Kopi TIMES

Seragam Saling Tikam

Rabu, 09 Juli 2025 - 12:37 | 22.21k
Arifudin, Pemuda NTB.
Arifudin, Pemuda NTB.
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, NUSA TENGGARA BARAT – Peristiwa tragis kembali mencoreng wajah institusi penegak hukum kita. Seorang anggota polisi Brigadir Nurhadi di wilayah Nusa Tenggara Barat (NTB) dilaporkan tewas di tangan atasannya dan rekan sesama anggota. 

Dalam tubuh institusi yang seharusnya menjunjung loyalitas, profesionalisme, dan disiplin, peristiwa seperti ini bukan hanya memalukan tetapi membahayakan kredibilitas negara.

Advertisement

Apa yang terjadi di NTB bukan sekadar konflik internal. Ini adalah kegagalan sistemik yang berujung pada hilangnya nyawa. Peristiwa semacam ini membangkitkan kembali ingatan publik pada tragedi besar yang pernah mengguncang negeri ini: kasus pembunuhan Brigadir Yosua oleh atasannya sendiri, Irjen Ferdy Sambo, pada tahun 2022.

Dua peristiwa ini, meskipun berbeda dalam skala dan struktur, punya benang merah yang sama: polisi membunuh polisi. Dan yang lebih mengerikan, keduanya menyiratkan adanya potensi penyalahgunaan kekuasaan, kegagalan pembinaan, dan kultur organisasi yang tidak sehat di tubuh Polri.

Gejala Bahaya Kekerasan 

Ketika aparat bersenjata yang diberi mandat oleh negara untuk menjaga keamanan justru saling menyerang, itu menandakan ada luka dalam yang tidak pernah benar-benar disembuhkan. Kekerasan antarsesama polisi adalah bentuk paling nyata dari kegagalan sistem pembinaan mental, etika, dan profesionalisme.

Dalam struktur komando kepolisian, hubungan antara anggota mestinya diikat oleh loyalitas institusional, bukan permusuhan pribadi atau kekerasan. Namun ketika konflik pribadi berubah menjadi tragedi berdarah, seperti di NTB, publik berhak bertanya: sejauh mana Polri menjaga integritas dan stabilitas internalnya?

Sama seperti dalam kasus Sambo, kekerasan ini menunjukkan bahwa wewenang tanpa pengawasan adalah bom waktu. Sambo, dengan jabatan tinggi dan jaringan luas, mampu menyusun skenario pembunuhan, memanipulasi TKP, dan mengerahkan bawahannya untuk menutupi fakta. Ia nyaris lolos, sebelum tekanan publik dan media memaksa institusi Polri membuka tabir yang selama ini disembunyikan.

Apakah kasus NTB akan bernasib sama? Itu sangat tergantung pada sikap Polda NTB dalam menangani kasus ini apakah memilih keterbukaan atau kembali berlindung di balik narasi “masalah internal”.

Refleksi dari Kasus Sambo

Kasus Sambo adalah titik balik dalam relasi antara masyarakat dan Polri. Setelah bertahun-tahun publik mempertanyakan integritas kepolisian, kasus ini menjadi bukti konkret bagaimana kekuasaan bisa disalahgunakan secara brutal. Namun, ia juga menjadi momen pembelajaran: bahwa tekanan publik mampu memaksa reformasi, meski dengan darah dan air mata.

Kini, ketika kasus pembunuhan antarsesama polisi terjadi lagi di NTB, publik mengingat kembali luka lama yang belum sembuh. Apakah Polri sudah berubah sejak kasus Sambo? Atau semua janji reformasi hanya sekadar retorika?

Perbedaan pangkat pelaku dalam kasus NTB tidak membuat kasus ini menjadi lebih ringan. Dalam hal nilai nyawa dan tanggung jawab institusi, tidak ada pembunuhan yang kecil. Nyawa tetap nyawa. Kejahatan tetap kejahatan. Hukum tidak boleh tebang pilih.

Kegagalan Pembinaan dan Budaya Tertutup

Kedua kasus ini memperlihatkan bahwa kultur tertutup dan mentalitas komando absolut masih dominan dalam tubuh Polri. Konflik yang seharusnya bisa diselesaikan secara profesional dan manusiawi justru dibiarkan membusuk hingga menjadi tragedi.

Ini adalah kegagalan pembinaan. Evaluasi terhadap personel masih cenderung menekankan capaian operasional, bukan aspek mental dan psikologis. Padahal tekanan kerja, hirarki yang kaku, serta potensi konflik antarpersonal adalah bom waktu jika tidak dikelola dengan baik.

Ditambah lagi, sistem pelaporan internal yang tidak aman dan sering kali menekan korban untuk diam membuat masalah tidak pernah sampai ke permukaan. Budaya “jangan membuka aib institusi” justru menjadi pemicu utama mengapa kekerasan semacam ini bisa terjadi.

Reformasi Kultur atau Repetisi Luka?

Reformasi kepolisian tidak cukup dengan mengganti seragam atau mempercantik citra. Ia harus menyentuh akar budaya: bagaimana anggota dididik, diawasi, dan dilindungi termasuk dari sesamanya.

Polri tidak bisa lagi hanya reaktif ketika krisis muncul. Institusi ini harus membangun sistem pencegahan dan deteksi dini, mulai dari pelatihan etika, penguatan fungsi pengawasan internal, hingga dukungan kesehatan mental yang benar-benar serius.

Tragedi di NTB ini bisa menjadi batu ujian: apakah Polri benar-benar belajar dari Sambo, atau justru sedang berjalan menuju “Sambo jilid-jilid baru” yang tak pernah terselesaikan?

Polda NTB, Jangan Bungkam

Kini, bola ada di tangan Polda NTB. Mereka memiliki dua pilihan: membuka semua fakta secara transparan dan menegakkan hukum setegak-tegaknya, atau kembali menutup rapat kasus ini dan mengorbankan integritas institusi demi nama baik sesaat.

Jika Polri ingin dipandang sebagai institusi modern, profesional, dan layak dipercaya, maka ia harus menunjukkan itu bukan hanya di depan publik, tetapi di dalam tubuhnya sendiri. Keadilan bukan hanya untuk masyarakat, tapi juga untuk anggotanya sendiri yang menjadi korban.

Mencegah Luka Baru

Tragedi ini seharusnya menjadi pengingat pahit bahwa kekuasaan yang tidak dikontrol, budaya yang tidak sehat, dan pembinaan yang lemah bisa membunuh dari dalam. Ketika sesama penegak hukum saling meniadakan, itu adalah tanda bahwa reformasi belum selesai.

Kita tidak butuh lagi pertanyaan seperti “mengapa sesama seragam saling tikam?” Kita butuh jawaban: bagaimana institusi ini mencegah luka baru, menjaga moral anggotanya, dan merawat kepercayaan publik yang mulai terkikis. Dan untuk itu, transparansi, ketegasan, dan keberanian mengakui kesalahan adalah langkah pertama.

***

*) Oleh : Arifudin, Pemuda NTB.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Hainorrahman
Publisher : Lucky Setyo Hendrawan

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES