
TIMESINDONESIA, MALANG – Dalam dunia global yang tampak penuh diplomasi dan jabat tangan hangat antarnegara, kerja sama internasional kerap dipromosikan sebagai jalan mulus menuju perdamaian, kemajuan, dan pembangunan ekonomi. Namun, sejarah dan kenyataan membuktikan bahwa kerja sama antarnegara tidak selalu sebersih dan seideal narasi yang disampaikan di forum-forum internasional.
Di balik layar, kerja sama tersebut sering menyimpan agenda terselubung yang melampaui kepentingan politik formal dan ekonomi pembangunan. Ia bisa menyentuh dimensi kontrol ideologi, hegemoni budaya, infiltrasi intelektual, bahkan penciptaan ketergantungan sistemik.
Advertisement
Pertama, mari kita telaah bagaimana kerja sama antarnegara sering menjadi alat bagi negara kuat untuk mempertahankan dominasi ideologisnya. Dalam berbagai kesepakatan bilateral atau multilateral, negara dengan kekuatan ekonomi, militer, dan teknologi yang lebih unggul kerap menyisipkan nilai-nilai ideologi yang tidak selalu sesuai dengan karakter sosial budaya negara mitra.
Bantuan luar negeri, misalnya, kadang datang dengan syarat tak tertulis: penerapan kebijakan yang selaras dengan prinsip neoliberalisme atau demokrasi liberal. Negara penerima bantuan, apalagi yang sedang mengalami krisis, sering kali berada dalam posisi tawar yang lemah dan secara tak sadar menggandeng kontrak ideologis yang mengubah wajah kebijakan dalam negeri.
Kita dapat melihat contoh konkret dalam berbagai program bantuan pembangunan atau kerja sama pendidikan. Program pertukaran pelajar, pelatihan akademik, hingga hibah riset seringkali bukan sekadar bentuk solidaritas antarbangsa.
Di dalamnya, tersimpan proyek jangka panjang berupa westernisasi pola pikir elite intelektual. Generasi muda yang "diasuh" oleh negara mitra akan membawa pulang bukan hanya gelar, tetapi juga nilai dan cara pandang yang bisa membentuk arah kebijakan nasional. Inilah bentuk soft power paling halus tapi berdampak panjang.
Kedua, kerja sama pertahanan dan keamanan yang kerap diklaim sebagai bentuk solidaritas regional atau global melawan ancaman bersama tak jarang berfungsi sebagai cara legal untuk memperluas pengaruh militer atau teknologi senjata negara besar.
Negara maju menjalin latihan militer bersama, menjual sistem persenjataan, atau menyediakan bantuan intelijen kepada negara mitra, tetapi di balik itu, mereka juga sedang menciptakan ketergantungan teknologi militer dan membuka jalur pengawasan strategis.
Tak heran jika kemudian kita melihat perjanjian militer yang sebenarnya memberikan lebih banyak akses kepada negara kuat terhadap data pertahanan dan kelemahan internal negara kecil.
Ketiga, kerja sama ekonomi dan investasi asing yang digadang-gadang sebagai jalan keluar dari keterbelakangan dan pengangguran juga menyimpan ranjau kepentingan. Investasi besar dari negara maju ke negara berkembang bisa menjadi alat untuk mengeksploitasi sumber daya alam dan tenaga kerja murah dengan kedok transfer teknologi dan penciptaan lapangan kerja.
Dalam banyak kasus, perusahaan multinasional justru mengeruk keuntungan besar, sementara negara tuan rumah hanya menerima remah-remah royalti dan dampak lingkungan yang panjang. Tak jarang pula, kerja sama ekonomi ini membentuk jebakan utang atau “debt trap” diplomacy, di mana negara berkembang akhirnya kehilangan kedaulatan atas aset strategis mereka.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Rizal Dani |