
TIMESINDONESIA, BALI – Di era digital yang serba cepat ini, remaja dihadapkan pada lautan informasi dan sosok-sosok yang menarik perhatian. Media sosial, dengan segala platformnya, telah melahirkan fenomena baru: influencer. Mereka adalah individu dengan jutaan pengikut, yang kontennya mulai dari ulasan produk hingga gaya hidup mewah, seolah menjadi magnet tak terbantahkan.
Namun, di tengah hiruk pikuk popularitas virtual ini, muncul pertanyaan mendasar yang krusial bagi perkembangan remaja: apakah mereka memilih influencer sebagai panutan, ataukah mencari teladan sejati? Inilah dilema yang meresap dalam benak generasi muda saat ini.
Advertisement
Dulu, panutan remaja kerap ditemukan dalam lingkungan terdekat: orang tua, guru, pemuka agama, atau tokoh masyarakat yang menunjukkan integritas dan kebijaksanaan. Nilai-nilai luhur diturunkan melalui interaksi langsung dan contoh nyata dalam kehidupan sehari-hari. Namun, lanskap kini telah berubah drastis.
Remaja masa kini tumbuh dengan jari-jemari yang lincah berselancar di lini masa, terpapar pada kehidupan para influencer yang tampak sempurna. Gaya hidup glamor, barang-barang mewah, dan pengakuan publik yang instan seringkali menjadi daya tarik utama. Tidak jarang, para influencer ini dianggap berhasil, makmur, dan keren, sebuah standar kesuksesan yang diimpikan banyak remaja.
Bahaya utamanya terletak pada ilusi yang diciptakan. Konten yang disajikan influencer kerap hanya menampilkan bagian terbaik, hasil kurasi ketat, dan seringkali jauh dari realitas. Remaja, dengan kemampuan nalar dan pengalaman hidup yang masih berkembang, cenderung mudah terbuai.
Mereka mungkin melihat seorang influencer dengan kulit sempurna hasil filter, gaya hidup tanpa cela, atau kekayaan yang seolah didapat dengan mudah, tanpa menyadari adanya tim di balik layar, sponsor berlimpah, atau bahkan tekanan mental yang dialami sang influencer itu sendiri.
Akibatnya, ekspektasi yang tidak realistis terbentuk. Ketika kenyataan tidak seindah apa yang mereka lihat di layar, perasaan tidak puas, kecemasan, bahkan depresi bisa membayangi. Harga diri mereka bisa runtuh saat merasa tidak mampu mencapai standar "sempurna" yang ditampilkan.
Lebih jauh, banyak influencer, terutama mereka yang populer karena konten hiburan semata, mungkin tidak memiliki nilai-nilai etika atau moral yang kuat untuk dijadikan panutan. Konten mereka bisa jadi sensasional, provokatif, atau bahkan tidak mendidik.
Remaja yang menjadikan mereka panutan berisiko meniru perilaku yang tidak pantas, menormalisasi hal-hal yang salah, atau mengembangkan pandangan hidup yang dangkal.
Pertimbangan etis, tanggung jawab sosial, atau pemikiran kritis seringkali absen dalam konten yang digulirkan. Mereka menawarkan kesenangan sesaat, popularitas semu, namun jarang memberikan esensi kebijaksanaan atau arahan moral yang dibutuhkan dalam membentuk karakter.
Lantas, bagaimana dengan teladan? Teladan adalah sosok yang menunjukkan integritas, kerja keras, empati, dan nilai-nilai positif lainnya melalui tindakan nyata dan konsisten. Mereka tidak selalu populer di media sosial, namun jejak kebaikan dan pengaruh positif mereka terasa nyata di lingkungan sekitar.
Teladan sejati mengajarkan tentang kegigihan dalam menghadapi kesulitan, pentingnya kejujuran, nilai-nilai persahabatan sejati, dan makna kontribusi kepada masyarakat. Mereka mungkin bukan selebriti dunia maya, tetapi mereka adalah pahlawan dalam kehidupan nyata.
Dilema ini memunculkan tantangan bagi orang tua, pendidik, dan bahkan remaja itu sendiri. Penting bagi orang tua untuk membimbing anak-anak mereka agar menjadi konsumen digital yang cerdas.
Diskusi terbuka tentang apa yang mereka lihat di media sosial, pentingnya berpikir kritis, dan membedakan antara realitas dan ilusi digital adalah krusial. Remaja perlu diajari untuk tidak hanya melihat sisi permukaan, melainkan menggali lebih dalam nilai-nilai dan pesan yang terkandung dalam setiap konten.
Selain itu, sekolah dan komunitas memiliki peran vital dalam menyajikan alternatif panutan. Perkenalkan remaja pada tokoh-tokoh inspiratif dari berbagai bidang ilmuwan, aktivis sosial, seniman, atau wirausahawan yang membangun sesuatu dengan dedikasi dan integritas.
Dorong mereka untuk berinteraksi dengan orang-orang yang menunjukkan nilai-nilai positif dan mampu membimbing mereka dalam menghadapi tantangan hidup. Memperluas lingkungan sosial remaja di luar dunia maya akan membantu mereka menemukan figur-figur teladan yang lebih beragam dan otentik.
Pada akhirnya, keputusan terletak pada remaja itu sendiri. Namun, dengan bimbingan yang tepat, mereka dapat belajar membedakan antara kilauan semu popularitas influencer dan cahaya abadi nilai-nilai yang diemban oleh teladan sejati. Memilih panutan adalah perjalanan penting dalam pembentukan karakter.
Panutan yang tepat akan membimbing remaja tidak hanya menuju kesuksesan, tetapi juga kebahagiaan dan kehidupan yang bermakna, jauh melampaui jumlah suka atau pengikut di layar gawai.
Apakah kita akan membiarkan mereka tersesat dalam gemerlap fatamorgana, ataukah membimbing mereka menemukan bintang sejati di langit kehidupan?
***
*) Oleh : Ahmad Fajarisma Budi Adam, Guru Matematika SMP N 1 Banjar Seririt Bali.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Hainorrahman |
Publisher | : Lucky Setyo Hendrawan |