Kopi TIMES

Ibnu Khaldun: Setiap Negara Pasti Hancur?

Selasa, 01 Juli 2025 - 20:02 | 17.43k
Thaifur Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.
Thaifur Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Ada satu hal menarik dari sejarah manusia: kita sering merasa hidup di zaman yang berbeda, tapi sejatinya, apa yang kita alami hari ini pernah terjadi di masa lalu. Hanya nama, pelaku, dan latarnya saja yang berubah. Sisanya, skenario kekuasaan, perebutan pengaruh, kemewahan, dan keruntuhan, sama saja polanya. 

Salah satu orang yang pernah membaca pola itu jauh sebelum kita lahir adalah Ibnu Khaldun. Seorang ilmuwan Muslim abad ke-14, yang gagasannya sampai hari ini masih relevan, bahkan terlampau jujur untuk diterima di zaman kita.

Advertisement

Salah satu konsep penting dari Ibnu Khaldun adalah soal ashabiyah. Bukan sekadar ikatan kelompok berdasar darah, tapi solidaritas sosial yang menyatukan manusia untuk tujuan bersama.

Menurutnya, kekuasaan dan negara tidak akan bisa lahir tanpa ashabiyah. Negara dibangun oleh solidaritas itu, diperluas olehnya, lalu dihancurkan ketika solidaritasnya melemah. 

Yang menarik, Ibnu Khaldun juga mencatat, umur negara itu biasanya cuma bertahan sekitar tiga generasi. Setelah itu, ya tinggal puing-puing kekuasaan.

Coba kita bayangkan, seandainya Ibnu Khaldun hidup di Indonesia hari ini, mungkin dia bakal geleng-geleng kepala melihat betapa telanjangnya ashabiyah modern di tubuh politik kita. Dulu ashabiyah berbentuk ikatan suku, kabilah, atau marga. 

Sekarang, ia berubah jadi jaringan oligarki, politik dinasti, dan kartel kekuasaan yang saling melindungi. Kalau dulu satu kabilah bersatu menaklukkan kerajaan lain, sekarang satu klan politik saling bahu-membahu rebut kursi dan proyek negara.

Kita bisa lihat dalam cara partai-partai saling bagi jatah, jabatan strategis diisi atas nama “keluarga besar”, bukan merit atau kompetensi. Asal satu kelompok, satu lingkaran kekuasaan, aman. Yang di luar? Ya, menunggu nasib atau ikut bermain dengan menggadaikan idealisme.

Ashabiyah semacam ini tidak sehat, karena seperti kata Ibnu Khaldun, kekuasaan yang lahir dari solidaritas sempit lambat laun akan hancur. Saat kekuasaan mapan, elite-nya mulai rakus, saling curiga, lalu memonopoli kekuasaan demi diri sendiri. Rakyat ditinggal, negara jalan di tempat, politik cuma jadi panggung sandiwara.

Ibnu Khaldun menyebut, kekuasaan macam itu umumnya mengalami lima fase. Pertama, saat perjuangan merebut kekuasaan. Kedua, pemusatan kekuasaan di tangan segelintir orang. Ketiga, menikmati kekuasaan dan kemewahan. Keempat, mulai malas dan jumawa. Dan terakhir, fase kehancuran. 

Aneh, kalau diperhatikan, Indonesia seperti sedang ada di antara fase ketiga dan keempat. Para elite politik sibuk mengurus bagi-bagi kekuasaan dan kemewahan, sementara rakyat makin susah, ketimpangan ekonomi makin parah, dan urusan negara makin terbengkalai.

Ibnu Khaldun juga menolak dongeng politik soal pemimpin penyelamat. Di zamannya, banyak orang percaya Mahdi, tokoh suci yang akan datang membenahi dunia. Tapi Khaldun tegas bilang, sejarah tidak diubah oleh sosok semacam itu. 

Perubahan datang dari kekuatan sosial yang nyata: solidaritas rakyat, bukan juru selamat. Itu kritik yang pas banget untuk kita sekarang, yang terlalu sering berharap hadirnya pemimpin ideal, padahal yang lebih penting adalah solidaritas masyarakat yang kuat dan sadar kepentingan bersama.

Hari ini, kita masih suka menyandarkan harapan politik pada figur-figur karismatik, seolah masalah bangsa bisa selesai cuma dengan satu nama. Padahal sistem busuk, ashabiyah sempit, dan elite korup tidak akan bisa dibereskan sendirian. 

Perubahan harus datang dari bawah, dari rakyat yang sadar dan mau bersatu, membangun solidaritas sosial baru di luar lingkaran kekuasaan lama.

Saya jadi ingat, Ibnu Khaldun membagi umur kekuasaan dalam tiga generasi: generasi pertama keras, sederhana, penuh perjuangan. Generasi kedua, menikmati hasil kekuasaan, mulai nyaman di kota, dan pelan-pelan kehilangan semangat juang. Generasi ketiga, hidup dalam kemewahan, takut perang, takut susah, dan akhirnya kehancuran. 

Kalau melihat Indonesia sekarang, saya tidak yakin kita masih di generasi kedua. Mungkin sudah di awal-awal generasi ketiga. Elitnya mulai lupa daratan, kemewahan jadi tujuan utama, rakyat dijadikan alat legitimasi, bukan subjek kekuasaan.

Yang lebih menarik, kata Ibnu Khaldun, setiap kekuasaan pada akhirnya akan dihancurkan oleh kekuatan yang dulu pernah berada di pinggiran. Di zamannya, kaum Badawah dari padang pasir bisa menumbangkan dinasti perkotaan yang mewah dan lemah. 

Sekarang, kekuatan itu bisa datang dari kelompok-kelompok sosial baru: rakyat kecil yang muak, komunitas akar rumput yang mulai berorganisasi, atau anak muda yang tidak mau lagi dijajah oligarki. Mungkin mereka bukan kaum Badawah, tapi semangatnya sama.

Kita butuh ashabiyah baru hari ini. Bukan ashabiyah berbasis marga, partai, atau bisnis, tapi solidaritas rakyat lintas kelas, lintas identitas, yang sadar bahwa negara ini milik bersama, bukan milik elite politik saja. Ashabiyah modern yang bergerak bukan karena kepentingan sempit, tapi karena kemauan menjaga negeri tetap waras.

Ibnu Khaldun sebetulnya sedang bicara soal kita. Sejarah kekuasaan di negeri ini terus berulang: dari semangat perjuangan, jadi pesta kekuasaan, lalu kemewahan dan korupsi, dan akhirnya kehancuran. 

Kalau kita tidak mau jadi korban berikutnya, ya jangan tinggal diam. Solidaritaskan diri, lawan oligarki, dan bangun kekuatan sosial yang bisa merebut kembali arah bangsa. Karena kalau kita cuma pasrah, sejarah akan menggilas kita. Lagi dan lagi.

***

*) Oleh : Thaifur Rasyid, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Islam Malang.

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubrik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Rizal Dani

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES