-cita pembangunan, hingga karakter sosial warganya. Slogan bukanlah dekorasi belaka, tetapi bagian dari narasi yang hendak dikomunikasikan kepada dunia luar.

Misalnya, "Surabaya Sparkling" yang dulu digunakan oleh Kota Surabaya mencoba membangun citra sebagai kota modern dan hidup, sementara “Jogja Istimewa” menekankan pada warisan budaya yang khas dan status keistimewaan provinsi tersebut. 

Semua ini adalah bentuk konstruksi identitas, yang dalam perspektif komunikasi simbolik dapat dilihat sebagai narasi ideologis yang dibentuk dan disebarkan secara strategis.

Budaya Lokal dan Imajinasi Administratif

Slogan kota bisa lahir dari dua sumber utama: dari bawah (bottom-up) atau dari atas (top-down). “Ini Medan, Bung!”, misalnya, lahir dari budaya tutur warga Medan sendiri.

Ia menjadi slogan yang organik dan otentik karena merepresentasikan bahasa sehari-hari, dan kemudian diadopsi secara resmi sebagai bagian dari branding kota. 

Sebaliknya, “Bogor Berseri” adalah hasil formulasi birokrasi, yang bersifat programatik dan dirancang sebagai bagian dari visi-misi pemerintah kota.

Dalam banyak kasus, city slogan mengandung ambiguitas produktif: ia bisa bermakna literal dan simbolik sekaligus. “Padang Kucinta dan Kubela” tidak hanya menyatakan cinta dan loyalitas, tapi juga menyiratkan dorongan kolektif untuk membela identitas kota dari ancaman atau distorsi citra. 

Artinya, slogan juga bisa menjadi mekanisme mobilisasi sosial, terutama ketika kota menghadapi krisis atau tantangan besar.

Kajian Semiotik dan Sosiolinguistik

Jika ditarik ke ranah semiotika, slogan kota adalah bagian dari sistem tanda yang membentuk makna bersama atau shared meaning. Ia menjadi lambang yang memuat konteks sejarah, relasi sosial, bahkan resistensi politik. 

Dalam kajian sosiolinguistik, city slogan bisa ditelaah sebagai register linguistik, yakni ragam bahasa yang dilekatkan pada konteks sosial dan kultural tertentu.

Dalam konteks Indonesia yang kaya akan keragaman etnolinguistik, city slogan juga bisa menjadi refleksi dari pluralitas identitas lokal. Namun di sisi lain, jika tidak dirancang secara inklusif, slogan juga bisa memicu resistensi kelompok yang merasa tidak terwakili. 

Oleh karena itu, proses perumusan slogan seharusnya melibatkan partisipasi publik, bukan sekadar keputusan unilateral dari pejabat daerah.

Tantangan dan Kritik

Meski terlihat sederhana, city slogan menyimpan tantangan tersendiri. Banyak slogan kota di Indonesia yang akhirnya tidak berumur panjang karena tidak terinternalisasi oleh masyarakat. 

Slogan berubah tiap ganti kepala daerah, tanpa kesinambungan narasi atau pelibatan warga. Akibatnya, banyak slogan hanya berfungsi sebagai jargon dalam baliho dan spanduk, tanpa daya hidup dalam keseharian publik.

Kritik lainnya datang dari kalangan akademisi branding, seperti Simon Anholt, yang menyatakan bahwa city slogan sering terjebak pada “promotional fluff” terlalu banyak retorika, terlalu sedikit makna. 

Sebuah slogan yang baik bukan hanya terdengar bagus, tetapi juga harus bisa mewakili kenyataan sosial dan menjadi bagian dari strategi jangka panjang dalam membentuk place identity yang otentik dan konsisten.

City slogan adalah lebih dari sekadar kata-kata manis yang ditempel di pintu masuk kota. Ia adalah konstruksi simbolik yang merangkum sejarah, harapan, dan identitas kolektif sebuah wilayah. 

Di tengah kompetisi global dan arus urbanisasi yang cepat, penting bagi setiap kota untuk tidak hanya membangun infrastruktur fisik, tetapi juga infrastruktur simbolik dan slogan adalah salah satu pilar utamanya.

Oleh karena itu, perumusan slogan kota seharusnya tidak dianggap remeh. Ia perlu dikaji secara multidisipliner: dari sudut pandang linguistik, sosiologi, komunikasi, hingga politik lokal. 

Hanya dengan begitu, slogan benar-benar bisa menjadi jantung narasi kota menggetarkan, menghidupkan, dan menyatukan. (*)

***

*) Oleh : Muhibbullah Azfa Manik, Dosen Program Studi Teknik Industri, Universitas Bung Hatta.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Sofyan Saqi Futaki

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES