Kopi TIMES

Memaknai Pendidikan Inklusi di Sekolah

Jumat, 04 Juli 2025 - 14:29 | 11.68k
Galan Rezki Waskita, Alumni HMI Malang dan Pegiat Media NTB.
Galan Rezki Waskita, Alumni HMI Malang dan Pegiat Media NTB.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, NUSA TENGGARA BARAT – Sering kali orang mengatakan kalau pendidikan itu memerlukan keterlibatan semua pihak dalam keberlangsungannya. Tidak terkecuali orang tua dan masyarakat sebagai lingkungan sekundernya. Narasi ini memang benar namun belum begitu kentara praktiknya terutama di luar sekolah. 

Tapi saya pun memahami bahwa rumah, dan masyarakat memiliki masalahnya sendiri seperti halnya sekolah. Maksudnya adalah, locus pendidikan paling utama tetaplah sekolah. Maka dari itu yang paling efektif adalah bagaimana stakeholder disertakan sebagai bagian dari kurikulum sekolah. 

Advertisement

Misalnya berkenaan dengan keterlibatan dunia usaha dan industri. Akan tetapi, pernyataan ini tidak dimaksudkan untuk meminimkan peran rumah dan lingkungan masyarakat dalam membentuk karakter generasi bangsa.

Inklusifitas pendidikan agaknya menjadi sangat perlu terutama berkenaan dengan persoalan teknis dunia kerja. Inklusifitas ini juga diperlukan berupa pemahaman umum dalam praktik bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Dengan demikian, keterlibatan ini menjadi bentuk rasional dalam membangun insan akademis, pencipta, dan pengabdi.

Ini akan menjadi selaras dengan misi Kemdikdasmen terkait upaya mengadakan materi Artificial Intelligence dan coding di sekolah. Pemahaman ini adalah pemahaman teknis yang memerlukan kemitraan. 

Dibutuhkan waktu panjang jika harus mengulang kembali pembekalan pada guru. Sementara kita memahami bahwa guru-guru kita sebagian besar sudah terkendala usia untuk belajar kembali terutama perihal teknologi.

Pernyataan ini tidak dalam kapasitas mendiskreditkan kompetensi guru yang ada saat ini. Tapi akan lebih efektif jika pihak di luar sekolah disertakan. Ini akan menjadi ruang belajar untuk membangun pembiasaan dengan berbagai pihak serta wujud lain dari pembelajaran. Realitas kerja akan lebih riil karena dibersamai oleh pelakunya langsung.

Kementerian Pendidikan melalui Kurikulum Merdeka telah menetapkan mata pelajaran Informatika sebagai bagian dari pelajaran wajib di SMP dan SMA. Untuk jenjang SD, pelajaran ini dapat diintegrasikan sebagai muatan lokal. 

Kurikulum ini juga mendorong pemanfaatan teknologi seperti coding dan kecerdasan buatan. Semua ini dirancang untuk menyiapkan siswa menghadapi masa depan.

Menurut data resmi Kemendikbudristek, lebih dari 70 persen sekolah sudah menerapkan Kurikulum Merdeka hingga 2023. Namun, beberapa sekolah masih dalam proses penyesuaian.

Kesiapan tenaga pengajar dan sarana masih terus ditingkatkan secara bertahap. Pemerintah memberi waktu hingga 2026 untuk semua satuan pendidikan siap sepenuhnya.

Kementerian juga menghadirkan Platform Merdeka Mengajar untuk memudahkan guru belajar mandiri. Materi-materi pembelajaran, termasuk seputar digital dan AI, tersedia gratis di dalamnya. Banyak guru mulai aktif memanfaatkannya untuk pengembangan diri. Ini langkah positif yang patut diapresiasi.

Di sisi lain, keterlibatan komunitas digital juga mulai tumbuh. Program dari Dicoding, Skilvul, hingga Google for Education terbukti mendukung literasi digital sekolah. Kehadiran mereka membuka ruang kolaborasi yang lebih luas. Sekolah tidak perlu berjalan sendiri dalam menyiapkan generasi digital.

Masih ada ruang untuk memperkuat kemitraan di berbagai level. Pemerintah daerah dapat mengambil peran lebih besar dalam menjembatani kolaborasi ini. Beberapa daerah seperti Sleman dan Denpasar telah mulai menggandeng komunitas penggiat teknologi. Hal ini dapat dijadikan contoh untuk daerah lain yang sedang beradaptasi.

PISA 2022 mencatat bahwa siswa Indonesia menonjol dalam aspek percaya diri dan kerja sama. Namun, tingkat pemahaman bacaan masih perlu ditingkatkan. Sekitar 55 persen siswa usia 15 tahun belum mencapai level minimum literasi. Maka teknologi harus tetap ditopang dengan penguatan dasar akademik.

Inklusi seharusnya bermakna luas, tidak hanya pada aspek fisik atau kebutuhan khusus. Ini juga tentang membuka jalan bagi pelaku luar untuk berperan di dunia pendidikan. 

Ketika siswa bertemu langsung dengan mentor dari industri atau komunitas, pembelajaran menjadi hidup. Proses ini juga mendorong guru untuk belajar bersama, bukan merasa ditinggalkan.

Kita melihat arah kebijakan pendidikan Indonesia sudah berpihak pada masa depan. Ada ruang belajar yang lebih fleksibel, kolaboratif, dan transformatif. Ketika semua pihak diberi tempat dalam sistem, maka pendidikan menjadi milik bersama. Inilah makna sejati dari pendidikan inklusif yang sedang dibangun.

Semangat untuk menyertakan semua pihak perlu terus dijaga dan dikembangkan. Pemerintah telah meletakkan dasar yang kuat melalui kebijakan-kebijakan progresif. 

Tinggal bagaimana semua unsur masyarakat turut mendukung dengan konkret. Pendidikan akan lebih bermakna bila dijalankan sebagai gerakan bersama, bukan beban tunggal sekolah.

***

*) Oleh : Galan Rezki Waskita, Alumni HMI Malang dan Pegiat Media NTB.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES