Kopi TIMES

Konsekuensi Khilafiyah di Kalangan Umat Islam

Jumat, 11 Juli 2025 - 15:54 | 11.12k
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan kaum Muslimin itu pada hakikatnya tampak dalam dua bentuk: praktis dan teoritis. Perbedaan pertama seperti pembelotan yang terjadi pada masa pemerintahan 'Utsman ibn 'Affan, peristiwa yang terjadi antara Ali dan golongan Khawarij, perbedaan antara Ibn Zubair dan kelompok Umawiyyah, dan peristiwa sebelumnya an-tara Khawarij dengan kelompok Umawiyyah di satu sisi serta Khawarij den-gan kelompok 'Ali di sisi lain.

Semua peristiwa itu tercatat dalam sejarah politik, lengkap dengan penjelasan sebab dan akibatnya secara ilmiah.

Advertisement

Para peneliti ilmiah-teoritis yang menulis sejarah tentang berbagai ilmu dan mazhab biasanya tidak berkepentingan dengan pencatatan peristiwa secara kronologis, tetapi dengan masalah sejauh mana semua peristiwa itu berpengaruh terhadap mazhab-mazhab pemikiran dan sebaliknya.

Sebagai contoh, perselisihan yang terjadi antara kelompok 'Ali dan kelompok Umawiyyah yang membelot sebenarnya timbul dari masalah siapa yang berhak untuk menjadi khalifah: apakah terbatas dari kalangan masyarakat Madinah, sementara yang lain hanya mengikuti, ataukah setiap Muslim di seantero dunia berhak untuk itu.

Dari perbedaan yang terjadi antara kelompok 'Ali dan kelompok Umawiyyah di atas timbullah beberapa kelompok kemazhaban seperti Khawarij dan Syi'ah. Munculnya kelompok Khawarij ini menimbulkan peperangan yang sangat dahsyat antara mereka dan kelompok 'Ali pada satu sisi, serta antara mereka dan kelompok Umawiyyah pada sisi lain. Munculnya kelompok Syi'ah juga memicu terjadinya peperangan, yang baru berakhir setelah berdirinya Daulah' Abbasiyyah, yang pada waktu kampanyenya berafiliasi dengan Syi'ah.

Pergulatan seperti itulah yang terjadi antar berbagai mazhab politik dalam Islam, yang semuanya menimbulkan bencana besar bagi kaum Muslimin. Itulah perbedaan yang bersifat praktis dan korelasinya dengan perbedaan pemikiran pada masa berdirinya kekhalifahan di kalangan kaum Muslimin, yang pada mulanya didasarkan atas pendapat dan pemikiran. Jadi, perbedaan itu bukan didasarkan atas perbedaan kekuatan atau kelemahan di antara para penguasa yang ada, walaupun yang disebut terakhir ini pada fase berikutnya menjadi sebab pertentangan di antara mereka serta menjadi jalan bagi para penguasa itu untuk memerintah dan memperbudak kaum Muslimin. Kenyataan-kenyataan itu sekaligus membenarkan sabda Nabi sebagai berikut:

الْخِلَافَةُ بَعْدِي ثَلَاثُوْنَ سَنَةً ، ثُمَّ تَكُوْنُ مُلْكًا (رواه ابن حبان)

Artinya: "Sepeninggalku kekhalifahan berumur tiga puluh tahun. Sesudah itu, ia akan menjadi kerajaan".

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Sesungguhnya kekhalifahan yang berlangsung pada masa Dzu al-Nurain 'Utsman ibn 'Affan dan Fâris al-Islam, 'Ali ibn Abi Thalib adalah kekhalifahan yang mengantar kepada terbentuknya pemerintahan Bani Umayyah, Hal itu berlangsung terus hingga pemerintahan Islam berbentuk kerajaan, yang pemerintahnya berlaku adil, tetapi pada umumnya berlaku zalim.

Bentuk yang kedua dari perbedaan pendapat dalam Islam bersifat ilmiah-teoritis seperti yang terjadi dalam beberapa masalah 'aqidah dan furu'. Perbedaan pendapat mengenai masalah-masalah 'aqidah dan fiqh tidak melampaui batas-batas teoritis dan orientasi berpikir. Perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan ulama yang menekuni bidang ini tidak sampai menimbul kan pertumpahan darah. Watak kehidupan ilmiah mereka tidak memperkenankan pengalihan bentuk perbedaan pendapat dari lapangan pembicaraan ke lapangan perbuatan. Dalam bentuknya yang paling tajam sekalipun per-bedaan teoritis tidak pernah menyeret mereka ke dalam perselisihan praktis; paling-paling satu pihak akan menghukumi pihak lain dengan salah atau melakukan bid'ah. Bahkan, perbedaan dalam bidang fiqh tidak lebih dari perbedaan dalam sudut pandang saja, sehingga setiap pihak yang berselisih mengatakan,

رَأَيْنَا صَوَابٌ يَحْتَمِلُ الْخَطَأَ وَرَأْيُ غَيْرِنَا خَطَةٌ يَحْتَمِلُ الصَّوَابَ

Artinya: "Pendapat kami benar, tetapi mengandung kemungkinan untuk salah. Pendapat orang lain salah, tetapi mengandung kemungkinan untuk benar"(Ibnu Hajar Al Haitami).

Perbedaan dalam bentuk praktis sesungguhnya tidak mempunyai tempat dalam lapangan teoritis. Kalaupun terdapat kasus bahwa penguasa melaku-kan penyiksaan terhadap sebagian ulama, itu disebabkan oleh beberapa ke-mungkinan. Mungkin karena penguasa mengetahui bahwa metode pengka-jian yang dilakukan ulama tersebut mengandung agitasi politis yang dapat menjatuhkan pemerintahan sehingga penyiksaan itu didasarkan atas adanya agitasi tersebut, bukan atas buah pikiran itu sendiri.

Mungkin pula karena pemerintah khawatir kalau-kalau pandangan ulama itu akan melahirkan per-tikaian. Kadang-kadang sebagian pendapat itu sudah keluar dari agama Is-lam dan mengajak orang untuk menjadi zindiq. Sampai sejauh ini, perselisi-han praktis dilatarbelakangi oleh motif-motif politis, sebab paham zindiq itu mengandung prolog bagi suatu kampanye politik, seperti yang terjadi pada masa khalifah al-Mahdi dalam pemerintahan Daulah' Ab-basiyyah.

Apabila dalam perbedaan pendapat itu ada yang menyentuh masalah-masalah i'tiqad, maka para ulama menyingkirkan mereka dari kumpulan kaum Muslimin. Sebagai contoh, pada masa pemerintahan 'Ali muncul kelompok Saba'iyyah yang ber'itiqad bahwa Allah mengambil tempat (hulul) dalam diri 'Ali; ada pula kelompok Ghurabiyyah yang beri'tiqad bahwa kerasulan (al-risalah) sebenarnya ditujukan kepada 'Ali, tetapi Jibril keliru menurunkannya kepada Muhammad.

Seluruh kaum Muslimin sepakat menetapkan bahwa kedua kelompok ini tidak termasuk pemeluk Islam. Demikian pula, mengenai sekelompok orang dari golongan Khawarij yang mengingkari keberadaan surah Yusuf dalam al-Qur'an, kaum Muslimin sepakat menetapkan dengan ijma" bahwa mereka tidak termasuk orang Islam.

Sampai sejauh ini dapat disimpulkan bahwa dalam Islam terdapat tiga mazhab besar, yaitu: mazhab-mazhab dalam bidang politik yang mempun-yai perwujudan praktis dan kadang-kadang perbedaan pendapat di dalamnya cangat tajam, mazhab-mazhab dalam bidang i'tiqad yang pada umumnya sebatas perbedaan dalam bidang pemikiran dan mazhab-mazhab dalam bidang fiqh yang mengandung kebaikan dan keburukan. 

Sumber: Buku ”Model Dakwah Islam: Penangkal Radikalisme dan Transnasionalisme”UNISMA

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Dr. Kukuh Santoso, M.Pd, Dosen Fakultas Agama Islam (FAI) Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES