
TIMESINDONESIA, TUBAN – Dalam banyak kesempatan, negara mendeklarasikan diri sebagai pelayan rakyat. Namun di balik jargon manis itu, wajah pelayanan publik Indonesia masih menyisakan luka lama: lamban, diskriminatif, dan kadang menyakitkan.
Di kantor-kantor pemerintah, pelayanan publik seringkali menjadi ajang demonstrasi kuasa birokrasi, bukan panggung pengabdian terhadap rakyat. Janji reformasi birokrasi tampak seperti mantera kosong yang kehilangan ruh pelayanan.
Advertisement
Hingga kini, berbagai survei nasional menunjukkan bahwa kualitas pelayanan publik di Indonesia belum ideal. Menurut Laporan Indeks Persepsi Pelayanan Publik (IPKP) 2023 yang dirilis Kementerian PANRB, rata-rata indeks nasional hanya berada di angka 3,90 dari skala 5.
Artinya, masih banyak unit pelayanan yang bekerja di bawah standar harapan publik. Bahkan Ombudsman RI mencatat bahwa tingkat maladministrasi dalam pelayanan publik masih tinggi, dengan pengaduan terbanyak berasal dari sektor agraria, pendidikan, dan kesehatan.
Ironisnya, pelayanan yang paling menyentuh kehidupan rakyat miskin justru menjadi yang paling bermasalah. Cobalah tengok di desa-desa pinggiran atau kawasan 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar), rakyat harus menempuh puluhan kilometer untuk mengurus dokumen kependudukan.
Di tempat lain, pasien miskin harus menunggu berjam-jam hanya untuk mendapatkan pelayanan BPJS yang prosedural dan seringkali menyulitkan. Seolah-olah rakyat kecil ditakdirkan menjadi pelanggan dari sistem pelayanan yang diskriminatif.
Salah satu contoh nyata terjadi di Kabupaten Sikka, NTT, di mana masyarakat harus menyeberang laut dan menempuh belasan kilometer hanya untuk mendapatkan akta kelahiran di kantor Dukcapil.
Di sisi lain, masyarakat perkotaan pun tak lepas dari jeratan buruknya pelayanan publik. Di Jakarta, misalnya, masih banyak warga yang mengeluhkan lamanya waktu antrean perpanjangan SIM atau STNK, meskipun proses digitalisasi telah dilakukan.
Tak hanya lambat, pelayanan publik juga kerap kali sarat pungli. Menurut Survei Integritas 2022 yang dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), lebih dari 30% warga mengaku pernah diminta uang pelicin saat mengurus pelayanan publik, terutama di instansi yang berhubungan langsung dengan masyarakat seperti kepolisian, pertanahan, dan perizinan. Ini membuktikan bahwa pelayanan publik masih terjebak dalam praktik transaksional.
Celakanya, sistem pengawasan dan sanksi terhadap penyimpangan dalam pelayanan publik masih lemah. Laporan Ombudsman 2023 mencatat lebih dari 10.000 pengaduan, namun hanya sebagian kecil yang ditindaklanjuti secara serius oleh instansi terkait.
Banyak kasus yang diselesaikan secara administratif tanpa perubahan sistemik yang nyata. Akibatnya, kesalahan yang sama terus berulang dan masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap pemerintah.
Di tengah gempuran teknologi digital dan semangat transformasi, ternyata digitalisasi pelayanan belum menjadi solusi efektif. Memang, beberapa layanan mulai beralih ke sistem daring, seperti pelayanan pajak, administrasi kependudukan, hingga pengaduan masyarakat.
Namun sayangnya, digitalisasi kerap kali tidak dibarengi dengan literasi digital dan kesiapan infrastruktur, terutama di daerah terpencil. Alhasil, masyarakat kembali harus bertumpu pada perantara calo digital yang justru menciptakan pasar gelap baru dalam pelayanan publik.
Sementara itu, para pegawai negeri yang menjadi ujung tombak pelayanan publik masih menghadapi tantangan profesionalisme dan integritas. Meski pemerintah telah menjalankan program pelatihan dan reformasi sistem kepegawaian, indikator kinerja individu PNS masih didominasi oleh aspek administratif, bukan kepuasan layanan.
Pegawai berlomba mengejar angka dan laporan, bukan kualitas relasi dengan masyarakat. Ini menunjukkan bahwa orientasi pelayanan belum sepenuhnya bertransformasi ke paradigma "melayani, bukan dilayani."
Masalah mendasar dari buruknya pelayanan publik di Indonesia adalah karena pelayanan tidak diletakkan sebagai hak warga negara, tetapi sebagai hadiah dari negara. Mentalitas ini tumbuh subur di birokrasi kita. Tak heran jika banyak aparatur yang merasa sedang "menolong" rakyat, bukan menjalankan kewajiban konstitusional.
Padahal, UUD 1945 Pasal 28D Ayat (1) dengan tegas menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil, termasuk dalam akses terhadap pelayanan publik yang bermutu.
Menyikapi situasi ini, sudah saatnya negara tidak hanya berpura-pura menjadi pelayan. Diperlukan reformasi struktural dan kultural dalam sistem pelayanan publik: Pertama, sistem rekrutmen dan promosi ASN harus lebih selektif, berbasis meritokrasi, dan integritas.
Kedua, lembaga pelayanan harus diberikan otonomi yang cukup untuk mengadopsi inovasi pelayanan berbasis kebutuhan lokal, bukan hanya instruksi pusat.
Ketiga, perlu dibentuk mekanisme partisipatif berbasis warga dalam mengevaluasi kinerja layanan, seperti forum aduan terbuka dan citizen rating.
Terakhir, pemerintah harus memastikan transparansi dan akuntabilitas digital berjalan paralel dengan pembangunan infrastruktur dan literasi digital.
Lebih dari itu, pelayanan publik seharusnya menjadi wajah sejati negara di hadapan rakyatnya. Jika wajah itu penuh luka dan caci maki, maka jangan salahkan rakyat bila mereka mulai muak dan marah. Sebab negara yang tidak hadir dalam pelayanan dasar, sejatinya sedang menyiapkan bara api ketidakpercayaan dan disintegrasi sosial yang lebih luas.
Maka, pertanyaannya kini bukan lagi bagaimana kita bisa membangun pelayanan publik yang baik, tapi apakah negara benar-benar mau menjadi pelayan, atau hanya terus menyamar sebagai pelayan sembari menjaga tahta kuasa? Rakyat sudah terlalu sabar, namun kesabaran itu ada batasnya. (*)
***
*) Oleh : Ida Fauziyah, Mahasiswa PPG Calon Guru, Universitas PGRI Ronggolawe Tuban.
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Sofyan Saqi Futaki |