
TIMESINDONESIA, JAKARTA – Di tengah gegap gempita pertumbuhan ekonomi nasional yang kerap dielu-elukan dalam angka-angka makro yang mengkilap, satu pertanyaan mendasar perlu kita ajukan bersama: benarkah pertumbuhan itu telah dirasakan secara merata, terutama oleh rakyat kecil?
Sayangnya, jawaban yang mengemuka justru menyiratkan realitas yang pahit: ketimpangan masih menganga, jurang antara si kaya dan si miskin belum menyempit secara signifikan. Maka, seruan akan hadirnya sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil bukanlah retorika kosong, melainkan tuntutan zaman.
Advertisement
Ekonomi kerakyatan sebuah konsep yang dihidupkan kembali dari semangat Pasal 33 UUD 1945 menjadi pintu masuk penting dalam menjawab ketimpangan struktural ini. Bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan asas kekeluargaan bukan sekadar semboyan, tetapi semestinya menjadi arah kebijakan konkret.
Ironisnya, dalam praktik pembangunan hari ini, suara rakyat kecil seringkali tak terdengar dalam meja perencanaan. Mereka menjadi penonton dari geliat investasi besar yang melintasi desa-desa mereka, sementara penghasilan harian tak juga naik.
Salah satu akar masalahnya adalah model pembangunan yang terlalu menitikberatkan pada sektor-sektor besar, yang orientasinya adalah pertumbuhan bukan pemerataan. Padahal, sektor informal seperti pertanian, nelayan, pedagang kecil, dan UMKM menyerap lebih dari 90 persen tenaga kerja Indonesia.
Namun ironisnya, mereka kerap tercecer dari prioritas anggaran dan perlindungan kebijakan. Inilah paradoks pembangunan kita: yang paling besar menyerap tenaga kerja justru paling kecil mendapat perhatian.
Contohnya petani. Hingga hari ini, harga pupuk bersubsidi masih menjadi perdebatan panjang. Seringkali kelangkaan dan penyimpangan distribusi terjadi, membuat petani harus membeli dengan harga mahal di pasar gelap. Belum lagi soal harga gabah yang tak sebanding dengan biaya produksi.
Begitu pula dengan nelayan, yang dihadapkan pada pembatasan alat tangkap, kenaikan harga solar, dan ketergantungan pada tengkulak. Ketika negara tidak hadir secara memadai, maka pasar yang akan mengambil alih dengan logikanya sendiri: yang kuat menang, yang kecil tersingkir.
Di tengah tekanan global dan krisis iklim yang memperburuk ketahanan ekonomi lokal, sudah saatnya negara melakukan afirmasi nyata pada ekonomi rakyat kecil. Pertama-tama, diperlukan keberpihakan dalam alokasi anggaran.
Program-program seperti Kredit Usaha Rakyat (KUR), pelatihan kewirausahaan, dan subsidi pertanian mesti ditingkatkan kualitas implementasinya, bukan sekadar diperluas dalam angka. Bukan hanya soal kucuran dana, tetapi bagaimana dana itu benar-benar menyasar kelompok miskin produktif, bukan elit lokal yang memonopolinya.
Selain itu, peran koperasi sebagai sokoguru ekonomi kerakyatan perlu dihidupkan kembali secara progresif. Selama ini, koperasi seringkali hanya menjadi pelengkap administrasi pembangunan, tanpa diberi dukungan sistemik dan perlindungan pasar. Padahal, koperasi sejatinya bisa menjadi instrumen penting dalam menyatukan kekuatan rakyat kecil menghadapi pasar yang makin liberal.
Di level desa, kebijakan Dana Desa juga mesti diarahkan untuk penguatan ekonomi produktif, bukan hanya proyek-proyek fisik. Sudah saatnya muncul Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) yang benar-benar berfungsi sebagai lokomotif ekonomi lokal. Namun ini butuh penguatan kapasitas manajemen, pendampingan, serta keterbukaan data agar tidak terjadi penyelewengan.
Perlu juga digarisbawahi bahwa keberpihakan pada rakyat kecil tak bisa semata-mata dilakukan oleh negara. Peran kampus, LSM, komunitas, dan media sangat penting untuk membangun kesadaran kritis sekaligus mendorong gerakan ekonomi alternatif yang berkelanjutan.
Ekonomi solidaritas, pertanian organik, gerakan pasar lokal, dan digitalisasi UMKM adalah beberapa contoh yang mulai tumbuh dari bawah dan patut didukung lebih luas.
Dalam perspektif keadilan sosial, keberpihakan pada rakyat kecil bukan hanya persoalan moral, tetapi merupakan imperatif demokrasi. Negara demokratis sejati adalah negara yang memberi ruang dan daya pada mereka yang selama ini tertindas oleh sistem.
Ekonomi yang hanya menguntungkan segelintir elit dan investor besar tidak akan bertahan lama, karena meninggalkan bom waktu berupa keresahan sosial dan politik yang bisa meledak kapan saja.
Presiden Jokowi dalam berbagai kesempatan kerap menyebut pentingnya hilirisasi industri dan pembangunan dari pinggiran. Ini adalah narasi yang tepat, namun perlu dilanjutkan secara konsisten di level kebijakan dan implementasi daerah.
Gubernur, bupati, hingga kepala desa harus memiliki paradigma yang sama: bahwa rakyat kecil bukan objek belas kasihan, melainkan subjek utama pembangunan.
Kita tidak anti terhadap investasi atau kemajuan teknologi. Tetapi investasi harus inklusif, memberi ruang pada pelibatan warga lokal dan tidak menggusur hak-hak dasar mereka.
Teknologi harus menjadi alat pembebasan, bukan alat pemusatan kekayaan. Ekonomi digital harus menjadi jembatan bagi UMKM masuk ke pasar nasional dan global, bukan hanya ladang emas bagi startup besar.
Jika benar kita ingin mewujudkan sila kelima Pancasila-Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia. Maka tidak ada pilihan lain selain membangun sistem ekonomi yang berpihak pada rakyat kecil.
Bukan dalam bentuk retorika populis, tapi dalam kebijakan riil yang menyentuh kehidupan mereka sehari-hari: akses pendidikan, layanan kesehatan, lahan produktif, perlindungan sosial, dan jaminan kerja yang layak.
Karena sejatinya, kemajuan bangsa ini tidak akan dinilai dari gedung-gedung tinggi yang menjulang di ibu kota, tapi dari senyum petani di sawah, nelayan di laut, buruh di pabrik, dan pedagang kecil di pasar tradisional. Merekalah wajah sejati Indonesia. Dan kepada mereka, ekonomi harus berpihak. (*)
***
*) Oleh : Abdullah Fakih Hilmi AH, S.AP., Akademisi dan Wirausahawan.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |