Kopi TIMES

Indonesia di Panggung BRICS 2025: Momentum Emas atau Sekadar Simbol Diplomatik?

Senin, 14 Juli 2025 - 13:00 | 12.11k
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).
Kecil Besar

TIMESINDONESIA, MALANG – Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) BRICS 2025 yang digelar di Rio de Janeiro, Brasil, menjadi panggung penting dalam geopolitik global tahun ini. Salah satu sorotan utama datang dari Indonesia yang untuk pertama kalinya hadir sebagai anggota penuh BRICS. Langkah ini bukan hanya bersejarah, tapi juga strategis, mengingat BRICS kini bukan sekadar forum negara berkembang, tetapi telah menjelma menjadi kekuatan global penyeimbang dominasi Barat.

Presiden Prabowo Subianto hadir dalam KTT tersebut dengan membawa semangat diplomasi “seribu teman, nol musuh”. Dalam berbagai sesi, ia menegaskan pentingnya BRICS sebagai wadah negara-negara Global South untuk menyuarakan keadilan, perdamaian, dan kemitraan yang setara. Di tengah tensi global yang tinggi akibat konflik geopolitik, krisis iklim, dan perlambatan ekonomi dunia, posisi Indonesia di forum ini menjadi sangat strategis.

Advertisement

Dalam Leaders’ Declaration, Indonesia bersama anggota lain menyepakati pentingnya reformasi tata kelola global agar lebih representatif. Negara-negara BRICS menegaskan komitmen terhadap multilateralisme, stabilitas global, dan pembangunan inklusif. Indonesia dipandang sebagai simbol moderasi yang mampu menjadi bridge-builder antara negara berkembang dan negara maju. Hal ini ditegaskan dalam pernyataan Prabowo yang menolak segala bentuk perang dan standar ganda dalam urusan internasional.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Tak hanya itu, isu perubahan iklim dan krisis kesehatan global juga menjadi fokus pidato Prabowo. Ia menekankan bahwa transisi energi harus bersifat adil bagi negara berkembang, dengan pendanaan yang nyata dan berbasis solidaritas. Di saat yang sama, Indonesia menyuarakan dukungan terhadap kerja WHO dalam memperkuat sistem kesehatan dunia pasca pandemi. Keterlibatan Indonesia dalam agenda-agenda strategis ini menunjukkan bahwa Indonesia tidak datang hanya untuk mendengarkan, tetapi juga memimpin.

Isu Palestina pun kembali mengemuka di KTT BRICS 2025. Prabowo menyerukan agar semangat Konferensi Asia Afrika (Bandung 1955) terus digaungkan, menegaskan dukungan Indonesia atas hak kemerdekaan bangsa Palestina. Dalam situasi di mana isu Palestina cenderung mengalami stagnasi diplomatik di forum-forum PBB, dukungan Indonesia melalui platform BRICS menjadi pesan moral dan politik yang kuat.

Dari sisi ekonomi, Indonesia berpotensi memetik banyak manfaat. Dengan bergabung ke BRICS, terbuka peluang lebih besar untuk memperluas pasar ekspor, memperdalam kerja sama investasi, serta memperkuat ketahanan energi dan pangan. Dalam diskusi bilateral di sela KTT, Indonesia dikabarkan menjajaki kolaborasi lebih dalam dengan Tiongkok, India, dan Brasil dalam sektor infrastruktur, pertanian, dan teknologi.

Namun, tidak semua hal berjalan mulus. Sebagai anggota baru, Indonesia menghadapi tantangan internal: bagaimana menyelaraskan arah kebijakan luar negeri dengan kepentingan dalam negeri. Untuk itu, dibutuhkan konsolidasi nasional yang kuat, baik dari sisi diplomasi, ekonomi, maupun kapasitas teknokrasi. Tanpa kesiapan ini, keanggotaan Indonesia di BRICS bisa menjadi simbol tanpa substansi.

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

Perlu dicatat pula bahwa Indonesia kini berada dalam posisi “tengah” dalam geopolitik global—bermitra erat dengan Amerika Serikat dan Eropa, namun juga kini bagian dari BRICS yang semakin erat dengan Tiongkok dan Rusia. Posisi ini memberi keuntungan strategis, tapi juga risiko jika tidak dikelola dengan bijak. Keseimbangan diplomatik menjadi sangat krusial agar Indonesia tidak terseret dalam konflik atau blok-blok kekuatan besar dunia.

Dari sudut pandang penulis, keberhasilan Indonesia di KTT BRICS 2025 bukan sekadar pencapaian diplomatik, melainkan ujian nyata kekuatan diplomasi geopolitik dan ekonomi bangsa. Ini bukan hanya soal hadir di forum internasional, tetapi soal bagaimana kita bisa menyuarakan kepentingan nasional secara bermartabat, sekaligus berkontribusi pada tatanan dunia yang lebih adil.

Tantangannya kini: mampukah Indonesia menerjemahkan momentum ini menjadi kebijakan strategis yang bermanfaat bagi rakyat—dalam bentuk perdagangan yang lebih adil, akses teknologi yang lebih terbuka, dan posisi tawar yang lebih kuat di forum global? BRICS bukan akhir dari perjalanan, melainkan awal dari peran baru Indonesia dalam membentuk masa depan dunia. Saatnya kita membuktikan bahwa Indonesia bukan sekadar penonton, tapi aktor utama dalam geopolitik abad ke-21. ***

INFORMASI SEPUTAR UNISMA DAPAT MENGUNJUNGI www.unisma.ac.id

*) Penulis: Muhammad Nafis S.H., M.H, Dosen Program Studi Hukum Keluarga Islam, Fakultas Agama Islam (FAI), Universitas Islam Malang (UNISMA).

*) Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggung jawab penulis, tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi timesindonesia.co.id

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.



Editor : Dhina Chahyanti
Publisher : Rochmat Shobirin

TERBARU

INDONESIA POSITIF

KOPI TIMES