Kopi TIMES

Menemukan untuk Kehilangan Ironi di Balik Penemuan Spesies Baru

Jumat, 11 Juli 2025 - 14:14 | 22.03k
Nazilla Khoridatul Hidayah, Mahasiswa Universitas Islam Malang (UNISMA).
Nazilla Khoridatul Hidayah, Mahasiswa Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Penemuan spesies baru katak pohon di Sulawesi oleh tim peneliti dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) seolah menjadi kabar baik bagi dunia biologi. Namun di balik sorotan ilmiah itu, tersembunyi kenyataan pahit, kita terus menemukan spesies baru justru ketika habitat mereka berada di ambang kehancuran. Penemuan ini bukanlah pertanda bahwa alam masih kaya, melainkan bahwa kita baru sempat mengenal sebagian kecil dari apa yang sedang kita hancurkan. Setiap spesies baru yang ditemukan hari ini bisa jadi adalah spesies yang akan punah esok hari.

Indonesia memang dikenal sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman hayati tertinggi di dunia. Namun, data menunjukkan bahwa kekayaan ini terus tergerus. Menurut Global Forest Watch, Indonesia kehilangan sekitar 10 juta hektare hutan primer antara tahun 2002 hingga 2023. Hutan-hutan yang menjadi rumah bagi spesies seperti katak pohon ini terus ditebang demi ekspansi industri, pertambangan, dan perkebunan. Ironisnya, semakin banyak spesies yang kita temukan, semakin jelas bahwa kita sedang berlomba dengan waktu untuk menyelamatkan mereka dari kepunahan.

Advertisement

Katak adalah indikator ekosistem yang sangat sensitif terhadap perubahan lingkungan. Penurunan populasi katak di suatu wilayah sering kali menjadi pertanda awal kerusakan ekosistem yang lebih luas. Dalam banyak kasus, spesies amfibi yang baru ditemukan hanya bertahan beberapa dekade sebelum punah, bahkan sebelum sempat dipelajari secara menyeluruh. Ini bukan sekadar kehilangan biologis, tetapi juga kehilangan potensi ilmiah, medis, dan ekologis yang tak ternilai. Kita sedang menyaksikan hilangnya halaman-halaman penting dari buku kehidupan sebelum sempat kita baca.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sayangnya, penemuan spesies baru sering kali hanya berakhir pada publikasi ilmiah dan dokumentasi. Tidak ada jaminan bahwa habitat tempat spesies itu ditemukan akan dilindungi. Bahkan, dalam beberapa kasus, lokasi penemuan justru menjadi target eksploitasi karena dianggap memiliki nilai ekonomi tinggi. Ini menunjukkan betapa lemahnya integrasi antara ilmu pengetahuan dan kebijakan lingkungan. Kita merayakan penemuan, tapi gagal mengambil langkah konkret untuk melindungi apa yang ditemukan.

Solusi yang dibutuhkan tidak bisa setengah hati. Setiap lokasi penemuan spesies baru seharusnya otomatis menjadi kawasan konservasi mikro dengan perlindungan hukum yang ketat. Pemerintah daerah harus diberi insentif untuk mempertahankan tutupan hutan dan keanekaragaman hayatinya, bukan justru didorong untuk membuka lahan demi pertumbuhan ekonomi jangka pendek. Selain itu, pendekatan berbasis komunitas perlu diperkuat, menjadikan masyarakat lokal sebagai penjaga habitat, bukan hanya penonton dari kehancuran yang terjadi.

Teknologi juga bisa menjadi sekutu dalam konservasi. Pendekatan seperti cryopreservation dan DNA banking dapat digunakan untuk menyelamatkan informasi genetik spesies yang terancam punah. Namun, teknologi bukanlah pengganti dari perlindungan habitat alami. Tanpa ekosistem yang utuh, spesies hanya akan menjadi koleksi di laboratorium, bukan bagian dari kehidupan yang dinamis di alam. Kita harus berhenti mengandalkan solusi teknis sebagai pelarian dari tanggung jawab ekologis.

Pada akhirnya, penemuan spesies baru bukanlah awal dari eksplorasi, melainkan akhir dari eksistensi jika tidak disertai dengan perlindungan nyata. Kita hidup di zaman di mana kita tahu lebih banyak tentang spesies yang punah daripada yang masih hidup. Jika kita terus menemukan tanpa menyelamatkan, maka sejarah akan mencatat kita bukan sebagai penjelajah alam, tetapi sebagai generasi yang menyaksikan dan membiarkan kepunahan massal terjadi. Dan itu, barangkali, adalah warisan paling menyedihkan yang bisa kita tinggalkan. 

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Nazilla Khoridatul Hidayah, Mahasiswa Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES