
TIMESINDONESIA, MALANG – Wacana kenaikan tarif ojek online (ojol) sebesar 15% kembali mencuat dan menimbulkan riak dalam ekosistem transportasi daring di Indonesia. Pemerintah bersama para penyedia aplikasi transportasi digital sedang menggodok kebijakan ini dengan dalih menyesuaikan tarif terhadap situasi ekonomi terkini.
Salah satu pemicu utama adalah kenaikan harga bahan bakar, biaya hidup yang terus melonjak, serta tekanan inflasi yang dirasakan oleh para mitra pengemudi. Dalam konteks ini, kebijakan kenaikan tarif dianggap sebagai bentuk perlindungan terhadap pendapatan driver agar tetap layak di tengah tekanan ekonomi yang tak menentu. Namun, seperti halnya kebijakan ekonomi lainnya, langkah ini tidak bebas dari kontroversi.
Advertisement
Di satu sisi, usulan kenaikan tarif ini disambut baik oleh sebagian pengemudi ojol. Mereka menilai tarif saat ini tidak lagi mencerminkan kerja keras di lapangan, apalagi dengan risiko kerja yang tinggi, jam kerja yang panjang, dan minimnya jaminan sosial. Selama ini, banyak driver merasa tercekik dengan sistem pembagian hasil yang cenderung menguntungkan pihak aplikasi. Kenaikan tarif sebesar 15% dinilai bisa sedikit melegakan beban hidup mereka dan meningkatkan kesejahteraan. Apalagi, beban perawatan kendaraan, cicilan motor, dan kebutuhan sehari-hari terus membengkak. Oleh karena itu, tidak sedikit driver yang berharap agar tarif baru segera diberlakukan dan disertai dengan transparansi dari pihak aplikator.
Namun di sisi lain, kekhawatiran besar juga mencuat. Salah satu kekhawatiran terbesar justru datang dari kelompok driver itu sendiri: bagaimana jika dengan tarif yang lebih mahal, jumlah orderan justru menurun drastis?
Di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang lesu, pengguna tentu akan lebih sensitif terhadap perubahan harga. Kenaikan tarif bisa membuat pelanggan enggan menggunakan jasa ojol dan mencari alternatif transportasi lain yang lebih murah seperti angkutan umum, bus kota, atau bahkan sepeda motor pribadi. Dalam kondisi demikian, alih-alih mendongkrak pendapatan, kenaikan tarif bisa menjadi bumerang bagi driver karena turunnya permintaan secara signifikan.
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
Lebih lanjut, dalam masyarakat urban yang sangat bergantung pada transportasi cepat dan murah, perubahan tarif akan memicu efek domino. Mahasiswa, pekerja kantoran, dan masyarakat ekonomi menengah ke bawah yang selama ini mengandalkan ojol bisa jadi akan terkena dampak paling besar. Kenaikan harga bisa memaksa mereka mengurangi frekuensi perjalanan atau bahkan berhenti menggunakan ojol sama sekali.
Jika penurunan jumlah pengguna terjadi secara masif, bukan tidak mungkin ekosistem ojol akan mengalami guncangan serius: driver mengeluh sepi orderan, aplikator kehilangan pengguna aktif, dan masyarakat kehilangan opsi transportasi yang efisien.
Polemik ini tentu tidak bisa dipandang sebagai sekadar wacana teknis soal penyesuaian tarif. Ini adalah soal keberlanjutan ekosistem kerja digital yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi informal di Indonesia.
Puluhan ribu driver menggantungkan hidup dari aplikasi transportasi online, dan jutaan masyarakat mengandalkannya sebagai moda transportasi harian. Oleh karena itu, kebijakan kenaikan tarif tidak bisa diputuskan secara sepihak oleh pemerintah atau aplikator tanpa mendengarkan secara saksama suara dari para mitra pengemudi dan konsumen.
Salah satu kesalahan kebijakan yang sering terjadi di Indonesia adalah pengambilan keputusan yang terlalu top-down, tanpa riset sosial yang cukup dan tanpa simulasi dampak yang realistis. Jika suara driver dan pengguna tidak dijadikan pertimbangan utama, maka kebijakan ini rawan menjadi kebijakan tambal sulam yang hanya menguntungkan segelintir pihak.
Pemerintah perlu memperjelas kerangka regulasi yang mengatur relasi antara aplikator dan mitra pengemudi, agar tidak ada pihak yang dirugikan secara sistematis. Transparansi dalam perhitungan tarif, mekanisme subsidi silang, atau bahkan kemungkinan uji coba regional bisa menjadi alternatif sebelum kebijakan diberlakukan secara nasional.
Kenaikan tarif ojol sebesar 15% memang bisa menjadi solusi jangka pendek atas tekanan ekonomi yang dirasakan para pengemudi. Namun jika tidak dikelola secara cermat dan inklusif, kebijakan ini justru bisa menjadi ancaman nyata terhadap kelangsungan hidup driver dan kenyamanan pengguna. Saatnya kebijakan publik berpihak pada keadilan dan keberlanjutan, bukan semata pada hitungan algoritma. Aspirasi para pengemudi bukan sekadar angka dalam aplikasi; mereka adalah denyut nadi ekonomi rakyat yang perlu didengar, dihargai, dan diperjuangkan. ***
INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id
*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id
**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.
Editor | : Dhina Chahyanti |
Publisher | : Rochmat Shobirin |